Oleh : Fadhly Achmad Tuhulele, SE
Kami apresiasi langkah langkah aparat penegak hukum dalam upaya membongkar kasus dugaan mark up pembelian lahan di jalan darmo surabaya yang diperuntukan untuk kantor Bank Maluku Cabang Surabaya. Hanya saja setelah kasus ini berjalan kami melihat ada kejanggalan saat penetapan tersangka hingga vonis bebrapa yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Bagaimana mungkin pihak Surabaya, dalam hal ini pemilik lahan, maupun notaris serta beberapa pihak di kelompok Surabaya sebagai pihak yang bertransaksi dengan pihak bank Maluku tidak pernah di periksa atau di hadirkan dalam persidangan, padahal mereka mereka itu harus turut bertanggung jawab jika dugaan mark up ini benar benar terbukti.
Berikut, banyak fakta fakta persidangan yang tidak diperhatikan oleh JPU maupun hakim pada saat persidangan bebrapa terdakawa, misalnya putusan atas salah satu terdakwa yang sempat kami ikuti hingga akhirnya di vonis dengan hukuman 5 tahun penjara oleh pengadilan negeri ambon.dengan nomor putusan 34/pidsus-tipikor/2017/PN AMB tahun 2018.
Ini kami anggap sebagai putusan yang dangkal yang tidak tepat sasaran,error in persona. Sebab banyak fakta-fakta persidangan yang di abaikan majelis hakim,berikut tidak di hadirkannya pihak pihak terkait yang disebutkan dalam surat dakwaan,ini kan aneh sebenarnya ada apa,siapa yang dilindungi dan siapa yang mau di korbankan?
Sebagai pihak yang konsen terkait pemberantasan korupsi, dan hingga hari ini mengawal kasus korupsi di Maluku salah satunya pada bank Maluku sejak 2014 hingga hari ini, baik kasus kredit macet, dugaan mark up, serta transaksi bodong ratusan milyar rupiah, kami sangat mengharapkan penegakan supremasi hukum dalam artian bahwa,yang salah jangan di benarkan,dan yang benar jangan pernah disalahkan, terlebih jika ada upaya untuk melindungi oknum-oknum tertentu.
Sehingga dengan kasus salah satu terdakwa dengan nomor putusan 34/Pidsus-Tipikor/2017/PN Ambon tahun 2018, kami anggap yang bersangkutan merupakan korban dari penegakan hukum yang tidak berdasarkan pada pembuktian secara positiv maupun negative, namun hanya berdasarkan keyakinan hakim, dan ini adalah akibat dari proses penegakan hukum yang berpedoman pada kepastian hukum itu sendiri dan menyampingkan “kebenaran serta keadilan itu sendiri“
Saat ini kami sedang persiapkan laporan ke Komisi Yudisial, kami bermaksud melaporkan Kepala Pengadilan Negeri Ambon maupun Kepala Pengadilan Tinggi Maluku. Sehingga ada tindakan dari Komisi Yudisial.
Bayangkan saja, bagaimana bisa putusan hakim tidak berdasarkan fakta persidangan,dan tanpa alat bukti yang relevan dengan keterlibatan seorang terdakwa,berikut tidak ada keterangan dari pihak pihak yang di sampaikan dalam persidangan, ini yang membuat kecurigaan kami makin kuat bahwa dalam kasus dugaan korupsi pada bank maluku-maluku utara ada yang berusaha dilindungi,baik kasus obligasi bodong maupun dugaan mark up kantor cab surabaya ini.
Perlu diingatkan, dalam pasal 183 KUHP dengan jelas menegaskan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali terdapat alat bukti yang sah”. Perlu saya jelaskan bahwa jika dugaan mark up terbukti maka ada pihak2 yang sangat kompeten untuk di jadikan tersangka,sebab bank maluku-maluku utara adalah badan usaha milik daerah yang berstatus PT (Perseroan Terbatas)sehingga UU PT juga tidak bisa di abaikan dalam kasus ini.
Bagi kami terdakwa dengan nomor putusan 34/Pidsus-Tipikor/2017/PNAMB tahun 2018. Adalah korban penegakan hukum yang lebih memprioritaskan kepastian hukum dan pencitraan,serta ada indikasi upaya melindungi oknum tertentu,dan juga bisa jadi ini merupakan langkah pembenaran untuk sebuah proses hukum yang sudah berjalan.
Apalagi sudah ada keterangan keterangan dalam persidangan yang mana oleh pihak auditor BPKP yang menyatakan tidak ada keterlibatan terdakwa dalam transaksi 7,6M yang kemudian di klaim sebagai kerugian bank ataupun kerugian negara oleh JPU. Dan terdakwa pun tidak pernah menerima aliran dana yang ditelah dan dibeberkan dalam persidangan.
Maka putusan pengadilan sangat jauh dari unsur keadilan dan tidak mengandung unsur realitas hukum yang mana vonis berdasarkan alat bukti,dan fakta persidangan, dengan begitu secara tidak langsung putusan tersebut bisa di katakan cacat hukum.
kami ingatkan penegakan supremasi hukum jangan sampai mengorbankan dan merampas rasa keadilan dari orang lain. Itu merupakan paradigma yang keliru. Sebaiknya yang bersangkutan melakukan proses banding ke Mahkamah Agung.
Sehingga kasus ini benar benar bisa terbuka lebar,mana pihak yang lebih kompeten untuk bertanggung jawab di mata hukum. Hasil dan temuan ini akan kami tindaklanjuti ke Komisi Yudisial RI, juga Kejaksaan Agung, sebab kami menilai telah terjadi error in persona yang berindikasi melindungi oknum tertentu.
Penulis adalah : Pengamat dan Pegiat Anti Korupsi PPM_95Djakarta