Oleh: M. Saleh Wattihelu
Tulisan saudara Ikhsan Tualeka 12 tahun silam, 8 Maret 2008, bertajuk ‘Korupsi Politik dan Politisasi Korupsi menjelang Pilkada’ yang muncul kembali di-laman facebook, masih relevan. Memberikan imajinasi dan inspirasi untuk membuat satu telaah pemikiran seperti pada judul tulisan ini.
Ada dua terminologi dalam tulisan Ikhsan “korupsi politik dan politisasi korupsi”. Merupakan istilah yang sudah menggurita di Indonesia, dan rasannya tidak saja di dunia Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tapi sudah merembet hampir ke semua lini dan aspek kehidupan manusia.
Baik itu dalam aktivitas berkelompok, maupun dalam dinamika berorganisasi, bahkan dikehidupan ber-Negara. Kedua istilah itu memang kedengaran berbeda tapi memiliki makna yang sama, yaitu bagaimana kepentingan aman atau diamankan alias sefty.
Apakah Maluku masuk dalam katagori korupsi politik atau politisasi korupsi, masing-masing orang memiliki pandangan yang berbeda, terhadap kedua terminologi tersebut. Namun jika menggunakan logika ber-Negara atau hipotesis sudah 75 Tahun menjadi Indonesia, sementara Maluku masih tertinggal, boleh jadi kedua terminologi yang dikemukakan Ikhsan itu inklud didalamnya.
Dalam kamus dan literatur politik, meminjam istilah BN Marbun (2002). Demokrasi ekonomi adalah pandangan yang menekankan bahwa setiap warga negara memiliki hak, kewajiban dan perlakuan yang sama dalam bidang ekonomi.
Pandangan tersebut memunculkan pertanyaan kritis apakah Maluku sudah diberlakukan secara adil oleh Negara sesuai dengan prinsip Demokrasi Pancasila. Yaitu Negara harus memenuhi hak dan kewajiban, perlakuan yang sama, adil dalam bidang ekonomi dan politik.
Tentunya dengan jujur kita harus menjawab bahwa Negara/Pemerintah belum adil terhadap Maluku. Artinya Maluku selama ini bisa jadi hanyalah “Komoditas Politik”, meski bagi orang-orang yang gagal faham dan tak mampu memahami realitas objektif akan menjawab Negara sudah adil.
Ada banyak fakta ketidakadilan untuk menguji hipotesis di atas. Misalnya saja dari aspek regulasi. Dapat dilihat dari bagaimana hak mengelola wilayah laut dibatasi hanya 12 mil, padahal Maluku berciri kepulauan. Belum terhitung soal izin penangkapan ikan, pengelolaan hutan, eksploitasi tambang, migas yang semuanya hampir 75 persen harus oleh Pemerintah Pusat.
Hanya dengan memiliki 4 orang wakil di DPR RI, sementara ada 12 komisi, Maluku dihadapkan pada kurang terakomudir kepentingannya dalam politik anggaran, ketika proses pembahasan APBN. Tentu saja, karena aspirasi di 8 komisi yang lain berpotensi hilang, sebab tak diperjuangkan dengan maksimal.
Fakta lainnya, meski pada Pasal 27, 29 dan 30 UU nomor 23/2014 sangat jelas mengatur provinsi berciri Kepulauan perlu diatur dengan PP, faktanya sudah 6 tahun tidak kunjung keluar Peraturan Pemerintah sebagaimana amanat UU tersebut. Hal ini juga berdampak pada penerimaan anggaran seperti DAU, DBH, DAK dan dana pembantuan lainnya.
Akibatnya Maluku tidak bisa maksimal mengelola potensi sumber daya alam yang dimiliki. Sesuatu yang sulit terwujud, dengan kemampuan APBD hanya 3,192 triliun Rupiah untuk membangun provinsi berciri kepulauan ini.
Bisa dilihat bersama, postur APBD provinsi tahun 2019 sesuai LPJP Gub Maluku 14/8/20; Pendapatan RP 3, 192 triliun terdiri dari PAD RP 482,805 miliar, Dana Perimbangan 2, 622 triliun, pendapatan Rp 3, 563 Miliar. Sementara Belanja terdiri dari: belanja operasional, belanja modal, belanja tak terduga dan belanja transfer. Total belanja RP 2,974 T, belanja terbesar adalah belanja operasional Rp. 2,213 triliun (sekitar 78 persen).
Jangan heran kalau dalam persaingan antar provinsi di Wilayah Regional Timur saja Maluku sudah jauh tertinggal. Situasi yang diperparah dengan fakta-fakta miris lainnya, seperti dari aksi tangkap ikan di laut Maluku tapi bongkar di provinsi lain; punya komoditi pala tapi ekspor provinsi lain. Merugikan Maluku karena hilang retribusi miliyar rupaih pertahun.
Fakta-fakta tersebut memberikan isyarat yang sangat kuat, bahwa selama ini Maluku belum mampu untuk mengurai atau setidaknya mengurangi hambatan-hambatan tersebut, dan bila terus terjadi niscaya Maluku tidak akan maju. Alias hanya menjadi “Komoditas Politik”.
Berbagai terobosan disertai gagasan-gagasan besar, misalnya Provinsi Kepulauan, LIN, CDOB, yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan pertumbahan ekonomi Maluku. Tapi sudah lebih 10 tahun Maluku menunggu, berharap ada diantara tiga gagasan itu ada yang disetujui Pemerintah Pusat.
Meskipun ada harapan demikian, tapi jika asumsinya selama Pemerintah Pusat masih memiliki pandangan yang adil terhadap Maluku, maka lagi-lagi Maluku hanya menjadi “Komoditas Politik”. Sehingga yang namanya komoditas tertentu pasti memiliki nilai atau value yang sangat berharga dan jadi rebutan.
Dalam konteks ber-Negara dan kekuasan, komoditas yang bernilai strategis harus dipelihara. Artinya tidak akan diberikan ruang lebih besar, dan bila terus demikian adanya, maka terkesan Maluku selalu mengemis, kelas rendah, yang sudah senang kalau dipuji.
Lalu kapan Maluku bisa mendapatkan rasa keadilan dari pengelolaan negara ini? Pertanyan yang tidak mudah dijawab. Pilihannya adalah, apakah hanya diam dan menerima apa adanya, ataukah orang Maluku harus bersatu bangkit secara kolektif, menegaskan kembali aspirasinya kepada Pemrintah Pusat. Semua tergantung dan ada ditangan orang Maluku sendiri. Semoga bermanfaat.
Penulis adalah mantan Anggota DPRD Provinsi Maluku.