Gagalnya NKRI, Hidupkan Gagasan Federalisme, Selamatkan Indonesia

0
3248

“Otoritas Negara kerap menyampaikan bahwa memiliki berbagai keterbatasan, tapi sulit untuk dimaklumi bila kebutuhan dasar warga negara saja pemenuhannya masih jauh dari harapan.”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Arah dan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah lebih dari 75 tahun rupanya menunjukan tanda-tanda yang kurang memuaskan, bahkan mengkhawatirkan. Sejumlah realitas memperlihatkan ada kekecewaan yang mendalam dari anak bangsa.

Keadilan distributif yang jauh dari harapan, sistem politik yang diskriminatif, hingga oligarki yang mencengkeram kuat dari pusat kekuasaan sampai ke daerah, adalah pangkal utama dan sulit terbantahkan, dikonfirmasi banyak data. Termasuk yang dikeluarkan oleh otoritas negara seperti dari Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Implikasinya jelas, kekecewaan politik atau political discontent terus menguat dan mengental. Hampir semua terbentuk atau terjadi dikarenakan rasa persentuhan warga negara dengan negara yang faktanya tidak sama, tergantung di mana warga negara itu lahir dan dibesarkan.

Jika terlahir sebagai anak Aru atau tumbuh dan besar di Leti, Moa, Lakor, Kilmury, Alor, Adonara, Larantuka, Nduga, hingga Lembah Baliem serta di banyak tempat di kawasan Indonesia timur lainnya, tentu akan merasakan negara tak hadir dalam berbagai persoalan publik yang sejatinya adalah tanggung jawab negara. Setidaknya itu dapat dilihat dengan jelas dalam urusan pendidikan dan kesehatan.

Banyak anak-anak yang putus sekolah atau sekolah dengan fasilitas ala kadar dan memprihatinkan, serta fakta adanya ratusan anak-anak yang meninggal saat persalinan setiap tahun, seperti yang kerap dijumpai di Maluku, mengkonfirmasi realitas yang tidak menguntungkan itu. Pemerintah pusat dan daerah punya andil besar atas persoalan semacam ini, atau barangkali kita ada dalam sistem bernegara yang tidak lagi relevan.

Membuat sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di Maluku Raya, Nusa Tenggara Raya dan Papua Raya sulit untuk keluar dari kondisi yang nyaris sama dengan saat masih berada di masa penjajahan —atau mungkin pada masa itu keadaan jauh lebih baik. Otoritas Negara kerap menyampaikan bahwa memiliki berbagai keterbatasan, tapi sulit untuk dimaklumi bila kebutuhan dasar warga negara saja pemenuhannya masih jauh dari harapan.

Sentralisasi pengelolaan negara yang coba diatasi dengan otonomi daerah rupanya tidak menjawab persoalan. Adanya 5 daerah otonomi khusus; DKI Jakarta, DI Yogyakarta, DI Aceh, Papua dan Papua Barat, justru memperlihatkan bahwa negara ini sudah sejak awal tidak relevan menggunakan sistem Negara Kesatuan.

Diajukannya RUU provinsi atau daerah kepulauan oleh delapan provinsi, menunjukan kalau ada banyak daerah yang juga ingin diperlakukan secara khusus sebab memiliki karakter wilayah yang berbeda. Sebab mengatur dan mengelola daerah berbasis laut atau kelautan tentu tidak sama dengan daerah kontinental atau daratan, justru hanya memupuk dan biarkan ketidakadilan terus berlangsung.

Wajah NKRI semakin mengarah pada federalisme yang malu-malu. Ada dalam praktik tapi belum sepenuhnya didukung oleh legitimasi konstitusi. Sehingga bila ada realitas bernegara yang terkait dengan beban negara, maka logika otonomi yang dikembangkan, sementara bila menyangkut keuntungan dari pengelolaan sumber daya alam, paradigma negara kesatuan yang ditonjolkan.

Kondisi ini tentu tak dapat dibiarkan, kita tidak bisa terus berada dalam penerapan Negara Kesatuan dengan cita rasa federal semacam ini. Membiarkan situasi terus seperti ini, sejatinya sedang memasrahkan Indonesia diambang kehancuran dan perpecahan. Kekecewaan politik yang ibarat bisul itu, akan pecah pada waktunya.

NKRI perlu segera di-install ulang, dengan mencari atau menerapkan format baru bernegara yang lebih relevan, dan dapat menjawab tantangan zaman, bila menginginkan Indonesia tetap ada dalam peta negara-negara dunia. Memaksakan diri sebagai satu negara kesatuan hanya seperti menunda kematian alias sedang menuju jalan yang salah.

Meminjam pendapat Raymond Gettel, Negara Kesatuan itu dapat terwujud dan berjalan baik bila terdiri dari: satu daratan atau kontinental; relatif tidak luas wilayahnya; relatif tidak banyak penduduknya; dan relatif tidak majemuk masyarakatnya. Untuk semua syarat itu hampir berseberangan dengan realitas NKRI.

Tak salah kemudian bila ide federalisme telah muncul di awal kemerdekaan. Bung Hatta yang menginisiasinya saat itu, tentu dengan alasan dan pandangan yang lebih maju dan objektif, meski akhirnya harus kalah dengan pilihan menjadi Negara Kesatuan, yang dalam perjalanan sejarah terbukti anomali.

Melihat kondisi yang ada, ide negara federal perlu dihidupkan kembali, tak boleh dimatikan begitu saja hanya dengan merujuk atau menjadikan alasan ‘kegagalan’ era Republik Indonesia Serikat (RIS). Ide negara federasi bukanlah sesuatu yang ahistoris dalam peta pertarungan pemikiran politik di Indonesia.

Ide yang pernah diusung oleh sejumlah founding fathers Indonesia, yang kemudian memunculkan perdebatan federalisme vs unitarisme adalah fakta sejarah yang tentu perlu kembangkan kembali. Karena itu, menggali lagi pemikiran tentang negara federasi di Indonesia bukanlah sesuatu yang salah, justru bisa menjadi alternatif solusi.

Rasanya setelah lebih dari 75 tahun ini, perlu ada terobosan baru dengan mengubah sistem dan tatanan bernegara secara fundamental. Salah satu pilihan dan dimungkinkan itu adalah dengan menghentikan formula Negara Kesatuan, kemudian menerapkan Negara Federal secara kaffah, untuk menyelamatkan tujuan berbangsa dan bernegara; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pilihan yang lebih dapat memastikan keberlanjutan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa ketimbang terus bertahan dalam status kesatuan, namun menjalankan federasi secara malu-malu. Itu sebabnya NKRI mestinya menjadi Harga Hidup, agar bisa terus didiskusikan guna mendapati dan menerapkan formula yang tepat dalam mengelolanya sebagai sebuah negara-bangsa.

Masohi, 17 Agustus 2020

Penulis adalah Direktur IndoEast Network