Kritik ‘Jakarta’, Betkraf Cetak Mata Uang Maluku

0
6415

TABAOS.ID,- Berbagai cara digunakan warga Maluku untuk mengkritik atau mengingatkan Pemerintah Indonesia agar daerahnya lebih diperhatikan. Jika sebelumnya Beta Kreatif (Betkraf) menerbitkan ‘Paspor Kedutaan Besar Maluku’, kini salah satu komunitas kreatif itu mengeluarkan pecahan mata uang Maluku dengan nominal 100 Pisi.

Adapun Pisi diambil dari salah satu bahasa daerah di Maluku yang artinya uang. Menurut Direktur Betkraf, M. Ikhsan Tualeka kepada tabaos.id (06/8), peluncuran mata uang Maluku ini juga sebagai bentuk satire dan kritik simbolik mengingat Maluku masih masuk daerah termiskin di Indonesia, sekalipun kaya sumber daya alam.

“Ini menjadi realitas yang ironis atau paradoks, padahal meminjam data dari Kementrian Perikanan dan Kelautan RI, untuk sektor kelautan saja, setiap tahun lebih dari 40 Triliun Rupiah dicuri dari laut Maluku, belum termasuk dari sektor lain, namun nyatanya APBN Maluku tidak lebih dari 3 Triliun”, kritik Tualeka.

Menurutnya, situasi ini perlu dikritisi dengan serius, apalagi dalam waktu yang tidak begitu lama, akan ada eksplorasi Gas Abadi Blok Masela dengan nilai investasi mencapai US$20 miliar. Jangan kemudian masyarakat Maluku tidak dilibatkan dalam berbagai pengambilan keputusan dan tidak mendapat manfaat yang proporsional.

Belajar dari sejarah ekspolarasi sumber daya alam di Indonesia sejauh ini selalu saja meminggirkan hajat hidup dan kepentingan masyarakat lokal atau daerah. Seperti halnya yang dilakukan PT. Arun di Aceh, PT. Freeport di Papua atau PT. Newmont di Nusa Tenggara dan berbagai daerah lainnya.

“Kondisi ini jangan lagi terjadi di Maluku, di mana ke depan nanti Rupiah dihasilkan dari bumi Maluku tapi masyarakatnya tak pengang Rupiah. Atau lebih baik orang Maluku yang kelola sendiri alam-nya dan punya mata uang sendiri seperti Pisi?”, sindir dan kritik Tualeka

Baca Juga  Tuduhan Melanggar UU IT, Sidang Risman Solissa Hadirkan Saksi Pelapor

Aktivis muda Maluku ini menjelaskan Pisi akan menjadi bentuk kritik simbolik. Menurutnya, ada banyak cerita bagaimana pemakaian simbol atau satire dapat menarik solidaritas bersama dan membentuk perlawanan kolektif terhadap kebijakan yang tidak adil.

Hal ini misalnya dapat kita saksikan dalam gerakan ‘jaket kuning’ sebagai simbol perlawanan warga terhadap kebijakan Presiden Prancis, Emmanuel Marcon beberapa waktu lalu, yang ternyata efektif sehingga kebijakannya soal BBM dan pajak bisa dinegosiasikan ulang.

“Artinya, perlawanan rakyat atas ketidakadilan secara simbolik dan kolektif dapat mendesak pemangku kewajiban untuk lebih menaruh perhatian dan peduli dengan pemangku kepentingan atau rakyat”, urai Tualeka.

Ia menjelaskan, upaya atau gerakan yang dlakukan pihaknya itu sejalan dengan pandangan ilmuan sosial Jhon C. Cross dalam bukunya, Informal Politics, Street Vendors, and the State in Mexiko City, yang mengetengahkan teori mobilisasi sumber daya atau resource mobilization theori. Dijelaskan apabila kelompok marginal dalam masyarakat mampu memobilisasi sumber daya mereka, maka mereka akan dapat mempengaruhi kebijakan negara.

Sumber daya yang dimobilisasi bisa berupa jumlah orang, solidaritas kelompok, jaringan kemampuan lobi dan sebagainya. Itu artinya, bila ada gerakan kolektif secara simbolik yang mau dilakukan bersama, misalnya dengan menjadikan ‘Paspor Maluku’ yang sudah diluncurkan sebelumnya, serta Pisi sebagai ‘Mata Uang Maluku’ atau gimmick dan satire lainnya sebagai simbol protes kolektif akan menjadi pressure politik bagi pemerintah.

“Gerakan protes dengan simbol-simbol tertentu, bila berlangsung secara massif, minimal di media sosial, dipastikan dapat menjadi fenomena baru dalam menggalang solidaritas orang Maluku, sehingga suara-suara yang selama ini tak terdengar akan bisa lebih didengar,” tegas Tualeka.

(T04)