“Ini dong su biking apa lai, KNPI saja ada banya tuh tar kuat urus dong”. (Komentar salah satu warganet)
Oleh: Ikhsan Tualeka
Selasa, 7 September 2021, pas Hari Ulang Tahun Kota Ambon, sejumlah anak, muda membuat dan kirim twibbon atau foto di Facebook, dengan tulisan Ikatan Cendekiawan Muda Maluku (ICMMA). Juga ada hashtag #kokreto.
Lalu ada banyak pertanyaan dan komentar yang muncul. Ada banyak ungkapan optimisme, namun ada saja yang merespon dengan skeptis. Ya, hal yang biasa di media sosial.
Lantas pentingkah ICMMA itu?. Jawaban tentu dapat dilihat dari latar pendindirian organisasi itu, alasan atau tujuan kenapa organisasi itu diadakan. Lewat Facebook ada pula penjelasan atau rasionalisasi kenapa perlu ada ICMMA.
Dalam narasi sejumlah postingan anak muda, disebutkan bahwa ICMMA hadir atau diproyeksikan sebagai wadah berhimpun intelektual dan cendekiawan muda Maluku yang kolaboratif, kreatif dan toleran. Menampung komponen yang terserak.
Hal itu yang penting, mengingat realitas kekinian Maluku yang memerlukan hadirnya peran serta dan kontribusi optimal dari kalangan intelektual atau cendekiawan, terutama yang relatif masih berusia muda, yang memang lebih inovatif, enerjik dan progresif.
Juga dengan melihat kondisi kepemudaan di Maluku yang masih segregatif dengan orientasi pada politik yang dominan. Pada sisi yang lain aktivisme dan pengembangan dunia kepemudaan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi belum mendapat proporsi.
Disebutkan pula, ICMMA dibentuk atau didirikan untuk menjadi rumah atau ‘Baileo’ bagi seluruh komponen generasi muda Maluku dari berbagai latar daerah, agama, ideologi maupun organisasi, dengan Visi dan Misi sebagai berikut:
Visi: Generasi muda Maluku yang berdaya saing, maju dan berjaya dengan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misi: Kolaborasi intelektual atau cendekiawan muda Maluku dengan penuh kreativitas dan inovasi, serta menjunjung tinggi toleransi dan kearifan lokal.
Nah, apakah semua alasan itu cukup?. Tentu tidak, generasi Milenial selalu ingin ada alasan yang lebih kuat dan futuristic, melihat jauh kedepan, dengan contoh yang lebih konkrit atau nyata. Dalam konteks Itulah, mungkin kita bisa membaca catatan pendek penulis, saat ke Beijing beberapa waktu lalu.
BERKACA PADA CHINA
Harus diakui, China saat ini mulai tampil sebagai Negara yang super power. Kekuatan ekonominya bahkan merambah berbagai belahan dunia. Ini sih bukan cerita baru. Ribuan tahun lalu, bangsa China memang sudah tampil sebagai kampiun.
Tapi untuk realitas kekinian, terjadi bukan karena tiba-tiba, atau orang Maluku bilang, ‘tiba saat, tiba akal’. Ini semua karena ada paradigma kolektif yang dahsyat, yang adaptif dengan perubahan zaman.
Mari kita lihat dan pelajari. Akhir Maret 2010 dunia dikejutkan ketika produsen mobil asal China, Geely mengumumkan akan mengakuisisi Volvo, salah satu perusahaan angkutan tertua dari Swedia. Dunia bahkan terbelalak ketika Lenovo yang dimotori para alumni University of Chinese Academy of Sciences (UCAS) kemudian mengambil alih dominasi raksasa komputer dari Amerika Serikat, IBM.
Apalagi ketika China mampu menciptakan processor yang lebih hebat dari Intel sehingga mereka secara mandiri bisa menghasilkan produk Magnetic Resonance Imaging (MRI) kelas dunia. Produk itu lahir dari dapur riset di UCAS.
Wajar saja. China punya 17 juta mahasiswa yang mayoritas mengambil jurusan sains dan teknik. Tiap tahun tak kurang dari 325 ribu insinyur dihasilkan, mereka bahkan rela mengeluarkan USD 60 miliar atau setara dengan 780 triliun rupiah per tahun, untuk riset dan pengembangan.
Saat ini, hampir semua laboratorium China fokus mendukung inovasi kaum entrepreneur dalam menghasilkan produk yang bagus dan murah. Kemajuan China sekarang tak lepas dari semangat kemandirian dari kaum terpelajarnya atau cendikiawan-nya, yang merupakan komunitas elite (karena hanya segelintir sarjana S1 dari total populasi).
Setiap kesempatan menjadi sarjana benar-benar dimaksimalkan untuk ambil bagian demi membawa peradaban China ke tingkat yang lebih tinggi. China punya ‘Silicon Valley’ semacam kawasan industri teknologi di Qingdao.
Hebatnya, kota nelayan ini juga punya Laoshan yang merupakan kawasan indah berhawa sejuk yang ditetapkan sebagai kawasan Industri High Tech. Di kawasan inilah berdiri berbagai perusahaan berteknologi tinggi yang melakukan inovasi di bidang Information technology (IT).
Mereka terhubung dengan lebih dari 100 kampus terbaik di China dan beberapa lembaga riset. Dari business software IT saja wilayah ini menghasilkan devisa lebih dari USD 40 miliar per tahun yang lebih besar dari pendapatan sektor migas Indonesia.
Gaji seorang insinyur di Qingdao hanya 1/5 gaji insinyur di AS dan Eropa dengan kualitas kerja yang sama. Namun biaya hidup di Qingdao juga murah, hal ini mengundang banyak perusahaan asing melakukan investasi dan inovasi produk dengan menggandeng insinyur Qingdao.
Tentu mereka juga harus bermitra dengan pengusaha lokal. Di sinilah muncul sinergi hebat antara sumber daya manusia, market dan investor. Lihat sendiri, China tak punya kebun kelapa sawit tapi memiliki downstream atau industri hilir Crude Palm Oil (CPO) terluas di dunia.
Mulai dari oleokimia, oleopangan, dan oleo non food/oleo non edible mencakup ratusan item produk dari ribuan industri hilir CPO dihasilkan negara itu. Seperti bahan baku consumer goods, bahan baku makanan, bahan baku kosmetik dan obat-obatan, serta bahan baku industri.
Negara kita yang punya kelapa sawit, tapi China yang dapatkan nilai tambah luar biasa. Itu semua berkat kehebatan visi China menjadi negara industri modern dengan dukungan riset. Nilai ekspor produk turunan CPO negeri itu lebih besar dari nilai penerimaan devisa Indonesia sebagai negara penghasil CPO. Ironis memang.
Pertumbuhan cepat China karena adanya paradigma baru setelah era Deng Xiaoping, yaitu lahirnya New Wave of Entrepreneurs (Gelombang Baru Kewirausahaan) dari kalangan kampus. Mereka terpelajar dan mudah menerjemahkan kebijakan pemerintah untuk melompat ke masa depan. Sebagian besar dari 1.000 orang kaya China adalah para sarjana alumni UCAS.
Andaikan dulu para sarjana di negara itu lebih memilih jalur aman berkarir sebagai karyawan, atau pegawai pemerintah, mungkin sampai sekarang China masih terbelakang. Tantangan masa depan bisa dijawab oleh kaum terpelajar dan itu didukung oleh kemauan untuk berwiraswasta, menjadi hero bagi keluarga dan negara.
Ini bukti budaya suatu bangsalah yang membuat bangsa itu kuat melewati putaran zaman. Ini juga fakta yang patut menjadi bahan renungan kita bersama, anak-anak bangsa yang hidup di wilayah tropis, yang setiap saat menikmati ‘summer’.
Indonesia, terutama kita di Maluku, dengan lautan, hutan dan ribuan pulau yang kaya, masih tetap miskin dan terus kalah dalam persaingan global. Padahal bersama daerah lain di kawasan timur Indonesia, Maluku kaya akan sumber daya alam, hingga memantik kolonialisme beberapa abad lalu.
Hingga hari ini anak-anak muda lebih tertarik menjadi aparatur sipil negara. Atau menyibukan diri dengan aktivitas yang tidak bersentuhan langsung dengan pengembangan potensi daerah.
Generasi terpelajar banyak yang nyatanya masih kurang kreatif dan minim inovasi. Kekayaan alam yang melimpah belum bisa menjadi tulang punggung ekonomi daerah.
Kondisi ini diperparah oleh tidak hadirnya negara. Visi dan orientasi pembangunan pemerintah, khususnya bagi pengembangan intelektual yang relevan dengan cadangan sumber daya alam yang dimiliki, terlihat belum jelas.
Misalnya di kepulauan Maluku yang kaya akan sumber daya laut, belum memiliki sekolah kelautan dengan standar tinggi, yang punya kaitan langsung dengan pengembangan teknologi dan industri kelautan.
Menyikapi realitas ini, kita perlu paradigma baru yang dimotori oleh anak-anak muda. Belajar dari pencapaian China saat ini, tentu menjadi melahirkan satu ‘Gelombang Baru’ yang fokus pada pengelolaan potensi daerah, bukan saja pilihan, tapi kewajiban.
Perubahan dan paradigma baru itu adalah dengan secara kolektif mengarahkan ‘Gelombang Baru Maluku’ ke arah entrepreneurship, dan itu harus dimulai, oleh generasi terpelajar atau cendekiawan muda saat ini. Ada banyak hal yang bisa dikerjakan, sehingga punya nilai tambah secara ekonomis.
Seluruh potensi alam adalah peluang bagi majunya Maluku, asal ada kemauan yang kuat, serta sokongan dari pemerintah dan juga swasta yang telah maju. Melalui pendidikan, pelatihan, permodalan dan mempersiapkan akses terhadap pasar.
Semua upaya mesti dilakukan dengan simultan, saling menopang dan mendukung. Universitas dan lembaga pendidikan lainnya, termasuk organisasi masyarakat sipil mesti diarahkan untuk menjawab kebutuhan pengelolaan sumber daya alam.
Misalnya, untuk Maluku yang potensinya adalah laut, maka prioritas pembangunan dan perubahan mindset harus diarahkan pada pengembangan sektor kelautan, sehingga dapat melahirkan peneliti, profesional (cendekiawan) dan yang pasti adalah entrepreneur yang mumpuni dalam mengelola potensi lautnya.
Kita semua generasi hari ini tak mau sekadar membaca sejarah, tapi juga mau dan mampu menorehkan atau mencatat sejarah. Tercatat sebagai generasi yang sanggup mengubah tantangan menjadi peluang, dan mengelola potensi daerah sebagai tulang punggung ekonomi, menuju Bangsa yang lebih baik, maju dan sejahtera. Kokreto!
Penulis, adalah followers Ikatan Cendekiawan Muda Maluku