Oleh: Rudy Rahabeat
Disebut kepulauan karena terdiri dari beberapa pulau, baik sedang maupun kecil, yang berpenghuni maupun tidak. Pulau-pulau yang timbul di tengah laut.
Dua pulau yang berukuran sedang yakni pulau Luang dan pulau Sermata. Pulau Luang terdiri atas dua desa atau jemaat yakni Luang Timur dan Luang Barat.
Di sini tidak ada air tawar. Masyarakat memanfaatkan air hujan dan atau air payau (salobar) untuk kebutuhan air minumnya.
Di sebelah pulau Luang ada pulau kecil berpenghuni sekira 20 kepala keluarga yang berbatasan dengan negara Timor Leste yakni pulau Meatimiarang.
Sedangkan pulau Sermata agak besar yang terdiri lebih dari sembilan desa dan di sana terdapat pusat kecamatan Luang-Sermata yakni desa Lelang.
Saya berkesempatan lima hari tinggal di desa Mahaleta di pulau Sermata. Tidak ada jaringan internet di desa tersebut. Memang ada sebuah tower kecil tetapi belum berfungsi dengan baik.
Ada juga tiang-tiang listrik berjejer antar desa di pulau Sermata tetapi hingga saat ini lampu belum menyala, karena tidak ada mesin diesel untuk jaringan listrik tersebut.
Seorang rekan menyebut dengan bahasa sinis bahwa inilah jaringan tiang gantungan (jemuran) pakaian yang terpanjang di dunia.
Ia pernah menyampaikan fakta ini kepada Gubernur Jawa Timur Ganjar Pranowo, yang saat ini salah satu bakal calon Presiden.
Tiang-tiang seperti ini ada di pulau-pulau lainnya juga seperti di pulau Lakor dan pulau Damer semuanya di Kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku. Ini memang sebuah ironi pembangunan di Republik tercinta ini.
Entah kapan-kapan pulau-pulau itu terang benderang. Mudah-mudahan sebelum pak Jokowi mengakhiri tugasnya jaringan listrik sudah menyala di pulau-pulau ini.
Di pulau Luang saat ini berkembang usaha rumput laut. Warga desa sibuk setiap hari di laut dan pinggir laut untuk memanen hasil alamnya.
Jika beruntung sekali panen bisa memperoleh satu ton dan bisa mendapatkan 20-an juta rupiah. Rata-rata diperlukan 30 sampai 40 hari sekali panen.
Rumput laut yang sudah dikeringkan itu langsung dijual kepada pedagang Makassar yang datang ke pulau ini sambil membawa kebutuhan pokok masyarakat.
Biasanya terjadi barter antar nelayan hasil rumput laut dengan kebutuhan masyarakat seperti beras, meja kursi, alat-alat elektronik termasuk bahan-bahan untuk mengolah rumput laut.
Saat saya tiba di Luang Timur sedang terjadi negosiasi antara pedagang Makassar dengan pemerintah setempat terkait harga. Harga yang ditawarkan 20 ribu per kilo sedangkan pemerintah desa mematok harga 25 ribu per kilo.
Terjadi negosiasi yang cukup alot terkait harga. Diperlukan intervensi pemerintah untuk melindungi warga masyarakat dari spekulasi harga jual rumput laut.
Di pulau Sermata relatif daratannya lebih subur. Ada beberapa desa penghasil jagung dan sayur-sayuran serta umbi-umbian. Salah satu hasil hutan yang terkenal di pulau ini juga adalah Madu.
Madu Sermata mempunyai kualitas yang baik sekali. Warga masyarakat berjuang sekuat tenaga untuk mengolah hasil alam yang tersedia. Moda transportasi di pulau-pulau ini relatif belum lancar.
Di desa Mahaleta ada sebuah pelabuhan kapal laut. Walau sudah ada rute Kapal Sabuk Nusantara dalam program “tol laut” tetapi beberapa infrastruktur perlu diperhatikan lagi.
Misalnya di pulau Luang sampai hari ini tidak ada pelabuhan kapal. Akibatnya kapal yang datang hanya terapung-apung di pinggir pantai, lalu masyarakat dengan jolor-jolor (alat transportasi lokal) merapat ke kapal untuk mengambil penumpang dan barang.
Saya mendapat informasi dari seorang pejabat Kabupaten Maluku Barat Daya bahwa pemerintah sedang menjajaki pembangunan pelabuhan laut di pulau Luang. Semoga niat ini benar-benar dapat terealisasikan.
Orang-orang di kepulauan Luang Sermata memiliki daya juang yang tinggi. Sebagian mereka pergi merantau untuk menimbah ilmu dan mencari pekerjaan.
Orang-orang Luang misalnya sudah lama merantau dan mereka sudah cukup berhasil di luar pulaunya. Selain itu, pulau Luang juga diyakini sebagai salah satu pusat asal usul manusia Maluku.
Di Luang Barat misalnya ada yang namanya kampung Kei dan Perigi Kei sebagai pertanda bahwa leluhur Kei pernah tinggal di pulau ini.
Demikian pula sebagian masyarakat di Maluku Barat Daya, kepulauan Tanimbar hingga di pulau Seram menyebutkan bahwa mereka berasal dari pulau Luang. Sebuah sejarah migrasi dan peradaban manusia yang cukup panjang.
Catatan singkat dari Kepulauan Luang-Sermata Kabupaten Maluku Barat Daya ini sebenarnya hendak meringkas tiga hal sederhana dari sejumlah kerumitan pergulatan masyarakat di pulau-pulau.
Pertama, alam pemberian Tuhan menyediakan sejumlah potensi yang jika dikelola dengan optimal akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Masyarakat Luang-Sermata terus berjuang mengusahakan kesejahteraan itu di tengah tantangan dan hambatan yang mereka hadapi.
Kedua, pemerintah hendaknya sungguh-sungguh menopang warganya dengan infrastruktur dasar yang memadai, seperti listrik, air bersih, transportasi, telekomunikasi, dan sebagainya.
Dalam kaitan ini maka lobby dan pressure para anggota legislatif di pusat maupun di daerah perlu dimaksimalkan.
Ketiga, pengembangan kualitas sumber daya manusia merupakan kunci untuk kemajuan masyarakat.
Ketersediaan sekolah-sekolah yang berkualitas, para guru yang loyal dan inovatif, sinergitas antar pemerintah desa dengan stakeholder terkait, termasuk dengan lembaga agama (baca: gereja) merupakan langkah-langkah strategis yang harus seirama, terukur, sistematis dan berkelanjutan.
Dengan adanya kolaborasi dan sinergi itu diharapkan masyarakat dan ekosistem di pulau-pulau seperti kepulauan pu Luang-Sermata makin maju dan lestari, berkembang dan sejahtera lahir dan batin. Kalwedo!
Penulis adalah Pendeta dan aktif di Komunitas Penulis Maluku