Catatan 22 Tahun Konflik Maluku: Pentingnya Keterampilan Multikultural

0
2700

”Apa yang terjadi di Kepulauan Maluku, kini dapat menjadi pelajaran penting, tidak saja untuk masyarakat Maluku saat ini dan generasi ke depan, namun juga bagi masyarakat tanah air di pelbagai daerah, bahkan dunia.”

Oleh: M. Ikhsan Tualeka

Tak terasa hari ini, 19 Januari, 22 tahun sudah, sejak konflik sosial pertama mendera wilayah Kepulauan Maluku. Satu fase kelam dan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah hubungan antar etnik dan umat beragama di tanah air. Maluku yang penduduknya dikenal toleran terhadap agama dan relasi kemanusiaan, di samping keindahan dan kekayaan alamnya, tiba-tiba berubah menjadi sangat getir.

Sejumlah sejarawan, ilmuwan dan peneliti sosial spesialis kajian Maluku seperti Jacques Bertrand, Chris Wilson, Gerry van Klinken, Dieter Bartels, Birgit Brauchler dan lainnya bahkan menyebut tragedi kemanusiaan di Maluku sebagai konflik Kristen-Muslim terbesar dan terparah dalam sejarah sosial – politik di Indonesia. Tonggak sejarah yang kelam.

Pemicu konflik sebenarnya adalah sepele, berawal dari perkelahian antar individu, tetapi pertikaian kemudian meluas menjadi konflik antar kelompok. Ini menjadi periode konflik etno – politik di sepanjang garis agama yang membentang di kepulauan Indonesia dan membentuk Kepulauan Maluku, dengan gangguan sangat serius di Ambon dan Kepulauan Halmahera.

Konflik menjadi semakin masif, intens, dan memburuk, seolah tak akan pernah selesai, sejak sejumlah kelompok atau faksi dan ‘oknum’ di militer, polisi, pemerintah, dan elite agama memanfaatkan isu dan kekerasan di Maluku, khsusnya di Ambon untuk kepentingan mereka masing-masing. Selalu ada yang mau mengambil keuntungan saat konflik terjadi.

Puncak konflik sendiri terjadi dalam kurun waktu 1999-2002 yang diawali dengan peristiwa yang lebih dikenal dengan Maluku Berdarah, pada 19 Januari 1999 yang memakan banyak korban. Hasil survey Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2012 mencatat korban akibat konflik di Kepulauan Maluku antara 8000-9000 jiwa, jauh lebih besar dibanding korban akibat konflik dan perang di Bosnia – Herzegovina yang mengguncang dunia.

Baca Juga  Mengenal Maluku Dari Daratan Eropa

Semula konflik dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat hanya sebagai sebuah tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh suatu tindak atau peristiwa kriminal biasa. Pada kenyataannya ada banyak analisa dan kesimpulan yang diberikan terhadap akar penyebab konflik yang sebenarnya.

Mulai dari konflik yang terjadi ini adalah sebuah rekayasa yang dirancang oleh orang atau kelompok tertentu, demi kepentingannya dengan menggunakan isu SARA. Maupun sejumlah analisa yang menyimpulkan faktor lain seperti kesenjangan sosial, ekonomi, politik, ketidakadilan, diskriminasi pemerintahan dan lain-lain.

Apapun latarnya, sejatinya hubungan antar masyarakat yang ada di Kepulauan Maluku memiliki tradisi kultural yang kuat untuk mempersatukan masyarakat, meski hidup dalam perbedaan, termasuk juga sebagai media penyelesaian konflik, bila terjadi pertikaian antar masyarakatnya. Namun kenyataannya itu tak cukup mencegah konflik menjadi eksesif kala itu.

Dalam prosesnya, meski secara resmi Perjanjian Damai (Malino) telah ditandatangani antara delegasi umat Kristen dan Muslim, yang difasilitasi oleh pemerintah pusat pada Februari 2002, tetapi pertikaian masih kerap terjadi terutama di ‘akar rumput’. Bahkan sampai tahun 2011, kekerasan komunal masih meletup di sejumlah kawasan meskipun dalam skala yang kecil, lokal, dan terbatas.

Setelah melewati berbagai fase krusial hingga terwujudnya resolusi konflik, kini kawasan Maluku telah damai, bahkan proses recovery-nya lebih cepat dari analisis dan prediksi banyak pihak. Bekas konflik secara fisik hampir sudah tak terlihat lagi, masyarakat pun telah hidup damai, walau sesekali terjadi gesekan, namun dengan cepat dapat diatasi, bukti bahwa ketahanan dan kemampuan masyarakat dalam mencegah dan mereduksi potensi konflik makin lebih baik.

Fakta bahwa masyarakat di Kepulauan Maluku telah belajar banyak dari konflik yang pernah terjadi, bahkan saat ini tergolong sebagai daerah dengan indeks kebahagiaan tertinggi, setidaknya menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2017. Situasi dan pencapaian yang fantastis bagi daerah yang pernah dilanda konflik.

Namun hingga di titik ini, tentu ada banyak peran dan kontribusi dari berbagai individu maupun kelompok. Mulai dari yang mengupayakan resolusi konflik, maupun yang ikut menjaga dan merawat perdamaian dengan berbagai pendekatan.

Baca Juga  Membaca Fenomena Fashion Street Ala Anak Muda SCBD

Peran serta dari berbagai pihak, kemauan yang kuat untuk terus membangun komunikasi dan dialog secara terbuka antara  orang basudara dan komunitas lintas agama, adalah kontribusi yang paling mendasar. Komunikasi dan dialog menjadi penting dalam membangun kesepahaman sehingga menghadirkan rasa saling percaya, dan itu adalah modal sosial yang memadai bagi terwujudnya kerjasama, khususnya antara komunitas  Kristen-Muslim di Maluku.

Pencapaian kekinian yang makin positif ini. Tentu tak terlepas dari kontribusi individu, organisasi, lembaga dan komunitas lintas-agama yang juga terus-menerus secara intensif mereduksi potensi dan pemicu konflik serta kekerasan di satu sisi, dan pada saat yang bersamaan menyemai benih-benih peradamaian di masyarakat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, Gereja Protestan Maluku, Keuskupan Amboina dan kelompok agama lainnya telah dan terus menunjukan komitmen yang sama. Sinergi kerap terbangun dalam berbagai momentum.

Atas peran berbagai pihak itu, saat ini perbedaan di Maluku telah dapat dikelola dengan bijak. Kita dapat menemukan hal yang unik, dimana perbedaan justru bisa menghadirkan harmoni, kompromi dan saling bergandengan tangan. Misalnya saja jika gubernur Maluku beragama Islam, wakilnya beragama Kristen dan sebaliknya. Begitu pula di Kota Ambon dan sejumlah kabupaten atau kota lainnya.

Ini yang kerap saya istilahkan dengan “keterampilan multikultural”. Keterampilan yang juga hidup dalam kearifan lokal yang selama ini ada di tengah masyarakat. Kearifan yang telah ikut menjaga dan merajut perdamaian serta kerukunan ini, terus dilestarikan dan diperkuat oleh masyarakat Kepulauan Maluku.

Transformasi simbol-simbol kearifan lokal seperti Pela, Gandong, Larvul Ngabal, ‘Ain ni Ain, Kalwedo dan lainnya terbukti efektif sebagai alat pemersatu. Selain menjadi simbol kultural bersama atau ‘common values’ yang menyatukan masyarakat Kristen dan Muslim, baik ‘asli’ Maluku (settlers) maupun pendatang (migrants).

Dengan modal sosial yang ada, masyarakat Kepulauan Maluku kini terus guyub dan rukun, saling membantu tanpa harus membedakan suku dan agama. Semua itu mencerminkan dan memberikan pesan bahwa persaudaraan dan kemanusiaan adalah nilai universal. Menegaskan pula bahwa Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika bukan sebatas pajangan, tapi benar-benar tercermin dalam kehidupan masyarakatnya.

Baca Juga  Buano Diingat Saat Musim Politik, Terlupakan Saat Musim Banjir

Apa yang terjadi di Kepulauan Maluku, kini dapat menjadi pelajaran penting, tidak saja untuk masyarakat Maluku saat ini dan generasi ke depan, namun juga bagi masyarakat tanah air di pelbagai daerah, bahkan dunia. Apalagi di tengah kondisi makin merebaknya intoleransi dan radikalisme yang dapat mengancam integrasi sosial dan bangsa.

Belajar dari daerah yang pernah mengalami konflik, dan mampu bangkit adalah sebuah keharusan. Masyarakat Maluku telah memberikan pembelajaran yang berharga buat bangsa Indonesia, bahwa tak ada yang diuntungkan dari satu konflik yang terjadi, dan keterpurukan bukanlah sesuatu yang harus disesali berkepanjangan, tapi justru harus mampu keluar serta menyadari untuk segera berbenah dan bangkit.

Kita belajar bahwa konflik yang disebabkan karena perbedaan segera dapat diatasi karena persoalan utamanya bukan terletak pada perbedaan, dan perbedaan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dihindari. Berbeda bukan berarti mesti bertikai, tapi untuk saling menghormati dan mencari titik persamaan guna merajut persaudaraan sesama manusia.

Saat ini Indonesia tengah menghadapi berbagai tantangan, antara lain intolerasi yang kerap mengemuka. Dalam kondisi semacam ini tentu Maluku bisa dijadikan laboratorium multikultural dan etalase pembelajaran yang sangat baik dan inspiratif, jika ingin bangsa ini tetap bersatu, hidup rukun dan damai. Pelajaran bahwa penghargaan dan penghormatan atas perbedaan adalah kewajiban setiap manusia dan sebuah keniscayaan.

Penulis adalah Direktur Beta Kreatif