“Tunjukkan padaku siapa teman-temanmu, maka aku akan tahu siapa dirimu..”
Oleh: Rudi Fofid
Maluku adalah wilayah di Nusantara yang paling mencirikan perjumpaan-perjumpaan hebat. DNA kebudayaan Maluku sangatlah mestizo. Segala macam campuran geneologi ada di sini, lengkap dengan campuran kebudayaannya. Nyaris tidak ada orang Maluku punya identitas tunggal.
Perjumpaan selalu spektakular. Semua orang punya riwayat asal-usul yang historis, magis, bahkan mistis. Sebagian perjumpaan itu dirayakan sebagai pela dan gandong yang menjadi lembaga luhur. Di luar pela dan gandong, orang Maluku sangat terbuka, pekerja keras, gemar berjuang, pemberani, keras fisik sekaligus lembut jiwa.
Sekadar sebuah nama, banyak orang sudah kenal Maluku. Akan tetapi sebagai sebuah eksistensi yang hidup dalam ruang konkrit dan bernafas dalam sejarah waktu, tidak semua orang paham isi hati Maluku.
Ada ketelanjuran pembangunan streotip bahwa orang Maluku itu kasar dan jahat. Berabad-abad, orang melukis Maluku sebagai barbar, kanibal, potong-potong kepala, marsose, londo ireng, preman, hingga debt collector.
Sikap malas, harap gampang, dan naif termasuk kalangan jurnalis dan akademisi, membuat orang terjebak dalam stereotip yang penuh ilusi. Mereka gagal mengenal kesejatian dan keluhuran orang Maluku. Padahal orang Maluku itu manusia welas asih.
Mereka memandang orang lain sebagai dirinya sendiri, sebagai ain ni ain, tat swam asi, ale rasa beta rasa, saudara gandong satu rahim. Orang Maluku itu memang penuh rahman dan penuh rahim.
Perjalanan dan Gagasan Ikhsan Tualeka dalam Catatan Putra Timur adalah sebuah artefak baru isi hati Maluku. Ikhsan secara jujur sekaligus vulgar memperkenalkan diri sebagai ‘Beta Maluku’. Ada cetusan individual, ego, bahkan narsis di dalam buku ini.
Saya suka, sebab pada zaman yang berlimpah kafir literasi, hari ini, ada seorang anak muda yang setia menulis dan merekam zaman dari pengalaman konkrit menurut mata batinnya. Ikhsan mengajak pembaca bersua dengan Ona Lasari (3) dan Ishak Lasari (1,5) di pedalaman Pulau Seram, tetapi juga bersua Presiden AS Obama. Sungguh, sebuah perambahan melintas batas.
Pada buku Carita Orang Basudara (Pusad Paramadina, 2014), saya menulis kisah berjudul Beribu Headline Tanpa Deadline. Pada akhir naskah itu, saya menulis begini:
“Saya percaya, ada beribu-ribu cerita di Maluku yang bisa menjadi headline media-media di muka bumi. Namun untuk menampilkannya, seluruh orang Maluku perlu menulis riwayatnya sendiri apa adanya. Biarlah tulisan itu mengalir tanpa tekanan deadline. Asalkan jujur, maka kebenaran-kebenaran besar tentang kesedihan dan kegembiraan, kecemasan dan harapan orang Maluku akan terang-benderang untuk masa depan.”
Nah, harapan saya itu diwujudkan Ikhsan Tualeka dalam buku Catatan Putra Timur. Saya gembira menyambut buku ini. Baca buku ini dengan tenang, jangan tergesa-gesa. Ikutilah perjalanan-perjalanan Ikhsan keliling dunia, cermati gagasan-gagasan baru dan asli dan pendapat-pendapat pribadi maupun pendapat orang lain yang terekam di sini.
Laksana pelaut gagah berani, Ikhsan adalah Popeye dalam dunia konkrit. Ia melayari kedalaman tujuh samudera, memasuki cela selat sempit, perairan dangkal, berombak, pusaran arus dalam jalan vivere pericoloso.
Buku ini sekaligus mempertontonkan keseimbangan Ikhsan Tualeka dalam keterampilan dasar berbicara, menulis, dan bertindak. Ada sikap profetik di sini yakni kesesuaian pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Akhirnya, bila ingin kenal isi hati dan isi kepala Maluku, bacalah isi hati dan isi kepala Ikhsan Tualeka dalam buku ini. Perhatikan insan-insan di sekeliling Ikhsan, dari lingkup pribadi sampai ke ujung dunia.
Jika Ikhsan itu sebuah pusat, ia terhubung dengan berlimpah aktor lintas suku, agama, ras, golongan, gender, isme, dan kelas sosial. Dengan menilik aktor-aktor dalam setiap jejak perjalanannya, kita bisa kenal siapa Ikhsan Tualeka, dan apa itu Maluku.
Secara subjektif dan agak berlebihan, saya memandang Ikhsan sebagai sebuah jendela. Dari jendela jiwa sekecil apapun, kita bisa memandang sesuatu yang besar dari sana. Ikhsan itu Maluku. Ia lokal sekaligus global, ternyata!
Ambon, 2 Juli 2019
Penulis adalah jurnalis dan penyair