Juli, Bulan Aneksasi Maluku Selatan

0
2184

Oleh: Butje Hahury

Dengan mendasari pada hak menentukan nasib sendiri berdasar Perjanjian Linggadjati (25 Maret 1947), Perjanjian Renvile (17 Januari 1948), Perjanjian Room Royeen (17 Mei 1949) yang semuanya mensyaratkan Negara Indonesia Serikat tunduk kepada hak mutlak menentukan nasib sendiri. Dan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa yang menentukan hak self determination tiap bangsa merupakan legal rights.

Maka Pemerintah Maluku Selatan melalui Dewan Maluku Selatan yang dikepalai oleh J.H. Manuhuttu memproklamirkan kemerdekaan di Ambon, dan berdirinya negara baru bernama Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950.

Gesinq H.J.Van Der Mollen dalam tulisannya: The Legal Position According to The International Law, mengajukan pertanyaan fundamental : apakah RMS mempunyai hak hukum untuk menjadi suatu negara dalam masyarakat internasional?

Gesina menjelaskan: “sebagai prinsip menentukan nasib sendiri tidak hanya dimasukan dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa artikel 1 sub 2, melainkan ditemukan secara nyata dalam Piagam Atlantic artikel 2 dan 3, walaupun kata-katanya tidak sama persis, tidak mengingkari kenyataan bahwa prinsip menentukan nasib sendiri sudah menjadi prinsip yang diterima oleh hukum internasional pada umumnya.

Bagaimana dengan RMS? Lebih lanjut Gesina menulis, “setengah tahun setelah penyerahan kedaulatan, REPUBLIK INDONESIA menghancurkan semua perjanjian-perjanjian sebelumnya, termasuk Konferensi Meja Bundar. Perampasan kekuasaan atas seluruh wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda merupakan sebuah pelanggaran kewajiban-kewajiban yang sah terhadap bangsa-bangsa lain di kepukauan Indonesia.

Keluar dari Kesepakatan negara-negara anggota negara federasi Indonesia, RI (Yogya) ingin memperluas wilayah teritorialnya meliputi  seluruh Negara-negara anggota (federasi-pen) yang lain. Padahal bagaimanapun juga mereka tetap berbeda daripada orang Jawa dalam ras, budaya dan agama”.

“…orang Maluku Selatan mempunyai pilihan sangat kuat dan ketat terhadap bentuk federasi daripada kesatuan. Mereka mengenal persis apa yang mereka inginkan dan BUKAN DIDOMINASI “REPUBLIK JAWA”. Ketika benteng terakhir federalisme “Makassar” yang merupakan pertahanan gagah berani dikuasai oleh kekuatan superior penyerbu Jawa, mereka sadar bahwa segala harapan masa depan pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri yang sudah diperjanjikan dalam Perjanjian Linggadjati 25 Maret 1947, Perjanjian Renvile 17 Januari 1948 dan Perjanjian Room Royen 7 Mei 1949, akan pupus.

Sangat sedikit Negara dapat merdeka secara sah sama dengan Reoublik Maluku Selatan. Karena yang memproklamirkan Republik Makuku Selatan adalah Mr.J.H.Manuhuttu selaku Kepala Daerah (atau  pemerintah Maluku Selatan-pen)”, demikian tulis Gesina. (lihat : TIM PEMBELA TAPOL (2015), Kebenaran Itu Membebaskan, Negara Republik Maluku Selatan Menggugat Negara Kolonial Republik Indonesia (NKRI), Pleidooi Simon Saija dan 8 tapol RMS, hlm.33-34, dibacakan dalam sidang di Pengadilan Negeri Ambon,pada 20/02/2015).

RMS Keluar dari NIT, Bukan NKRI

Hampir 4 bulan kemudian sesudah Proklamasi dan berdirinya Negara RMS, Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) Soekarno, melikuidasi Negara RIS secara melanggar Hukum Internasional termasuk azas hukum PACTA SUNT SERVANDA dalam semua perjanjian internasional yang pada pokoknya mewajibkan para pihak dalam perjanjian harus mentaati semua perjanjian yang ditandatngani, dengan menggunakan pertama, kekuatan bersenjata (lihat Otobiografi Julius Tahja, Melintasi Cakrawala (1997) dan, kedua, merubah UUD RIS menjadi UUDS 1950 dengan menggunakan UU Darurat No.7 Tahun 1950 yang berlaku pada 17 Agustus 1950.

Maka semua Negara Bagian sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan bentuk negara federasi yang demokratis Bab I NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERIKAT UUD RIS dihancurkan termasuk Negara Indonesia Timur (NIT), dan dikooptasi dan “dikoloni” oleh salah satu anggota Negra RIS bernama REPUBLIK INDONESIA yang disebut Gesina H.J.van der Mollen yang kemudian digunakan Hasan Tiro pemimpin Aceh Merdeka sebagai REPUBLIK JAWA.

Bab I Negara Republik Indonesia, pasal 1 ayat (1) UUD SEMENTARA 1950 menegaskan “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum jang demokratis dam betbentuk kesatuan”. Sedangkan Bagian 2 tentang Daerah Negara ayat (2) “Republik Indonesia meliputi seluruh daerah Indonesia”.

Dengan demikian, perubahan bentuk negara dari federasi menjadi kesatuan dibawah kekuasaan Republik Indonesia atau Republik Jawa  yang tadinya hanya Jawa, Madura dan sebagian Sumatera, berdasar Perjanjian Renville 27 Januari 1948, kini meluas dan mengkolonisasi wilayah negara lain termasuk N.I.T. Dan dilakukan secara melawan hukum internasional.

Baca Juga  Lewat Surat Terbuka, Aliansi Elat (AME) Sampaikan Pesan Kepada Bupati Maluku Tenggara

Jadi RMS separate dari NIT. Bukan dari REPUBLIK JAWA atau Republik Indonesia sebagaimana diakui pula oleh Soekarno.

Kebohongan dan Reaksi Republik Indonesia

Terhadap Proklamasi kemerdekaan Negara Republik Maluku Selatan yang sah menurut Hukum Internasional, Presiden Soekarno menyatakan pada 17 Agustus 1951 sebagai berikut:

“Setelah Soumokil membangkitkan semangat melawan Negara Kesatuan di Makassar yang meluap menjadi pemberontakan Andi Azis, maka terbanglah ia dengan kapal udara Belanda ke Manado….Soumokil lantas dengan memakai kapal udara itu pula-terbang ke Ambon. Disana itulah ia berhasil mengajak 2000 orang K.N.I.L. jang masih dibawah komando Belanda untuk memberontak. Republik Maluku Selatan diproklamirkan, satu Republik…jang sama sekali terlepas dari R.I.S. atau N.I.T.

Saudara-saudara masih ingat gagalnya misi Leimena untuk mencoba menyadarkan mereka dan gagalnya pula satu missi perdamaian lain yang telah diadakan oleh beberapa saudara Ambon partikelir untuk bicara dengan mereka. Maka dapatlah kita, Republik Indonesia (BUKAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA-pen) yang merdeka, Republik yang mempunyai rasa kehormatan negara, Republik yang bertanggung jawab pula atas keselamatan penduduk di Maluku Selatan yang diterorganisir oleh R.M.S. itu – dapatkah tinggal diam?

Dr.Drees (Perdana Menteri Belanda waktu itu-pen) mempunjai pikiran lain tentang hal ini, tetapi kita yang souverein, berdaulat ini, mempunjai pikiran kita sendiri. Kalau semua usaha berbulan-bulan untuk bitjara baik-baik dengan kaum pemberontak gagal, maka terpaksalah kita mempergunakan tangan besi: Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, kita perintahkan untuk mematahkan pemberontakan itu.

Bulan juli 1950 pulau-pulau Buru dan Ceram kita duduki kembali, akhir September pendaratan dipulau Ambon kita mulai, tanggal 3 Nopember 1950 Sang Dwi Warna kita pancangkan dikota Ambon lagi.

Sebenarnya ini adalah salah satu dari dua kesulitan jang dibangunkan oleh caranya Belanda menjelesaikan soal K.N.I.L. Walaupun K.N.I.L dengan resmi dibubarkan pada tanggal 26 Djuli 1950, dua kesulitan itu nyata berada. Pertama soalnya orang-rang Indonesia bekas K.N.I.L. jang sesudah pembubaran K.N.I.L. memperoleh kedudukan sebagai K.L.Kedua soal pemberontakan di Maluku Selatan tadi.

Soal orang-orang K.N.I.L yang sementara menjadi K.L.,kita pandang sebagai tragedi. Bukankah suatu tragedi? Aceh, mereka adalah satu golongan dari bangsa kita jang tidak dapat melepaskan dirinya dari pengaruh-pengaruh dan jalan pikiran yang tidak sesuai lagi dengan keadaan baru di tanah airnja sendiri. Bukankah suatu tragedi? Mereka achirnja telah diangkut ketanah orang lain, kenegeti Belanda, dengan tiada tudjuan sama sekali, jang tertentu.

Ya, suatu tragedi, yang menurut keyakinan kita, tadinya dapat dihindarkan apabila sejak mulanya pimpinan tentara Belanda menghadapi soal K.N.I.L. ini dengan cara dan tujuan yang lebih sesuai dengan persetujuan- persetujuan jang telah diteken. Dan satu tragedi jang terlebih-lebih tragis, oleh karena tadinya Pemerintah Indonesia dan Pimpinan Angkatan Perang Indonesia telah menjalankan segala-galanya untuk menghindarkan tragedi itu, tetapi tertumbuk kepada cara dan tujuan pimpinan tentera Belanda menghadapi soal itu…”. (Jusuf Abdullah Puar, Peristiwa Republik Maluku Selatan, penerbit Bulan Bintang hlm.7-8)

Dari pernyataan Soekarno di atas terdapat beberapa pikiran pokok :

  1. Republik Indonesia bertanggung jawab pula atas keselamatan penduduk di Maluku Selatan, nyatanya hanya pemberi harapan palsu. Karena Soekarno pernah keluarkan Maklumat Perang untuk membunuh orang Maluku, Manado dan Indo di seluruh Jawa yang ditulis Volkskrant dan Rotterdamsekrant dengan judul : “Soekarno Verklaart oorlog aan Indo’s, Menadonezen , en Ambonezen”- Soekarno menyatakan perang Kepada Orang-Orang Indo, Menado dan Ambon) “Dalam pamflet itu dikatakan bahwa kelompok-kelompok (Maluku,Manado dan Indo-pen) harus diboikot karena merupakan musuh bangsa Indonesia. Mereka harus dibunuh ditempat kediaman mereka, harus dilingkari kawat berduri, sumur dan air minum mereka harus diracuni, setiap pedagang dilarang menjual apapun kepada mereka”. (Johannes de Fretes, Kebenaran Melebihi Persahabatan, penerbit PT.Harman Pitalex, 2007;74, 76) Ibu-ibu Ambon yang berbelanja ke pasar, mulai diancam.Pemuda Tanjung Priok harus amankan beberapa orang Maluku yang dianiaya di pelabuhan. Di belakang Stasiun Jatinegara orang-orang Ambon tidak berani lagi keluar masuk gang tempat tunggalnya karena Barisan Pelopor sudah siap untuk menyerang. (de Fretes, 2007 ;57)
Baca Juga  Gitu Aja Kok Repot!

Keluarga Agus Souisa, istri dan kedua anaknya dan dua saudara perempuannya satu persatu ditikam dengan senjata tajam oleh Barisan pelopor yang juga pada satu malam sekitar pukul 23:00 segerombolan Barisan Pelopor (Organisasi di Jakarta) sudah siap dengan bom-bom buatan sendiri menyerang dan menghancurkan tempat-tempat tinggal orang-orang Ambon di Batalion X.Lukas Pelhaupessy di Pasar Baru ditikam. Sedangkan Henk Wattimena berhasil lolos dari penyiksaan dan pembunuhan. (de Fretes 2007 ;75,76) Kramat VII-dulu Land Wichert jadi tempat penampungan orang-orang Maluku yang diancam. (de Fretes 2007 ;73) Butje Tahalele (yang di kemudian hari tidak mau lembali ke Indonesia, tinggal dan bekerja di Jerman) dipotong dengan parang oleh barisan pelopor di Jatinegara. Boma Latupeirissa (orang tua) juga dibunuh di Jatinegara. Keluarga Loppies dan anak-anak serta seorang muda dianaya sampai mati di daerah Pasar Minggu (de Fretes 2007 ;58).

Itulah kemerdekaan Republik Jawa, Republik Soekarno atau yang disebut Nono Tanasale salah seorang pimpinan orang Maluku di Jakarta sebagai “Republik tai” (  de Fretes 2007 ;78) yang mengancam dan membunuh orang-orang Maluku. Banyak orang Maluku dibunuh oleh orang2 yang diorganisir. Orang Maluku tak percaya kepada “Republik Soekarno”.(de Fretes, ibid.hlm.68,78, 84). Pembunuhan juga banyak dilakukan APRIS terhadap masyarakat sipil atau rakyat biasa di banyak negeri di pulau Seram ketika lakukan agressi militer ke Maluku Selatan.

Bahkan ada kampung yang dilenyapkan karena penduduknya dibunuh hampir tak tersisa ketika aneksasi. Kita menyaksikan pula dikemudian hari cara pembunuhan tanpa senjata yang sangat halus  hampir tak terasa dan berjangka panjang, ketika tanah-tanah adat Maluku justru diambil dan dikuasai secara terencana melalui keterlibatan negara dengan berbagai cara kemudian memobilisasi orang2 Jawa dan menjadikan mereka sebagai koloni di atas petuanan Nusa Ina, dan pulau Buru.

Bukankah tanah adalah kehidupan manusia? bukankah kehilangan tanah sumber hidup, berarti ajal dan kematian bagi kita manusia pemilik petuanan? Dengan cara ini pula genosida kebudayaan Maluku dilakukan dengan sangat halus dan berjangka panjang.

Bukan cuma tanah, tapi kekuasaan  menguasai dan mengeksploitasi kekayaan Maluku di darat, di perut bumi tanah2 adat milik anak-anak adat bangsa Maluku termasuk kekayaan di laut Maluku. Indonesia tidak pula mampu melaksanakan kewajiban konstitusionalnya melindungi segenap bangsa, sehingga konflik dan pembunuhan Maluku terjadi di tahun 1999-2004.

  1. Negara RMS melepaskan diri dari R.I.S. atau N.I.T. Bukan dari Republik Indonesia atau Republik Jawa yang menjadi salah satu anggota RIS yang wilayahnya bukan di Maluku berdasar perjanjian-perjanjian yang Soekarno teken, yang dia tuntut kepada Belanda supaya ditaati.
  2. Soekarno menyatakan semua usaha sudah dilakukan baik-baik sebelum dia terpaksa lakukan agressi militer ke Maluku, adalah tidak benar. Karena sesungguhnya Soekarno sengaja mengabaikan dan tak mau lakukan prinsip2 demokrasi dalam kontitusinya sendiri dengan melaksanakan plebisit atau referendum sebagaimana pula tersebut antara lain dalam Perjanjian KMB.
  3. Soekarno mengakui melakukan agressi militer dengan kekuatan penuh dalam yurisdiksi Republik Maluku Selatan dan lakukan pendudukan paksa wilayah Maluku Selatan (aneksasi);

Aneksasi Maluku

Menurut KKBI, aneksasi artinya pengambilan dengan paksa tanah (wilayah) orang (negara) lain, untuk disatukan dengan tanah (negara) sendiri; pencaplokan.

Aneksasi menurut Prof.Dr.Sefriani,S.H.,M.Hum., dalam bukunya Hukum Internasional Suatu Pengantar, penerbit PT Raja Grafindo PERSADA, Depok, 2018, cet.ke-9, hlm.177) adalah penggabungan suatu wilayah negara lain dengan kekerasan atau paksaan ke dalam wilayah negara yang menganeksasi”.

Syarat atau unsur telah terjadinya aneksasi adalah bahwa wilayah benar-benar telah ditaklukan serta adanya pernyataan kehendak secara formal dari negara penakluk untuk menganeksasinya (Sefriani, 2018 ;177). Dari syarat ini maka, Republik Indonesia telah memenuhi syarat telah menganeksasi Maluku Selatan.

Baca Juga  Blok Masela Bukan Alat Negosiasi Kursi Menteri Bagi Maluku

Dewasa ini, aneksasi merupakan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan hukum internasional, di antaranya :

  1. Kellog Briand Pact 1928, yang melarang perang sebagai instrument kebijakan suatu negara;
  2. Pasal 2(4) Piagam PBB, melarang tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan teehadap integritas wilayah atau KEMERDEKAAN POLITIK NEGARA LAIN;
  3. Deklarasi prinsip-prinsip hukum internasional tentang hubungan baik dan kerjasama antara negara 1974, wilayah suatu negara tidak bisa dijadikan objek perolehan oleh negara lain dengan cara ancaman/penggunaan kekuatan. Tidak ada perolehan wilayah dengan cara-cara itu akan diakui secara sah oleh Internasional. (Sefriani, 2018 ;177-178)

Meskipun begitu, REPUBLIK JAWA, tetap lakukan aneksasi Maluku Selatan dengan nama Operasi Malam. Operasi militer ini dilaksanakan dengan PO No.117/PO/KTT/VII/50 tanggal 13 Juli 1950. Pasukan yang dikerahkan terdiri dari :

Angkatan Darat :

– Bn Pattimura dikomandani Mayor Pelupessy; -Bn 352 dikomandani Mayor Suradji;

– Bn 3 Mei dikomandani Mayor Mengko.

Angkatan Laut : RI Patti Unus, RI Hang Tuah dan RI Banteng. Kesatuan angkutan terdiri dri LST 3, LCI Stormvogel, KM Waikeko dan KM General van Geen.

Berdasar Perintah Operasi (PO) hari H ditetapkan tanggal 14 Juli 1950, hari ini 70 tahun lalu, jam 06:00 pagi, dengan tempat pendaratan Lala Ubun 8 km sebelah utara kota Namlea, pulau Buru. Pendaratan diawali tembakan-tembakan dari kapal perang dari laut  untuk melindungi pendaratan. (Sejarah Militer Daerah Militer XV/Pattimura, Mengenal dari Dekat Komando Daerah Militer XV/Pattimura, tanpa penerbit, cetakan pertama, 1974,hlm.29,31) teknik operasi militer ini mirip agresi militer Indonesia di Timor Timur tahun 1975.( lihat,Kiky Syahnakri, Timor Timur The Untold Story)

Bn Pattimura yang mendarat pertama. Disusul Bn 352 dan Bn 3 Mei. Pendaratan ini awalnya tak peroleh perlawanan dari Angkatan Perang RMS. Dalam pergerakan pasukan dari Lala Ubun menuju Namlea, Angkatan Perang RMS di bawah komando Sersan DAUD LESTALUHU mulai lakukan perlawanan sengit dan berhasil membunuh Sersan Mayor Paliama, Sersan Teraju dan seorang prajurit lain dari kompi Lumenta. (Sejarah Militer Daerah Militer XV/Pattimura, 1974 ;32)

Meski pertempuran masih berlanjut pada 15 Juli 1950 dan di waktu-waktu panjang berikut, tapi untuk keperluan tulisan ini untuk sementara cukup di sini sebagai gambaran  dan bukti bahwa status Maluku Selatan adalah wilayah yang dianeksasi menurut hukum Internasional. Karena itu, maka pemerintah Republik Maluku Selatan lakukan protes dan membawa konflik RMS vs RI ke PBB yang kemudian direspon PBB dengan membentuk UNCI. 4 dan 25 Agustus 1950  UNCI menawarkan jasa baik tetapi ditolak Indonesia.

Menurut Dr.Karen Parker dalam tulisannya berjudul Republik Maluku The Case for Determination, A Briefing Paper of Humanitarian Law Project International Educational Development and Association of Humanitarian Lawyers, yang pernah dipresentasi di United Nations Commission on Human Rights di Jenewa pada Maret 1996 menulis bahwa “pada tahun 1994, Sub Komisi PBB tentang Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan bagi kelompok minoritas mengumumkan resolusi merrka tentang Indonesia dengan menyebut Aceh dan Maluku secara Inter Alia. Dan dijamin pula dalam Resolusi PBB 1514 (XV) 1960 tentang self determination sebagai human rights dan legal rights. Tindak lanjut dari Resolusi PBB ini sangat ditentukan pertama-tama oleh bangsa Maluku di atas wilayah yang ingin menentukan nasibnya sendiri.

Moga fakta sejarah ketatanegaraan dan perpolitikan ini bisa jadi saksi zaman, sinar kebenaran, kenangan hidup, guru kehidupan dan pesan dari masa silam, sebagaimana ditulis dengan indahnya oleh Tullius Cicero dalam bukunya Oratore (Pidato) “Historia vero testis temporum,lux veritatis, vita memoriae, magistra vitae, nuntia vestustatis”.

Ketika bertahun-tahun orang melupakan 14 Juli sebagai hari aneksasi, ale rasa apa?

Penulis adalah Sejarawan