Gitu Aja Kok Repot!

0
1398
Oleh: Hariman A. Pattianakotta

Ingat Gus Dur, ingat kalimat ini: Gitu aja kok repot!  Presiden RI ke-4 itu memang tidak mau repot-repot untuk sesuatu yang simpel. Malahan hal yang rumit dibuat sederhana oleh Gus Dur. Pantaslah kalau Gus Dur kemudian disebut sebagai guru dan bapak bangsa.

Ketika berhadapan dengan tuntutan Papua merdeka, misalnya, isu politik yang sangat rumit ini dibuat simpel oleh Gus Dur. Bahkan, Kyai yang cerdas inilah yang mampu meluluhkan hati orang Papua. Mengapa? Karena ia mendekati orang Papua secara manusiawi. Ia memperlakukan orang Papua sebagai manusia yang sama dengan orang Jawa dan suku bangsa lain. Sesederhana itu saja!

Gus Dur memang belum sempat membangun jalan-jalan besar di Papua. Namun, Gus Dur menerima orang Papua apa adanya. Simbol-simbol yang ditakuti secara politik oleh pihak negara, seperti bendera Bintang Kejora, oleh Gus Dur dibiarkan berkibar di tanah yang penuh emas itu. Ia malahan menempatkan bendera Bintang Kejora sebagai simbol kultural orang Papua. Gus Dur memang cerdas!

Apa sih artinya secarik kain itu? Bagi sebagian orang, secarik kain itu tidak lebih dari umbul-umbul 17 Agustus. Namun, bagi rakyat Papua itu simbol kultural dan perjuangan untuk meraih kedudukan yang setara dengan suku-bangsa lain, terkhusus suku-bangsa di Indonesia. Ketika mereka menaikan bendera Bintang Kejora, berarti ada sesuatu yang salah dengan perlakuan negara ini terhadap bangsa Papua. Karena itu, mereka menggugat, mereka kibarkan bendera lain yang bukan Merah-Putih.

Harus diakui, Gus Dur adalah pribadi dan presiden yang sungguh-sungguh mau mendengar suara hati orang Papua. Karena itulah ia mendekati mereka sebagai manusia. Dalam Webinar “Berani Meng-Indonesia” yang diselenggarakan oleh UK. Maranatha, Bandung, pada 17 Agustus 2020, Allisa Wahid, putri sulung Gus Dur menyebutkan prinsip penting Gus Dur sebagai seorang negarawan, yakni kemanusiaan. Kemanusiaan jauh lebih penting dari politik bagi pria bernama asli Abdurrahman Wahid itu.

Baca Juga  Surat Terbuka Paparisa Perjuangan Maluku Untuk Presiden Jokowi

Sikap kenegarawanan Gus Dur yang sangat humanis ini membuat Gus Dur dapat berdialog dengan berbagai kelompok, termasuk dengan mereka yang berbeda haluan politik dengannya. Ia begitu menghormati kelompok-kelompok monoritas, sebab semua sama sebagai manusia. Esensi ajaran Islam tentang ukhuwah insaniah dan Islam sebagai rahmatan lilalamin sungguh-sungguh ia terjemahkan dalam laku kepemimpinan, baik dalam gerakan masyarakat sipil maupun ketika ia dipercaya menjadi seorang presiden. Bahkan, ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang dekat dengan kaum-kaum minoritas.

Sikap Gus Dur ini tampaknya berbeda dengan rezim pemerintahan sekarang ini, yang terlihat cukup gesit menangkap aktivis yang pro dengan kemanusiaan. Misalnya, penangkapan yang dilakukan terhadap para aktivis kemanusiaan Papua.

Bahkan, kita baru saja dihebohkan dengan berita tentang Veronica Coman yang diminta untuk mengembalikan uang beasiswa LPDP. Hal ini tentu bisa dibaca sebagai bentuk tekanan terhadap Veronica yang aktif melakukan advokasi HAM Papua.

Lalu, sebagaimana yang kita ketahui, Veronica juga diburu polisi dengan tuduhan bahwa Veronica menyebarkan hoks di media sosial terkait penangkapan dan penyerangan mahasiswa Papua di Surabaya. Padahal, apa yang disebarkan Veronica di media sosial itu benar-benar terjadi, alias bukan hoaks.

Lebih jauh lagi, seperti yang terbaca di berbagai media, Veronica diancam dibunuh oleh pihak-pihak tertentu. Anehnya, bukan orang yang mengancam Veronica yang dikejar polisi, Veronica sendiri yang kemudian dituntut mengembalikan uang beasiswa LPDP.

Cara-cara reaktif dan represif seperti itu semestinya tidak perlu terjadi di era demokrasi sekarang ini. Ketika pemerintah berhadapan dengan suara-suara yang berbeda, maka pemerintah tidak perlu panik, apalagi sampai naik pitam. Namun, anehnya, untuk orang-orang yang selama ini merongrong kedaulatan negara dengan politisasi SARA, dan yang terang-terangan hendak mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain dibiarkan berkeliaran. Mereka bahkan tidak dianggap separatis oleh negara.

Baca Juga  Ironi dari Rumah Tuhan

Akan tetapi, jika protes atas ketidakadilan terjadi di Indonesia Timur seperti Papua atau Maluku, maka reaksi pemerintah menjadi lain. Mereka di Timur itu akan langsung dianggap separatis. Sampai di sini,  terlihat jelas ada praktik tebang pilih atau diskriminasi di situ.

Sebagai contoh lagi. Baru-baru ini seorang sahabat di Maluku, lewat statusnya di Media Sosial, menyebutkan bahwa rumahnya didatangi buser/intel, terkait dengan tulisan-tulisan yang ia publikasikan di media sosial.

Daya kritisnya terhadap praktik ketidakadilan di Maluku dan Indonesia Timur, serta ajakannya untuk melihat ulang tata kelola kenegaraan NKRI yang sentralistik, rupanya dibaca oleh negara/aparat bukan sebagai suara nurani kemanusiaan yang sedang menuntut hak kewarganegaraan masyarakat yang termarjinalkan.

Akan tetapi, ajakan diskursif itu justru dilihat sebagai bahaya, sehingga rumahnya dikunjungi buser/intel. “Kunjungan” itu bisa juga dibaca sebagai salah satu bentuk ancaman dan tekanan.

Ancaman dan tekanan semacam itu tentu tidak akan bisa membuat manusia menjadi sepenuhnya takut. Ancaman bahkan pembunuhan sekalipun tidak pernah benar-benar ampuh mematikan keberanian dan suara profetis. Belajar dari 32 tahun otoritarianisme Soeharto dan Orde Barunya, maka hal-hal semacam itu tidak perlu diulang.

Contohilah Gus Dur. Kemanusiaan harus selalu ditempatkan lebih penting dari politik. Apa artinya kita hidup bersama dalam kesatuan politik tetapi tampa kemanusiaan dan keadilan sosial untuk semua? Tanpa keadilan, kata Gus Dur, perdamaian menjadi ilusi.

Karena itu, energi harus dikerahkan pada upaya penciptaan keadilan dan memanusiakan manusia. Bukan hanya sibuk dengan rebut- rebutan kursi kekuasaan saat menjelang Pilkada dan Pemilu. Apalagi, hanya menggelar pesta tanpa masker yang memuakkan di saat HUT ke-75 NKRI dan Propinsi Maluku seperti yang dilakukan orang-orang DPRD di kota  Ambon.

Baca Juga  Tinggalkan Zona Nyaman, Lalui "Jalan Busur" Demi Maluku Berkemajuan: Jejak Langkah Murad Ismail Sebagai Pemenang Hati Rakyat

Sementara rakyat banyak hidup melarat dan “disekap” dengan protokol Covid yang tak becus ditangani dengan baik. Lalu, ketika ada rakyat yang tak puas dengan kinerja pemerintah daerah dan pusat, kemudian mereka berteriak ‘Merdeka’, atau menaikkan bendera yang bukan Merah-Putih, pemerintah dan aparat meresponsnya dengan marah-marah.

Kalau ada warna suara yang berbeda yang datang dari Timur Indonesia, jangan cepat-cepat dicap separatis. Di dunia yang sudah begitu terbuka sekarang ini, stigmatisasi semacam itu tidak lagi relevan. Instrospeksi diri saja.

Jangan buru-buru melihat orang yang berbeda sebagai musuh. Gus Dur bisa begitu dekat dengan Theys Hiyo Eluai, kendati mereka berbeda secara politik. Masih ingat kan nama Theys Eluai ? Hal yang sama terjadi antara Habibie dengan Xanana Gusmao.

Dari mereka itu kita belajar untuk menjadi negarawan dan demokrat sejati. Dalam berbagai situasi politik, kita telah diberikan contoh bagaimana bersikap sebagai seorang manusia terhadap manusia.

Suara yang berbeda didengarkan, sebab hal itu menandakan adanya ketidakpuasan terhadap apa yang selama ini sudah dan sedang berlangsung. Bisa jadi, yang tercipta selama ini adalah ketidakadilan. Lalu, karena ketidakadilan itu ada orang yang mengangkat bendera yang bukan bendera merah putih, maka kita tidak perlu panas hati.

Sebaliknya, ajak diskusi, lalu wujudkan saja keadilan dan kemanusiaan, niscaya Merah-Putih akan berkibar di seantero negeri. Untuk itu,  berikanlah telinga dan hati untuk sungguh-sungguh mendengar; bukan menebar ancaman dan tekanan. Hanya itu saja, dan itulah cara terbaiknya. Sesimpel itu. Hayo, di mana repotnya? Kata Gus Dur, gitu aja kok repot!

Penulis adalah Intelektual Muda Maluku