Oleh: Ridolf Masela
“Beta ingin sekali mewujudkan ‘ide luhur Bung Karno ingin menjadikan Ambon sebagai Pusat Oseanografi terbesar di Asia Tenggara”
Pernyataan Guru Besar Oseanografi, Almarhum Prof. Dr. rer. nat. Ir. Abraham Samuel Khouw, M.Phi (Bung Prof. Semmy, sapaan akrab saya untuk beliau) di atas terurai kala itu diselingi senyum khasnya dalam ruang tunggu transit, Terminal 1, Bandara Juanda, Surabaya, Jawa Timur pada awal bulan Mei tahun 2016 lalu.
Masih terngiang jelas dalam ingatan saya, ketika jawaban berupa pernyataan isi hati dari sebuah niat tulus beliau tersebut muncul manakala terjadi obrolan santai antara saya dengan Alm. Prof. Semmy sedang menunggu boarding time, kemudian saya bertanya: “Setelah Masterpiece Prof. Semmy ini— maksud saya Masterpiece saat itu adalah Master Plan Lumbung Ikan Nasional Maluku sedang digarap oleh beliau—nanti rampung, kedepannya Bung Semmy akan melakukan apa untuk Maluku?”
Entah berapa tahun lamanya waktu kami berkenalan dan menjadi seperti sahabat, walaupun tidak terlalu dekat, tetapi sering sekali bercerita dan bertukar pikiran bersama tiap kali berpapasan, bahkan sampai diajak ngopi di rumahnya entah sudah berapa banyak kesempatan itu ada ketika saya masih stay di Ambon.
Jadi tidak ada ‘ruang risih’ untuk bertanya perihal di atas ketika lagi berada dalam sebuah obrolan. Apalagi bukan kebetulan juga kami bersua begitu saja dalam ruang tunggu Bandara Juanda, tetapi kami berdua bersama rombongan akan berada dalam suatu rute perjalanan dari Jakarta ke Jayapura dengan one stops Surabaya kala itu, kemudian nanti melanjutkan perjalanan bersama menuju lokasi acara simposium “Evaluation of Readiness for Maluku as Lumbung Ikan Nasional” di Universitas Cendrawasih, Jayapura, Papua.
Simposium itu sebenarnya merupakan kelanjutan dari acara serupa dengan tema “Penilaian Kesiapan Maluku Sebagai Lumbung Ikan Nasional” diselenggarakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta pada pertengahan bulan Februari tahun 2016.
Ketika Prof. Semmy mengutarakan jawaban optimis terkait ide luhur oseanografi Bung Karno, tentunya saya kaget juga takjub mendengarkan isi hatinya. Pun tergugah untuk terus berbincang lebih banyak lagi dibalik rasa penasaran, saya lebih lanjut bertanya:
“Apakah prosesnya sudah dipersiapkan atau sudah dilakukan?”
“Secara kelembagaan belum dilakukan karena beta masih fokus dengan LIN, tetapi beberapa diskusi ringan sampai berat telah dilakukan bersama beberapa teman dari dalam maupun luar negeri. Beta memulainya ketika sedang memperdalam ilmu, serta melakukan obrolan dengan beberapa senior dan junior di Unpatti”, jelas Prof. Semmy.
Ia pun menaruh harapan besar dengan ide itu. “Karena beta melihat bahwa ide luhur Presiden Soekarno terkait perkembangan ‘Iptek’ bidang kelautan sangat menarik perhatiannya kala itu sehingga Sang Proklamator mencanangkan Ambon sebagai tempat terbaik dan tepat untuk membangun Institut Oseanografi terbesar di Asia Tenggara sangat perlu untuk dilanjutkan” ujar Prof. Semmy.
Monolog Prof. Semmy di atas membuat saya menatapnya penuh rasa kagum pun membuat rasa penasaran kian memberontak di otak ketika mendengarnya. Dalam hati saya, Profesor baik hati ini terkenal karena memiliki sifat sederhana juga humoris itu telah memikirkan apa sesungguhnya ide luhur Sang Proklamator sejak lama dipandang perlu untuk dilanjutkan nantinya.
“Lalu bagaimana kelanjutan dari niat baik Prof. Semmy itu akan diperjuangkan?” tanya saya.
“Sejujurnya beta sudah mempersiapkan konsepnya juga sudah membahas konsep itu secara terpisah dengan beberapa teman akademisi—baik senior, junior maupun teman seangkatan di lingkup Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpatti—mendapat tanggapan positif, bahkan salah seorang guru besar senior pun menambahkan beberapa poin penting menjadikan konsepnya terlihat lebih efektif dan efisien, tetapi kemudian di-pending karena persoalan LIN lebih mendesak dan penting untuk Maluku, sehingga perhatian kami lebih ditujukan kepada proses penyelesaian LIN bersama Pemprov Maluku”, jawabanya.
Manakala kita ingin memperjuangan ide luhur Bung Karno, maka konsentrasi dan perhatian kita sebagai anak Maluku harus tercurah sepenuhnya atas apa nantinya dilakukan. Sedikit kilas baliknya begini; dalam beleid di tahun 1960 berdasar UU Nomor 4 PRP tahun 1960 itu harus dibangun beberapa departemen, meliputi: ship building and repairing, ship engineering and machinery, oceanography industrial fishing dan technology of fish product, semuanya diharapkan selesai pada tahun 1967. Realita terjadi sebaliknya “Pasca 1965” hubungan antara Indonesia— Uni Soviet mengalami kemunduran.
Pembangunan Institut Oseanografi Ambon pun terhenti, bahkan ditelantarkan. Selain statusnya lembaga ini diturunkan menjadi penelitian di bawah naungan Lembaga Oseanografi Nasional di Ancol, Jakarta waktu itu tetapi galangan kapal di Poka juga dipindahkan ke Surabaya, galangan kapal tersebut kemudian menjadi kapal PT. PAL. Kemudian pada tahun 2014, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia membuat bekas Institut Oseanografi Ambon menjadi Pusat Penelitian Laut Dalam.
Dapat dibayangkan hampir 50 tahun ini Institut Oseanografi Ambon seakan telah kehilangan pesonanya, olehnya itu diperlukan kajian menyeluruh untuk mengembalikan daya tariknya sebagaimana niat Bung Karno untuk mewujudkannya,” urai Prof. Semmy.
Mendengar uraian dari sebuah keinginan terbesar beliau kala itu membuat saya sedikit terpana, karena dalam pikiran saya dan mungkin juga orang lain ketika mendengarnya, tentu akan berada dalam persepsi bahwa kebanyakan orang Maluku di era disrupsi ini jarang memikirkannya.
Karena banyak orang lebih memikirkan kehendak pribadi maupun kolektif untuk tujuan lainnya ketimbang memikirkan melanjutkan sebuah ide dari masa lampau, seperti ide luhur Bung Karno ingin menjadikan Ambon sebagai Pusat Oseanografi terbesar di Asia Tenggara.
“Ding ding ding dinnggg. Mohon perhatian, penumpang…!
Bunyi suara pemberitahuan boarding itu membuyarkan lamunan juga percakapan di antara kami berhenti sejenak untuk mendengar isi pesan dari pihak bandara. Lalu kami pun berjanji akan melanjutkan ngopi bareng seperti dulu setelah tiba di Jayapura, Papua.
Penulis aktif di Komunitas Penulis Maluku