Bagaimana Bisa “Belanda Tidak Menghitung Indonesia” Dalam Urusan Minta Maaf Atas Perbudakan di Masa Lalu?

0
350

Oleh: Hendry Reinhard Apituley, SH., MH

Pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022, Perdana Menteri (PM) Negara Kerajaan Belanda, Mark Rutte, atas/nama Pemerintah Belanda menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas keterlibatan Belanda dalam perbudakan di masa lalu yang berlangsung selama 250 (dua ratus lima puluh) tahun itu. 

Perihal ini adalah sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh PM Rutte dalam pidatonya: “Hari ini saya minta maaf, saya minta maaf atas/nama pemerintah Belanda. saya minta maaf atas tindakan ‘negara’ (Belanda – penulis) di masa lalu terhadap orang-orang yang diperbudak, semua orang di dunia yang menderita akibat ‘tindakan’ (perbudakan – penulis) tersebut, serta putera dan puteri mereka dan semua keturunannya” (Today I apologise, I am sorry. Today on behalf of the Dutch government. I apologise for the past action of the state to enslaved people of the past, everyone in the world who suffered as consequence of the actions, as well as their sons and daughters and all the descendents).

Pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu, kemudian disampaikan juga oleh Raja Belanda, Willem Alexander, dalam suatu pidato di Istana Huis ten Bosch, Den Haag, Belanda, pada hari Minggu, tanggal 25 Desember 2022. Setelah sebelumnya, beberapa kota di Belanda seperti, Amsterdam, Rotterdam, ‘Den Haag’ (the Hague), Utrecht, dan pemerintahan provinsi ‘Belanda Utara’ (Noord-Holland) serta ‘Bank Sentral Belanda’ de Nederlandsche Bank (DNB) dan Bank ABN Amro juga menyampaikan permintaan maaf yang sama. Penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu dilakukan oleh Belanda setelah beberapa negara lain melakukannya terlebih dahulu, seperti: “Amerika Serikat ‘the United States of America’ (USA); Inggris ‘the United Kingdom’ (UK); Perancis; Vatican; Libya (mewakili bangsa Arab); Benin; Ghana; Denmark; Belgia; dan Jerman”.    

Dalam pidatonya di depan umum yang bertempat di Gedung ‘Arsip Nasional’ the National Archive (NA) – yang oleh PM Rutte disebut sebagai: “Rumah Kenangan Nasional Kita” – yaitu, di Manga Zina di Rei, Den Haag, Belanda, kalimat: “Hari ini saya minta maaf, saya minta maaf atas/nama pemerintah Belanda”, diucapkan oleh PM Rutte dalam bahasa Inggris; dalam bahasa Papiamento (bahasa di kepulauan Karibia); dan dalam bahasa Sranan Tongo (bahasa di Suriname): “Awe mi ta pidi disculpa. Tide mi wani taki pardon”. PM Rutte tidak menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu dalam bahasa Indonesia. Perihal ini adalah sebagaimana yang tertulis dalam laman portal media berita (online) https://republika.co.id: “Sayangnya, Perdana Menteri (Mark Rutte – penulis) tidak menggunakan bahasa Indonesia … dalam pidatonya, Perdana Menteri Belanda (Mark Rutte – penulis) tidak menggunakan bahasa Indonesia”.

Dalam pidato berdurasi 20 menit itu, PM Rutte menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu dengan menyebutkan secara spesifik dan eksplisit nama-nama wilayah seperti, Suriname, dan 3 (tiga) bekas koloni yang membentuk Negara Kerajaan Belanda yaitu, Aruba; Curacao; dan Saint Maarten; serta 3 (tiga) pulau di kepulauan Karibia yang secara resmi merupakan kotamadya khusus dibawah Belanda yaitu, Bonaire, Saba, dan Saint Eustatius. PM Rutte tidak sedikitpun menyinggung Indonesia, bahkan PM Rutte sama sekali tidak menyebut nama Indonesia dalam pidatonya tersebut. Perihal ini adalah sebagaimana yang tertulis dalam laman portal media berita (online) https://jitoe.com: “Dalam permintaan maaf yang disampaikan Rutte di Arsip Nasional di Den Haag, Perdana Menteri Belanda (Mark Rutte – penulis) itu tidak sekalipun menyebutkan nama Indonesia”.

Dalam pidato yang sama, PM Rutte hanya menyebutkan nama ‘Vereenigde Oostindische Compacnie’ (VOC), ‘Hindia-Belanda’ (Nederland-Indie), dan ‘Hindia-Timur’ (Oost-Indie). PM Rutte menyebut nama VOC, Nederland-Indie, dan Oost-Indie sebanyak beberapa kali secara spesifik dan eksplisit dalam pidatonya tersebut. Perihal ini adalah sebagaimana yang tertulis dalam laman portal media berita (online) https://headtopics.com: “PM Rutte hanya menyinggung perbudakan di wilayah VOC dan Nederland-Indie”, dan sebagaimana yang tertulis dalam laman portal media berita (online) https://tajuk24.com: “Hindia-Timur”. Pertanyaan prinsipnya adalah, apakah penyebutan nama VOC, Nederland-Indie, dan Oost-Indie oleh PM Rutte dalam pidatonya itu merupakan tanggapan pemerintah Belanda atas surat terbuka dari rakyat Maluku yang dikirimkan secara resmi kepada Walikota Amsterdam, Femke Halsema, dan PM Mark Rutte, pada hari Senin, tanggal 28 November 2022, melalui portal media berita (online) https://titastrory.id, dan portal media berita (online) https://tabaos.id (?).

Surat Terbuka sebagaimana tersebut di atas, pada prinsipnya berisikan pertimbangan berupa masukan/usulan/saran kepada PM Rutte untuk tidak menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan dimasa lalu kepada Indonesia, tetapi PM Rutte “harus” menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu itu kepada 300 (tiga ratus) bangsa yang ada dalam wilayah ‘Hindia-Timur’ (dari Aceh di barat sampai Papua di timur, dan dari Miangas di utara sampai Rote di selatan) pada saat terjadinya peristiwa perbudakan di akhir abad XVI sampai/dengan abad XIX.

Ke – 300 bangsa dimaksud adalah, Aceh, Batak, Nias, Minang, Rejang, Mandar, Mentawai, Melayu, Jambi, Lampung, Palembang, Sunda, Betawi, Madura, Dayak, Bone, Bugis, Makassar, Goa, Tallo, Buton, Toraja, Gorontalo, Minahasa, Bima, Sumbawa, Flores, Sasak, Bali, Alifuru (Maluku), Papua, dan lain-lain. Pada saat itu (akhir abad XVI sampai/dengan abad XIX), tidak ada bangsa yang bernama Indonesia dalam wilayah ‘Hindia-Timur’ (Oost-Indie) atau ‘Hindia-Belanda’ (Nederland-Indie). Sehingga akan menjadi suatu kesalahan fatal dalam sejarah, jika PM Rutte menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia – yang pada kenyataannya memang tidak ada dalam wilayah ‘Hindia-Timur’ (Oost-Indie) atau ‘Hindia-Belanda’ (Nederland-Indie) pada saat itu (akhir abad XVI hingga abad XIX).

Sebelum PM Rutte menyampaikan pidatonya pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022 tersebut, para menteri dalam kabinet PM Rutte IV telah melakukan perjalanan ke – 7 (tujuh) bekas koloni Belanda di Amerika Selatan yaitu, di Suriname dan di kepulauan Karibia untuk melakukan penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu secara langsung. Indonesia adalah negara yang tidak dikunjungi oleh satupun menteri dalam kabinet PM Rutte IV untuk melakukan penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu tersebut secara langsung.

PM Rutte mengutus, Ernst Kuipers, Menteri Kesehatan, Kesejahteraan, dan Olahraga, ke Saint Maarten; Karien van Gennip, Menteri Sosial dan Tenaga Kerja, ke Bonaire; Eric van der Burg, Menteri Muda Urusan Kehakiman dan Keamanan ke Aruba; Alexandra van Hufellen, Menteri Muda Urusan Relasi Kerajaan dan Digitalisasi ke Curacao; Marnix van Rij, Menteri Muda Urusan Pajak dan Administrasi, ke Saint Eustatius; Maarten van Ooijen Menteri Muda urusan Kesehatan, Kesejahteraan, dan Olahraga, ke Saba; Franc Whirlwind, Menteri Muda urusan Perlindungan Hukum, ke Suriname.

Bahkan setelah PM Rutte mengucapkan pidato ‘bersejarahnya itu’ (sebagaimana yang dikatakan oleh ketua komisi ‘Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa’ (the United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) Belanda, Kathleen Ferrier: “ini benar-benar moment bersejarah”) – yang oleh Perdana Menteri Aruba Evelyna Christina “Evelyn” Wever-Croes, disebut, sebagai: “Langkah Pertama (the First Step)” – Indonesia tetap merupakan negara yang tidak termasuk dalam daftar rencana kunjungan menteri-menteri dalam kabinet PM Rutte IV untuk “menindaklanjuti (follow up) pidato PM Rutte tersebut”, yang oleh Wakil PM Belanda cum Menteri Keuangan Belanda, Sigrid Kaag, dikatakan sebagai: “suatu proses akan dimulai menuju moment penting lainnya pada tanggal 1 Juli tahun depan (2023 – penulis)”, atau seperti yang dikatakan oleh Raja Belanda, Willem Alexander: “permintaan maaf atas perbudakan adalah awal perjalanan”, atau dalam kata-kata PM Rutte sendiri: “merefleksikan sejarah yang menyakitkan ini”.

Rutte yang Kontroversial

Kontroversi telah muncul ketika PM Rutte menentang pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu yang disampaikan oleh Walikota Amsterdam, Femke Halsema, pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021, setahun lalu. Sekalipun mendapat tekanan kuat dari 2 (dua) partai koalisi pada saat itu agar PM Rutte juga turut menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu atas/nama pemerintah Negara Kerajaan Belanda, tetapi PM Rutte tidak bergeming sedikitpun. Bahkan PM Rutte mengatakan, bahwa: “Itu tidak pantas … Permintaan maaf semacam itu dapat membuat polarisasi dan kontroversi dalam masyarakat, dan membawa kembali kenangan menyakitkan bagi sebagian orang”. Atas dasar alasan inilah pula, PM Rutte menolak rencana seruan Negara Kerajaan Belanda untuk ikut menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu secara resmi pada saat itu.  

Akan tetapi, dalam pidatonya pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022, PM Rutte justeru “menjilat ludahnya sendiri” dengan menyampaikan pernyataan permintaan maaf yang sama seperti yang pernah disampaikan oleh Walikota Amsterdam, Femke Halsema, dalam pidatonya pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021, satu tahun yang lalu. Dalam pidatonya tersebut, PM Rute menyatakan “perubahan sikap politiknya” itu sebagai “perubahan pemikiran pribadinya” tentang penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu. PM Rutte juga mengakui telah salah mengira bahwa peran Belanda dalam perbudakan adalah sesuatu dari masa lalu: “Saya pikir masalah ini dibelakang kita, tapi saya salah. Hal tersebut mempengaruhi disini dan pada saat ini”.

“Perubahan sikap politik” PM Rutte tentang penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu, ternyata tidak menyenangkan semua orang dan/atau semua pihak. Meskipun mayoritas anggota parlemen Belanda memberikan dukungan terhadap pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu yang disampaikan oleh PM Rutte, tetapi hasil ‘jajak pendapat’ (polling) yang dilakukan oleh lembaga survey independen Research in the Innovation and Organization (I&O) Research di Belanda menunjukkan bahwa, 62 persen rakyat Belanda tidak mendukung pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu yang disampaikan oleh PM Rutte. Artinya, hanya 38 persen rakyat Belanda yang mendukung PM Rutte untuk menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu.

Sebelumnya, suatu survei yang dilakukan di Belanda pada awal tahun 2022 oleh stasiun tv nasional NOS – suatu lembaga penyiaran publik di Belanda – juga menunjukkan bahwa kurang lebih 50 persen dari rakyat Belanda menentang rencana pemerintah Belanda untuk menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu. Hasil penelitian Pepijn Brandon, seorang profesor Sejarah Ekonomi dan Sosial Global dari Frije Universiteit, Amsterdam, Belanda, juga membuktikan, bahwa: “Penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu mendapat reaksi keras, kebanyakan di kalangan orang kulit putih Belanda. Hanya sebagian kecil orang kulit putih Belanda yang menganggap permintaan maaf itu perlu”. Sementara itu, 70 persen masyarakat Afrika-Karibia di Belanda yang sebagian besar merupakan orang kulit hitam keturunan budak meyakini bahwa, permintaan maaf itu penting.  

Partai-partai sayap “kanan” Belanda juga tidak mendukung pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu yang disampaikan oleh PM Rutte. Thierry Baudet, pemimpin Forum untuk Partai Demokrasi yang berhaluan “kanan” mengatakan, bahwa: “pihaknya tidak melihat adanya manfaat dari ‘itu’ (penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu oleh PM Rutte – penulis)”. Terhadap penolakan partai-partai sayap “kanan” ini, PM Rutte pernah menyatakan pendapatnya pada bulan Juli tahun 2021, bahwa: “periode perbudakan terlalu jauh kebelakang dan perdebatan soal penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu akan memicu ketegangan di Belanda dimana sayap kanan masih kuat”.

Berbeda dari Walikota Amsterdam, Femke Halsema – politisi (orang) Belanda pertama yang menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu, dan perempuan pertama yang memegang jabatan Walikota Amsterdam – yang adalah anggota dari ‘Partai Hijau’ (GroenLinks) berhaluan “kiri”, yang pernah menjadi anggota parlemen Belanda dari Partai Hijau (1998-2011), dan yang pernah menjabat sebagai Ketua Partai Hijau dalam Parlemen Belanda (2002-2010), maka PM Rutte sendiri adalah anggota dari ‘Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi’ (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD)) yang merupakan partai Konservatif Liberal berhaluan “kanan”. Tetapi sebagaimana Femke Halsema, Mark Rutte juga pernah menjadi anggota parlemen Belanda dari partai VVD (2006-2010), dan pernah juga menjabat sebagai Ketua Partai VVD dalam Parlemen Belanda (2006-2010).

Pidato PM Rutte tentang penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022, merupakan “tanggapan resmi” PM Rutte terhadap laporan setebal 272 halaman dibawah judul, Belenggu-belenggu Masa Lalu (Chains of the Past), yang diterbitkan pada bulan Juli tahun 2022 oleh ‘Kelompok Dialog tentang Sejarah Perbudakan’ Dialogue Group on Slavery History (DGSH). Namun demikian, “tanggapan resmi” PM Rutte yang menunjukkan “perubahan sikap politiknya” tentang penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu itu “tidak disebabkan oleh dan/atau tidak merupakan akibat dari” adanya laporan tersebut, tetapi lebih kepada apa yang oleh PM Rutte sendiri katakan, sebagai: “perubahan pemikiran pribadinya … perubahan suasana hatinya”.

DGSH adalah suatu Komisi Ahli yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda untuk menjadi bagian dari Panel Penasehat Nasional Independen yang dibentuk oleh Kementerian Dalam Negeri Belanda setelah lewatnya perayaan ‘penghapusan perbudakan’ (keti koti) pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021, setahun sesudah terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap George Floyd, seorang pria berkulit hitam oleh salah seorang anggota polisi berkulit putih pada hari Senin, tanggal 25 Mei 2020, di kota Minneapolis, negara bagian Minnesota, Amerika Serikat (AS), yang memicu lahirnya gerakan Black Lives Matter di seluruh dunia, termasuk di Belanda.

Panel sebagaimana tersebut di atas, kemudian menerbitkan suatu rekomendasi yang bersifat “tidak mengikat” kepada PM Rutte untuk mengakui bahwa peristiwa perdagangan budak dan perbudakan di masa lalu yang terjadi di bawah otoritas Belanda adalah kejahatan terhadap kemanusiaan; dan untuk secara resmi menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu; serta untuk memberikan ‘reparasi keuangan’ (kompensasi) kepada keluarga-keluarga yang menjadi korban perbudakan di masa lalu. Rekomendasi panel tersebut, kurang lebih sama dengan daftar tuntutan ‘Komunitas Karibia’ (Caribbean Community (CARICOM / CC) yang dipublikasikan pada tahun 2013, dan yang hingga kini belum terwujud.

Sebelum membuat keputusan untuk menerima atau untuk menolak rekomendasi panel sebagaimana tersebut di atas, PM Rutte mengaku telah melakukan konsultasi dengan berbagai kelompok masyarakat yang memiliki “kepentingan dengan perbudakan di masa lalu” termasuk dengan ‘kelompok masyarakat Maluku di Belanda’ (Apakah konsultasi itu dilakukan dengan “pemerintah Negara ‘Republik Maluku Selatan’ (RMS) dalam pengasingan” (the Government of ‘the Republic of South Moluccas’ (RMS) in exile) (?)).

Dengan demikian dapatlah dipahami, jika sampai/dengan hari Minggu, tanggal 18 Desember 2022, PM Rutte masih belum memberikan konfirmasi tentang apakah dia benar-benar akan menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu. Media Belanda memberitakan bahwa, semua menunjuk pada fakta bahwa PM Rutte akan menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu, tetapi belum pasti. Seminggu sebelumnya, PM Rutte hanya memberikan pernyataan bahwa, detail pidatonya adalah sesuatu yang dia ingin rahasiakan hingga hari Senin, tanggal 19 Desember 2022. 

Hari dimana dia akan membacakan pidatonya itu. Bahkan sempat beredar kabar bahwa, pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu tidak akan disampaikan, baik oleh PM Rutte maupun oleh Raja Belanda, Willem Alexander, tetapi hanya akan disampaikan oleh Menteri Muda urusan Perlindungan Hukum, Franc Whirlwind, yang merupakan satu-satunya menteri dalam kabinet Rutte IV yang adalah keturunan Suriname, dan yang sekaligus juga adalah keturunan budak.

Dalam pidatonya, PM Rutte hanya mengakomodir 2 (dua) dari 3 (tiga) rekomendasi panel sebagaimana tersebut di atas yaitu, mengakui bahwa peristiwa perdagangan budak dan perbudakan di masa lalu yang terjadi dibawah otoritas Belanda adalah kejahatan terhadap kemanusiaan: “kita, yang hidup di sini dan sekarang ini, hanya bisa mengakui dan mengutuk perbudakan dalam istilah yang paling jelas sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan”; dan untuk secara resmi menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu: “Hari ini saya minta maaf, saya minta maaf atas/nama pemerintah Belanda. saya minta maaf atas tindakan ‘negara’ (Belanda – penulis) di masa lalu terhadap orang-orang yang diperbudak, semua orang di dunia yang menderita akibat ‘tindakan’ (perbudakan – penulis) tersebut, serta putera dan puteri mereka dan semua keturunannya”.

PM Rutte tidak mengakomodir rekomendasi panel tentang pemberian ‘reparasi keuangan’ (kompensasi) kepada keluarga-keluarga yang menjadi korban perbudakan di masa lalu: “Ini tentang proses dimana anda bicara mengenai pemulihan, yang artinya bersama-sama mengakui masa lalu dan konsekuensinya di masa sekarang, tetapi bukan, sebut saja gaji yang belum dibayarkan”. Bahkan setelah berpidato, PM Rutte menyatakan, bahwa: “Pemerintah (Belanda – penulis) tidak menawarkan kompensasi kepada cucu atau cicit dari orang yang diperbudak”.

Sebagai pribadi yang kontroversial, adalah sangat mengherankan jika seorang Mark Rutte (56) – yang lahir pada hari Selasa, tanggal 14 Februari 1967 – dapat menjadi seorang perdana menteri terlama dalam sejarah Belanda. Tetapi seorang Mark Rutte yang kontroversial dengan prestasinya sebagai seorang perdana menteri terlama dalam sejarah Belanda (sejak bulan Oktober tahun 2010) merupakan salah satu contoh hidup dari apa yang disebut oleh Charles Robert Darwin (1809-1882) dalam teori evolusinya, sebagai: “kelangsungan hidup dari yang terkuat (Survival of the fittest)”.

Sekalipun strategi utama Mark Rutte adalah memainkan waktu, biarkan orang lain yang disalahkan dan tunggu opini populer untuk memperkuat solusi sebelum menungganginya – yang terdengar seperti seorang Machiavelis – tetapi penilaian paling akhir atas karakter (politik) Mark Rutte adalah seperti apa yang dinyatakan sendiri oleh ketua komisi UNESCO Belanda, Kathleen Ferrier, ketika menanggapi pidato Mark Rutte yang diucapkan sendiri olehnya pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022 itu: “saya melihat seorang perdana menteri yang rendah hati, yang memperhatikan fakta-fakta, dan berkata bahwa dia telah belajar dan menantikan masa depan”.

Rutte Memantik Polemik

Baca Juga  Catatan Klarifikasi Negeri Pelauw Terkait Konflik dengan Kariu, 26 Januari 2022: Ada Pelanggaran HAM By Omission

Diskusi tentang penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu telah dilakukan selama bertahun-tahun, baik di Belanda sendiri maupun di Suriname dan di kepulauan Karibia. Bahkan pada tahun 2001 dan pada tahun 2003, pemerintah Belanda telah menyampaikan pernyataan “penyesalan” atas perbudakan di masa lalu, tetapi dengan mengenyampingkan rencana penyampaian pernyataan “permintaan maaf” atas perbudakan di masa lalu secara resmi. Baru setelah lewatnya perayaan ‘penghapusan perbudakan’ (keti koti) pada hari Kamis, tanggal 1 Juli 2021, diambil suatu langkah konkrit, yaitu: “Pembentukkan ‘Kelompok Dialog tentang Sejarah Perbudakan’ (Dialogue Group on Slavery History (DGSH)”.

Satu tahun kemudian, tepatnya pada pertengahan bulan Agustus tahun 2022, suatu laporan dari hasil penelitian diterbitkan oleh team research DGSH setelah suatu delegasi DGSH yang dipimpin oleh anggota parlemen Belanda, Kiki Hagen, selesai mengunjungi Suriname, dan kepulauan Karibia untuk melaksanakan research tentang perbudakan di masa lalu. Atas dasar laporan DGSH tersebut, PM Rutte melakukan lawatan ke Suriname pada hari Rabu, tanggal 14 September 2022, dan berbicara di depan parlemen Suriname tentang perbudakan di masa lalu.

Berdasarkan laporan DGSH itu pula, pada awal bulan November tahun 2022, parlemen Belanda memberikan persetujuan mereka kepada pemerintah Belanda untuk melakukan penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu. Sebagai tindak lanjut dari persetujuan parlemen Belanda ini, Deputi PM Belanda cum Menteri Keuangan Belanda, Sigrid Kaag, bertandang ke Paramaribo, ibukota Negara Suriname, pada awal bulan Desember tahun 2022, untuk melakukan diskusi dengan pemerintah Suriname dalam hubungan dengan rencana pemerintah Belanda menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu.

Menanggapi rencana pemerintah Belanda untuk menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu seperti tersebut di atas, ‘Komisi Reparasi Karibia’ (Caribbean Reparations Commission (CRC)) menuntut agar pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu tersebut, disampaikan secara langsung oleh PM Belanda, Mark Rutte, dan Raja Belanda, Willem Alexander, ditambah dengan pemberian ‘kompensasi’ (reparasi keuangan – penulis). Ketua ‘Komite Nasional Untuk Mengenang Perbudakan’ (National Committee for the Remembrance of Slavery (NCRS)), Johan Roozer, menambahkan, bahwa: “Pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu juga harus disampaikan di Suriname (bukan di Belanda – Penulis)”. Sementara itu, D. J. Etienne Wix dari Studio Radio Komunitas Art, menyatakan, bahwa: “Kalau ada permintaan maaf, itu harus – disampaikan – pada tanggal 1 Juli (2023 – penulis) yang merupakan hari emansipasi kami, ketika mereka melepas belenggu kami”.    

Akan tetapi dalam kenyataannya, penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu oleh pemerintah Belanda tidak dilakukan di Suriname, tetapi dilakukan di Belanda pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022, dan tidak dilakukan pada hari sabtu, tanggal 1 Juli 2023, sekalipun 6 (enam) ‘Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)’ (Non Governmental Organization (NGO)) Suriname di Belanda telah membawa masalah tersebut ke pengadilan Belanda dan memohon kepada hakim di pengadilan Belanda untuk memutuskan penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu oleh pemerintah Belanda tidak dilakukan pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022, tetapi dilakukan pada hari Sabtu, tanggal 1 Juli 2023, di tahun yang akan datang.

Para aktivis keturunan budak di Belanda, Suriname, dan kepulauan Karibia, menyatakan bahwa, tanggal 19 Desember 2022, adalah tanggal yang “tidak tepat” karena dipilih oleh Pemerintah Belanda, secara: “acak; sewenang-wenang; dan asal-asalan saja”. Bahkan hari senin, tanggal 19 Desember 2022 itu juga, telah melampaui ‘hari penghapusan perbudakan internasional’ (International day for the abolition of slavery) yaitu, tanggal 2 Desember sebagaimana yang ditetapkan oleh ‘Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)’ (the United Nations (UN)) pada tahun 1995 berdasarkan pertimbangan yang dimajukan oleh ‘kelompok kerja’ (POKJA) PBB (UN) tentang perbudakan pada tahun 1985. Penetapan hari penghapusan perbudakan internasional tersebut dilatarbelakangi oleh Konvensi PBB tentang penindasan, perdagangan orang, dan eksploitasi seksual oleh orang lain yang ditetapkan pada hari Jumat, tanggal 2 Desember 1949.

Hari Sabtu, tanggal 1 Juli 2023, akan dirayakan oleh keturunan budak Belanda sebagai hari  peringatan ‘150 tahun’ (1873-2023) diakhirinya secara ‘nyata’ (de-facto) perbudakan oleh Belanda di Suriname dan di kepulauan Karibia serta di tempat-tempat lain yang dikuasai Belanda; dan ‘160 tahun’ (1863-2023) diakhirinya secara ‘hukum’ (de-jure) perbudakan oleh Belanda di Suriname dan di kepulauan Karibia serta di tempat-tempat lain yang dikuasai Belanda. 

Belanda secara resmi mengakhiri perbudakan pada tanggal 1 Juli 1863, meskipun praktek perbudakan itu sendiri baru benar-benar berakhir pada tahun 1873 setelah masa ‘peralihan dan/atau transisi’ (transition) selama 10 (sepuluh) tahun. Tanggal 1 Juli dirayakan setiap tahun di Belanda sebagai hari peringatan “penghapusan perbudakan”, yang di Suriname dirayakan sebagai hari “memutus rantai (Keti Koti)”. Sementara periode perbudakan (1640-1873) itu sendiri, justeru diperingati oleh warga Belanda, sebagai: “Periode Keemasan”.

Namun demikian, PM Rutte berdalih melalui pidatonya, bahwa: “Tidak ada satu waktu yang tepat untuk semua orang, tidak ada satu kata yang tepat untuk semua orang, dan tidak ada satu tempat yang tepat untuk semua orang”. Sementara PM Rutte sendiri menyebut saat pidatonya pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022 itu, sebagai “Waktu yang tepat” dan “Momen yang berarti” serta memastikan jadwal acara pidato pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022 tersebut, “sukses sebagaimana yang di-inginkan-nya”. 

Bahkan beberapa minggu sebelumnya, Menteri Muda urusan Perlindungan Hukum, Franc Whirlwind, telah menyatakan bahwa, saat penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu (hari senin, tanggal 19 Desember 2022), sebagai: “Moment besar dan indah”. Disamping itu, PM Rutte juga tidak menyinggung sedikitpun, dan bahkan tidak menyebutkan sama sekali tentang “reparasi keuangan” (kompensasi) dalam pidatonya itu.

“Reparasi (kompensasi – penulis) bahkan tidak disebutkan. Jadi, kata-kata indah, tetapi tidak jelas apa langkah konkrit selanjutnya”, demikian pernyataan sikap dari Direktur Organisasi ‘Arsip-arsip (kulit) Hitam’ (The Black Archives) di Belanda, Mitchell Esajas, sewaktu menanggapi pidato PM Rutte. Mitchell Esajas dan para anggota kelompok aktivis ‘Manifest (kulit) Hitam’ (The Black Manifest) tidak hadir dalam acara pidato PM Rutte itu, meskipun mereka telah diundang secara resmi untuk menghadiri acara pidato PM Rutte tersebut. Alasan ketidakhadiran mereka adalah seperti apa yang dinyatakan sendiri oleh Mitchell Esajas, sebagai: “kurangnya konsultasi yang hampir menghina dengan komunitas kulit hitam”.

Sekalipun pemerintah Belanda telah mengalokasikan dana sebesar 200 juta euro dan/atau 212 juta dolar AS dan/atau 3,1 Triliun rupiah untuk prakarsa membantu mengatasi warisan perbudakan di Belanda dan di bekas jajahan Belanda; dan 27 juta euro dan/atau 29 juta dolar AS dan/atau 440,1 Miliar rupiah untuk membangun museum perbudakan di Suriname dan di kepulauan Karibia (Indonesia tidak termasuk dalam proyek-proyek ini – penulis), tetapi para aktivis keturunan budak di Belanda, Suriname, dan kepulauan Karibia, menuntut adanya “kompensasi”. 

Salah seorang aktivis itu, Waldo Kunj Bihari, menyatakan, bahwa: “Permintaan maaf saja tidak cukup. Ini tentang ‘kompensasi’ (reparasi keuangan – penulis). Permintaan maaf adalah kata-kata, dan dengan kata-kata itu anda tidak dapat membeli apapun juga”. beberapa orang aktivis lainnya seperti, Irma Hoever, dan Rhoda Arrindell, menyatakan, bahwa: “Kami telah menunggu selama beberapa ratus tahun untuk mendapatkan keadilan preparatoris yang sebenarnya. Kami percaya bahwa kami dapat menunggu lebih lama lagi”.

Sementara itu, ‘Presiden Komisi Reparasi Nasional Suriname’ (President of the National Reparations Commission of Suriname), Armand Zunder, melalui juru bicara, Xavier Donker, menyatakan, bahwa: “Seharusnya ada anggaran miliaran euro sebagai bagian dari permintaan maaf tersebut … Kerangka acuan kami adalah miliaran euro, bukan hanya ratusan juta euro … Apa yang benar-benar hilang dalam pidato ‘ini’ (PM Rutte – penulis) adalah tanggung jawab dan akuntabilitas”. 

Dalam hubungan ini, pendiri ‘Wisata Amsterdam Warisan (Kulit) Hitam’ (The Black Heritage Tours Amsterdam), Jennifer Tosch, menyatakan, bahwa: “Tidak bisa bilang 200 juta euro menutupi 400 tahun kolonialisme”. “Sudah jelas bahwa tidak ada jumlah uang yang cukup untuk dibayarkan sebagai pengganti atas perbudakan sistemik di masa lalu”, demikian pernyataan Quinsy Gario, seorang penyair, dan aktivis kesetaraan hak. Terhadap perihal ini, Kepala Federasi Afrika-Suriname, Iwan Wijngaarden, menyatakan, bahwa: “saya tidak melihat banyak hal dalam hubungan dengan tindakan pemerintah Belanda, dan itu memalukan”.  

Walaupun PM Aruba, Evelyna Christina “Evelyn” Wever-Croes, menerima pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu yang disampaikan oleh PM Rutte, tetapi PM Saint Maarten, Silveria Elfrieda Jacobs, tidak menerima pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu yang disampaikan oleh PM Rutte. Jacobs bahkan menyebut pidato PM Rutte itu, sebagai: “permintaan maaf yang dipaksakan”. 

Sedangkan Presiden ‘Suriname’ (Guyana Belanda), Chandrika Prasad Santhoki, menyatakan bahwa, penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu oleh pemerintah Belanda adalah langkah yang terlambat. Seharusnya langkah tersebut telah dilakukan sejak lama, bukan baru sekarang (hari Senin, tanggal 19 Desember 2022), apalagi nanti (hari Sabtu, tanggal 1 Juli 2023).  

Polemik bermula ketika pada akhir bulan November tahun 2022, media Belanda membocorkan rencana penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu oleh pemerintah Belanda yang akan dilakukan secara diam-diam dan mendadak. Walaupun PM Rutte tidak menyesali “rencana yang akan dilakukan secara diam-diam dan mendadak” tersebut, dan justeru sangat menyesalkan “sumber yang telah membocorkan kepada media massa (online) di Belanda mengenai rencana yang akan dilakukan secara diam-diam dan mendadak” itu, tetapi PM Rutte mengakui bahwa proses menjelang penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022, itu: “tidak ditangani dengan baik”.

Cara penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu yang “tidak ditangani dengan baik” inilah, yang oleh para aktivis keturunan budak di Belanda, Suriname, dan kepulauan Karibia, disebut, sebagai: “Sikap kolonial yang masih bertahan”. Dalam menanggapi perihal ini, Ketua ‘Yayasan Kehormatan dan Pemulihan Korban-korban Perbudakan di Suriname’ (Foundation for the Honor and Reparations to the Victims of Slavery in Suriname), suatu organisasi Afrika-Suriname di Belanda, Roy Kabikusi Groenberg, menyebutnya, sebagai: “Sendawa Neokolonial (Neocolonial Belch)”. 

Partai Nasional Demokratik (National Democratic Party (NDP)) yang merupakan partai oposisi terbesar di Suriname bahkan “mengutuk” pemerintah Belanda karena gagal berkonsultasi secara memadai dengan keturunan budak di Suriname. NDP menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap proses pengambilan keputusan yang mereka nilai sebagai: “Sepihak (Unilateral – penulis)”. NDP juga mencatat bahwa, Belanda dengan nyaman telah mengambil kembali peranannya, sebagai: “Negara Induk (Motherland)”.

Ketika menanggapi cara penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu oleh PM Rutte yang “tidak ditangani dengan baik” sebagaimana tersebut di atas, Presiden Suriname, Chandrika Prasad Santhoki, menyatakan, bahwa: “Persiapan pada saat anda akan minta maaf, sama pentingnya dengan bagaimana anda minta maaf dalam kenyataannya”. Dalam hubungan dengan perihal ini, ketua ‘Platform Nasional Untuk Masa Lalu Perbudakan’ (National Platform for Slavery’s Past) di Belanda, Barryl Beekman, sempat bertanya kepada PM Rutte sebelum dia membacakan pidatonya itu: “Mengapa terburu-buru (?)”. PM Rutte tidak menjawab pertanyaan B. Beekman itu, tetapi stasiun tv nasional NOS – suatu lembaga penyiaran publik di Belanda – menyatakan bahwa, alasan “terburu-buru”, adalah: “bersifat pragmatis”.

“Sifat pragmatisme” mana, adalah seperti yang ditolak dalam surat terbuka dari rakyat Maluku yang dikirimkan secara resmi kepada Walikota Amsterdam, Femke Halsema, dan PM Belanda, Mark Rutte, pada hari Senin, tanggal 28 November 2022, melalui portal media berita (online) https://titastrory.id, dan portal media berita (online) https://tabaos.id: “Permintaan maaf Halsema – dan mungkin nantinya juga permintaan maaf Rutte – seharusnya tidak hanya sekadar menjadi tradisi politik yang “bersifat pragmatis” dan seremonial dalam sejarah modern Belanda, tetapi permintaan maaf itu haruslah dinyatakan secara jujur dan dengan cara yang benar untuk dapat memenuhi rasa keadilan kepada setiap bangsa yang dalam kenyataannya adalah korban sesungguhnya dari suatu ‘perbuatan jahat’ (perbudakan)” (Ms. Halsema apology – and perhaps later also Mr. Rutte apology – should not be a “pragmatic” and ceremonial political tradition in the modern Netherlands history, but that apology must be stated honestly and in the right way to fullfil a sense of justice to every nation who were the real victims of this ‘evil deed’ (slavery).

Multitafsir Pidato Rutte

Baca Juga  Hutan Negeri Adat Diserobot Gerakan Save Bati Demonstrasi di Kementerian ESDM

Di Indonesia sendiri, Pidato PM Rutte tentang penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu telah memunculkan polemik dan kontroversi. Perihal ini adalah seperti yang tertulis dalam laman portal media berita (online) https://bogor.urbanjabar.com, dan seperti yang tertulis dalam laman portal media berita (online) https://katadata.co.id: “Di Indonesia sendiri, permintaan maaf PM Belanda (Mark Rutte – penulis) ini menimbulkan kontroversi”. Bagaimana tidak melahirkan kontroversi (?), meskipun dalam pidatonya, PM Rutte secara “tekstual” tidak pernah sekalipun menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia, tetapi ‘pendapat umum’ (public opinion) yang berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah, bahwa: “Pemerintah Belanda juga menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia”.

Pendapat umum (public opinion) yang berkembang dalam masyarakat Indonesia sebagaimana tersebut diatas, setidak-tidaknya dan/atau sekurang-kurangnya, turut dibentuk oleh “media massa (online)”, baik media massa (online) nasional maupun media massa (online) lokal. Perihal ini dapat disebutkan demikian, mengingat 60 dari 66 media massa (online) nasional maupun lokal atau 90,9 persen media massa (online) nasional maupun lokal – yang memuat berita mengenai Pidato PM Rutte tentang penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu – menulis bahwa: “Pemerintah Belanda juga menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia”. Salah satunya adalah seperti yang tertulis dalam laman portal media berita (online): https://kompas.tv. 19 (sembilan belas) media massa (online) nasional maupun lokal bahkan menulis perihal tersebut di atas pada ‘kepala berita’ (headline), salah satunya adalah seperti yang tertulis dalam laman portal media berita (online) https://metrotvnews.com: “Belanda Resmi Minta Maaf Atas Perbudakan Masa Lampau, Termasuk Kepada Indonesia”.

Sedangkan hanya 6 dari 66 media masa (online) nasional maupun lokal atau 9,1% media masa (online) nasional maupun lokal yang menulis, bahwa: “Pemerintah Belanda tidak menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia”. Salah satunya adalah sebagaimana yang tertulis dalam laman portal media berita (online) https://bbc.com; atau media masa (online) nasional maupun lokal yang menulis dalam bentuk pertanyaan: “Apakah Pemerintah Belanda menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia ataukah tidak (?)”. Salah satunya adalah sebagaimana yang tertulis dalam laman portal media berita (online): https://travel.detik.com. Beberapa media masa (online) nasional maupun lokal juga menulis perihal tersebut di atas pada ‘kepala berita’ (headline), salah satunya adalah portal media berita (online) https://kabar24.bisnis.com: “PM Belanda Minta Maaf Atas Perbudakan Masa Lalu, Indonesia Tidak Termasuk”; atau portal media berita (online) https://tirto.id yang menulis pada ‘kepala berita’ (headline): “PM Belanda Minta Maaf Atas Perbudakan Masa Lalu, Ada Indonesia (?)”.

Sementara itu, media masa (online) nasional maupun lokal yang menulis, bahwa: “Pemerintah Belanda juga menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia”, memberikan tafsiran terhadap “Indonesia”, sebagai: “Indonesia; atau Indonesia di timur; atau di timur Indonesia”. Tafsiran Indonesia sebagai “Indonesia”, salah satunya adalah sebagaimana yang terdapat dalam laman portal media berita (online): https://suarapembauan.com; Tafsiran Indonesia sebagai “Indonesia di timur”, salah satunya adalah sebagaimana yang terdapat dalam laman portal media berita (online): https://international.sindonews.com; sedangkan Tafsiran Indonesia sebagai “di timur Indonesia (hanya Maluku & Papua – penulis)”, salah satunya adalah sebagaimana yang terdapat dalam laman portal media berita (online): https://pinterpolitik.com.

Kontroversi tidak hanya timbul di kalangan media masa (online) nasional maupun lokal sebagaimana tersebut di atas, tetapi kontroversi juga muncul di kalangan politisi, sejarawan, dan akademisi Indonesia. misalnya, salah satu akademisi Indonesia, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH., LLM., seorang Guru Besar Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Rektor pada Universitas Jenderal Achmad Yani, yang menyatakan melalui laman portal media berita (online) https://republika.co.id, https://wartaekonomi.co.id, dan https://suara.com, bahwa: “Indonesia termasuk negara yang menerima permohonan maaf tersebut”, meskipun secara “tekstual” maupun “kondisional” sebagaimana tersebut di atas, “tidak ada fakta yang dapat membuktikan”, bahwa: “Pemerintah Belanda telah menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia”.

Bersebrangan dengan Hikmahanto Juwana, Sukamta, Phd., seorang politisi yang adalah anggota Komisi I (satu) ‘Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia’ (DPR-RI) yang membidangi, Pertahanan, Intelijen, Luar Negeri, Komunikasi dan Informatika, dan Wakil Ketua ‘Fraksi Partai Keadilan Sejahtera’ (F-PKS), menyatakan melalui laman portal media berita online https://validnews.id, https://buddyku.com, https://fraksi.pks.id, https://merahputih.com, https://nasional.sindonews.com, https://moeslimchoice.com, https://www.telusur.co.id, dan https://www.gatra.com, bahwa: “Mengherankan … Indonesia tidak disebutkan (dalam pidato PM Belanda, Mark Rutte, mengenai penyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022 – penulis)”.

Searah dengan Sukamta, Bonnie Triyana, seorang sejarawan dan kurator museum serta pimpinan redaksi majalah sejarah populer pertama di Indonesia “Historia”, menyatakan melalui laman portal media berita (online) https://news.detik.com, bahwa: “saya tidak melihat ada nama Indonesia secara khusus yang disebut Rutte (dalam pidato menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022 – penulis). Jadi, ini bukan permintaan maaf langsung ke Indonesia”. Bonnie Triyana menyatakan bahwa, Belanda telah 3 (tiga) kali minta maaf. 2 (dua) kali permintaan maaf yang sebelumnya, Indonesia disebut. Tetapi dalam permintaan maaf yang terakhir ini (Pidato PM Belanda Mark Rutte mengenai menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022 – penulis), Indonesia tidak disebut.      

Pernyataan yang kurang lebih sama dengan Sukamta, dan Bonnie Triyana, datang dari Dr. Haji Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA., seorang politisi yang adalah Wakil Ketua ‘Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia’ (MPR-RI), dan Wakil Ketua Majelis Suryo ‘Partai Keadilan Sejahtera’ (PKS), sebagaimana termuat dalam laman portal media berita (online) https://www.mpr.go.id, https://bicaranetwork.com, https://nasional.sindonews.com, https://beritahukum.id, dan https://suaraislam.id, bahwa: “Permohonan maaf ini (Pidato PM Belanda, Mark Rutte, mengenai menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022 – penulis) memang ditujukan secara umum terhadap negara-negara koloni Belanda di masa lalu. Oleh karenanya, perlu dibahas secara spesifik mengenai Indonesia”.

Sementara itu, tanggapan resmi pemerintah Indonesia terhadap pidato PM Belanda, Mark Rutte, adalah sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh ‘Wakil Presiden Republik Indonesia’ (Wapres-RI), Prof. Dr. (Honoris Causa) Kyai Haji Ma’ruf Amin, yaitu bahwa, jika Belanda ingin menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia, maka Belanda harus menyampaikannya secara resmi kepada Indonesia. Perihal ini adalah sebagaimana yang termuat dalam laman portal media berita (online) https://news.detik.com, https://www.wapresi.co.id, https://kabar24.bisnis.com, https://nasional.tempo.com, https://nasional.kompas.com, https://indonesiakini.go.id, https://minanews.net, dan https://rri.co.id, bahwa: “ya kalau dia memang itu (meminta maaf), ajukan saja resmi kepada pemerintah (Indonesia) … jadi, kalau tidak jelas, belum resmi, sampaikan saja kepada pemerintah”.

Jika kita telaah tanggapan resmi pemerintah Indonesia terhadap pidato PM Belanda, Mark Rutte, sebagaimana yang dinyatakan oleh Wapres-RI tersebut di atas, maka dapatlah disimpulkan, bahwa: “Dalam pidato PM Belanda, Mark Rutte, mengenai penyampaian pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu pada hari Senin, tanggal 19 Desember 2022, pemerintah Belanda tidak menyampaikan pernyataan permintaan maaf atas perbudakan di masa lalu kepada Indonesia”.                  

Penulis Adalah: Dosen Pendidikan Kewarganegaraan Politeknik Negeri Ambon