TABAOS.ID,- Amnesty Internasional Indonesia akhirnya mengeluarkan surat mendesak pembebasan 5 aktivis politik (RMS) yang ditangkap di Desa Hulaliu, Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Tengah. Surat yang dilayangkan Amnesty Internasional Indonesia ini ditujukan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam rilisnya yang diunggah dalam situs Amnesty Internasional Indonesia: https://www.amnestyindonesia.org/category/press-release dengan judul “ Bebaskan 5 Aktivis Politik yang Ditangkap di Pulau Haruku, Maluku”.
Amnesty Internasional meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk memerintahkan Kepolisian Daerah Maluku segera dan tanpa syarat membebaskan lima aktivis politik yang ditangkap dan ditahan di Kecamatan Pulau Haruku, Maluku Selatan, hanya karena memasang bendera Benang Raja, simbol kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS) di salah satu rumah warga.
Polisi menangkap kelima aktivis tersebut, yang mana salah satunya adalah seorang pensiunan guru berusia 80 tahun yang bernama Izak Siahaja, pada Sabtu 29 Juni 2019. Hingga hari ini mereka masih ditahan dan telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan ingin melakukan “makar”, hanya karena memasang bendera RMS di dalam sebuah ruangan di rumah milik Izak.
Keempat aktivis lainnya adalah istri Izak Vely Siahaja/Werinussa yang merupakan seorang pendeta berusia 70 tahun, Marcus Noja (42), Harjohn Noja (34) dan Basten Noja (30). Mereka semua terancam pidana makar di bawah Pasal 106 dan 110 KUHP.
“Memasang bendera untuk menunjukkan ekspresi politik bukanlah merupakan sebuah bentuk kejahatan. Terlebih yang terjadi pada para aktivis politik yang melakukan aksinya dengan damai, termasuk mereka yang mendukung kemerdekaan, memiliki hak menyatakan pandangan politik mereka. Polisi harus segera dan tanpa syarat membebaskan mereka dan menjamin kebebasan berekspresi bagi orang-orang yang ada di Maluku,” kata peneliti senior Amnesty International Indonesia Papang Hidayat.
Menurut informasi yang berhasil diperoleh Amnesty International Indonesia, kelima tersangka tersebut ditahan di Polres Ambon dan Pulau-Pulau Lease tanpa didampingi pengacara.
Amnesty International menganggap lima aktivis politik Maluku tersebut sebagai para tahanan hati nurani (prisoners of conscience) yang dipenjarakan semata-mata karena mengekspresikan pandangan politik mereka dengan jalan damai. Oleh karenanya mereka harus segera dibebaskan tanpa syarat.
“Selama kelima orang itu masih ditahan, kepolisian di Maluku harus menjamin tidak ada praktik penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya terhadap mereka. Polisi juga harus menjamin mereka mendapatkan akses terhadap pengacara – yang dipilih oleh mereka – untuk mendapatkan bantuan hukum. Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendampingan pengacara saat menjalani proses hukum,” kata Papang.
Amnesty International menyambut baik pembebasan setidaknya 60 tahanan hati nurani dari Papua dan Maluku selama pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo di periode pertamanya sebagai presiden. Pada Mei 2015, Presiden Jokowi memberikan grasi kepada lima aktivis politik Papua dan berjanji untuk memberikan grasi atau amnesti kepada aktivis lainnya.
Pada November 2015, aktivis pro-kemerdekaan Papua Filep Karma dibebaskan setelah menghabiskan lebih dari satu dekade di penjara karena ekspresi politiknya yang damai. Pada Desember 2018, seorang tahanan nurani dari Maluku yang menjalani hukuman 15 tahun karena tuduhan makar, Johan Teterissa, dibebaskan setelah menjalani hukuman lebih dari 11 tahun penjara. Yang lainnya dibebaskan setelah menjalani keseluruhan hukuman penjara yang dijatuhkan terhadap mereka secara tidak adil atau meninggal di dalam penjara.
Dalam beberapa tahun terakhir Amnesty International mencatat jumlah aktivis politik di Papua dan Maluku yang dituntut dengan pasal-pasal makar menurun. Amnesty International tidak mengambil posisi apapun akan status politik dari provinsi apa pun di Indonesia, termasuk seruan untuk kemerdekaan. Namun, organisasi ini percaya bahwa hak atas kebebasan berekspresi juga termasuk untuk mengadvokasi suatu solusi politik. (T05).