TABAOS.ID,- Akibat dicegat oleh pihak keluarga Huliselan yang bersebelahan dengan Rumah Sakit Sumber Hidup atau Rumah Sakit GPM, Rencana pengukuran oleh keluarga Soukotta harus dihentikan sementara waktu.
Adu argumen oleh petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan sejumlah anggota keluarga Huliselan di kawasan Jalan Anthoni Rhebok Nomor 11, Kelurahan Honipopu, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon berakhir dengan kesepakatan penundaan. Dan akan dilanjutkan usai perayaan Idul Fitri.
Pantuan media ini, aksi adu argumen tersebut sempat menarik perhatian warga yang ada di sekitar lokasi, bahkan petugas kepolisian juga terlihat di lokasi tersebut, namun hal ini tidak berlangsung lama karena berhasil diamankan oknum Bhabinkamtibmas Kelurahan Honipopu
Terkait dengan kejadian tersebut, Kuasa Hukum Keluarga Soukotta, Pistos Noya,SH yang diwawancarai tabaos.id, Jumat (7/5) di lokasi pengukuran menyampaikan, alasan keberatan pihak keluarga Huliselan yang ada di lokasi tersebut tidak mendasar.
Dikatakan tidak mendasar karena sertifikat yang dimiliki pihak keluarga Huliselan sudah dinyatakan cacat hukum berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN).
“Sehingga jika pihak keluarga Huliselan masih bersikeras mengakui atau mempertahankan tanah tersebut adalah miliknya maka itu sama saja dengan tidak mengakui putusan pengadilan TUN,” jelas Noya.
Dirinya juga mengungkapkan, rencana untuk melakukan pengukuran kembali lahan milik keluarga Soukotta yang adalah kliennya karena lahan milik kliennya ini sudah memiliki bukti sertifikat sejak tahun 1974 dengan nomor sertifikat 1277, yang sudah dipecah menjadi tiga bidang.
“Sehingga untuk proses pengukuran dilakukan pada lokasi yang bersebelahan dengan tanah milik GPM. Dan kini sudah berdiri rumah milik Keluarga Huliselan.
Sementara, sertifikat milik Keluarga Huliselan dengan nomor 525 dan diterbitkan tahun 2002 dan sudah digugurkan lewat putusan pengadilan TUN”, urai Noya.
Ditambahkan Noya, proses pengukuran kembali atas tanah milik pihak Keluarga Soukotta sudah melalui proses permohonan, dan sesuai dengan ketentuan Agraria yakni perlu diberitahukan pihak pihak yang berbatas.
Adapun dua pihak yang diberitahu yakni pihak GPM dan pihak Akai, pemilik usaha air minum fujiro. Sementara untuk pihak Huliselan tidak diberitahukan karena secara hukum dia bukan pemilik tanah, karena sertifikatnya sudah digugurkan pengadilan TUN.
“Ini sebenarnya ada kurang pemahaman, bahwa pihak Keluarga Huliselan melakukan keberatan karena dirinya tidak diberitahu pihak BPN, bahwa akan dilakukan pengukuran, pada hal dia lupa bahwa dia bukan pemilik lahan atau pemilik batas, karena sertifikat nomor 525 sudah dinyatakan tidak berlaku,” ulas Noya.
Ditanya soal alasan atau dasar pembatalan sertifikat nomor 525, Noya menjelaskan bahwa, putusan PTUN untuk pembatalan karena sertifikat milik keluarga Huliselan berada di atas dua sertifikat yakni, milik keluarga Soukotta dan sertifikat milik GPM.
Terkait dengan penundaan tersebut, salah satu pengacara yang cukup di Maluku ini juga menyampaikan akan tetap bersabar sesuai dengan arahan pihak BPN Kota Ambon, untuk proses pengukuran dilakukan usai perayaan hari raya Idul Fitri.
Namun jika ada saja upaya menghalangi maka pihaknya tidak segan segan akan melakukan gugatan pengosongan diatas lahan milik keluarga Soukotta yang berbatasan dengan aset Rumah Sakit milik GPM.
Sementara itu, Kuasa Hukum keluarga Huliselan, Marcel Maspaitella, SH dalam pesan tertulis via Whatsapp, Jumat (7/5) menjelaskan, pihaknya bukan melakukan penggalangan tetapi hanya cukup keberatan atas upaya pengukuran karena alasan hukum.
“Kliennya masih berhak dan memiliki tanah tersebut sesuai Surat Keputusan Gubernur Maluku No Da.215/90/HMB/KMA/ 82 tertanggal 10 september 1982. Termasuk dasar alas hak atas tanah milik kliennya itu, jelasnya.
Dijelaskan lagi, sebagai ahli waris almarhum Lodewijk Huliselan memiliki hak atas tanah tersebut, dan didapat dari Pemerintah Daerah Provinsi Maluku dengan metode sewa beli, sesuai batas batas tanah yang terterah dalam surat kontrak sewa beli tertanggal 31 agustus 1963.
“Yaitu batas utara berbatasan dengan Jalan Raya Anthoni Rebhok, Batas Selatan dengan tanah milik rakyat, Batas Timur dengan rumah Kepala Daerah Tingkat Ii Kota Praja Ambon dan sebelah barat berbatasan dengan bangunan milik GPM, dengan luas tanah sebesar 430 M2,” Maspaitella.
Dia juga menjelaskan, terkait Putusan Pengadilan TUN yang dimenangkan pihak Soukotta Cs, tidak serta mencabut hak milik Keluarga Huliselan karena yang dibatalkan adalah sertifikatnya saja sementara alas hak tidak dibatalkan, artinya hak klien saya berhak atas tanah tersebut yang di klaim oleh Soukotta Cs.
“Bahwa sertifikat milik Soukotta Cs sesuai nomor 255 huruf B yang diterbitkan tahun 1974,terdapat kejanggalan karena alas hak nomor 140/HM/KMA/1973 dengan luas 652M2 tidak sebanding dengan luas yang tercantum dalam sertifikat yang luasnya sebesar 905M2,” ungkap Maspaitella.
Tidak hanya itu, pengacara mudah asal Nusa Ina ini juga membeberkan terkait Gambar Situasi (GS) pada sertifikat milik Soukotta Cs karena tertera nomor sertifikat hak milik 255, bukan Hak Milik 255.
Bukan hanya itu, ulas Maspaitella bahwa GS diterbitkan pada tanggal 21 Februari 1974, sedangkan sertifikat terbit 6 februari 1974 artinya, sertifikat terbit lebih awal 15 hari dari GS yang ada.
“Atas kejanggalan antara Sertifikat dan GS, tentunya klien saya sangat keberatan sebab apakah bisa sertifikat lebih dulu terbit dari GS?,” tanya Maspaitella.
Untuk dirinya menyampaikan atas rencana pengukuran pengembalian batas, kliennya sangat berkeberatan berdasarkan GS 255 yang berpotensi terdapat perbuatan melawan hukum.
(T-12)