“Oligarki, entitas kecil ini bisa mengembangkan usaha dan membangun konglomerasi, memanfaatkan kontrol atas sumberdaya ekonomi yang didapatkan dari pejabat pemerintah.”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Indonesia adalah negara kesepakatan, artinya para founding father bangsa menyepakati untuk ada dalam konsensus bersama, guna mencapai tujuan bersama: Keadilan sosial bagi semua. Lantas apakah sudah berjalan seperti itu?
Baru-baru ini dalam satu makalah berjudul Reflections on Oligarchy, Democracy, and The Rule of Law in Indonesia, Jeffrey A. Winters, Ph.D., mengutip dan menjelaskan Indeks Kekuatan Material (Material Power Index) MPI di Indonesia. Indeks untuk mengukur seberapa besar kekuatan material oligarki dibandingkan dengan orang biasa.
Caranya adalah dengan menghitung atau membagi kekayaan rata-rata dari 40 orang terkaya Indonesia berdasarkan posisi kekayaan warga negara rata-rata. Hasilnya menunjukkan bahwa kesenjangan kekayaan-kekuatan yang sudah besar di Indonesia pada tahun 2010 telah tumbuh dengan pesat selama dekade terakhir.
Rata-rata oligarki teratas di Indonesia memiliki sekitar 570.988 kali lipat kekuatan kekayaan warga negara rata-rata pada tahun 2010. Ini meningkat menjadi 759.420 kali pada tahun 2020, peningkatan 33 persen. Ini berarti konsentrasi kekayaan di kalangan oligarki meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan secara keseluruhan dalam perekonomian.
Jauh sebelum MPI di-rilis, berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse 2017, memperlihatkan bahwa 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini membuat Indonesia berada di peringkat 4 negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia
Ironisnya lagi, satu persen orang terkaya itu hampir semua di Jakarta, setidaknya di Pulau Jawa. Dengan kekayaan yang mereka miliki, tentu saja tidak hanya ekonomi nasional yang dikontrol, kekuasan politik juga diatur, tak ubahnya sedang memainkan bidak catur.
Bahkan ada cerita, bagaimana berpengaruhnya salah satu konglomerat di pemerintahan Indonesia, hingga di ruang pribadi taipan itu ada semacam gambar ‘pohon kekuasaan’ yang cabang-cabangnya sudah ditulis, siapa yang akan menduduki jabatan apa, atau siapa yang akan menggantikan siapa.
Dari cerita gambar ‘pohon kekuasaan’ salah satu orang terkaya di Indonesia itu, bisa dibayangkan betapa kekuasaan politik yang diperebutkan dengan kadang hingga berdarah-darah oleh anak negeri, nyatanya bisa diatur, diutak-atik atau dikendalikan oleh segelintir orang yang menguasai ekonomi.
Rupanya bukan saja pada jabatan struktural (birokrasi/TNI-Polri), pada jabatan politik juga dengan mudah dikendalikan. Itu karena sejumlah politisi, calon kepala daerah hingga calon legislatif juga ‘sowan’ untuk dapat restu dan menerima biaya politik serta ‘arahan’ dari kelompok taipan itu.
Konsekuensinya jelas, semua akan dengan mudah diatur. Bisa dibayangkan semua produk politik yang dihasilkan para politisi yang diberi ‘restu’ akan dengan mudah masuk angin, setidaknya tidak akan mengancam atau mengganggu aktivitas serta kepentingan para taipan. Terbentuklah oligarki.
Situasi ini sudah menjadi rahasia umum, sebuah entitas bisnis (rent seeking)yang dilatarbelakangi oleh mekanisme perburuan rente menguasai komunitas masyarakat yang besar. Entitas kecil ini bisa mengembangkan usaha dan membangun konglomerasi, memanfaatkan kontrol atas sumberdaya ekonomi yang didapatkan dari pejabat pemerintah.
Mereka diberikan hak monopoli usaha, seperti pemanfaatan lahan, yang ditujukan untuk memaksimumkan laba pun tanpa perlu menanamkan modal untuk kegiatan produksi. Dengan keuntungan yang berlipat itu, mereka kemudian menggurita dan menguasai negeri ini secara luas.
Fenomena ini oleh Yoshihara Kunio disebut sebagai ersatz capitalism (kapitalisme semu), yakni berkembangnya kekuatan bisnis dan konglomerasi lebih disebabkan oleh dukungan politik, bukan karena kemampuan entrepreneurship.
Penguasaan struktur ekonomi oleh segelintir orang ini makin memperlebar disparitas atau ketimpangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya lahan. Data yang mengkonfirmasi realitas bahwa negara ini benar-benar dikuasai konglomerasi.
Ketimpangan makin menjadi bila kita merujuk pada data BPS lainnya yang menunjukan bahwa akses terhadap pendidikan betul-betul timpang alias tidak merata di negeri ini. Terutama pada masyarakat miskin, yang tak memperoleh akses pendidikan yang ideal.
Pada 2015 data BPS menyebutkan, sekitar 52 persen penduduk miskin yang berusia di atas 15 tahun hanya dapat menamatkan pendidikan sampai jenjang SD/SMP. Bahkan, 31 persen lainnya tidak mampu menempuh jenjang Sekolah Dasar. Hanya 16,7 persen penduduk miskin yang dapat mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA atau lebih tinggi.
Padahal akses pendidikan sangat diperlukan, tidak saja dalam meningkatkan kapasitas pemilih dalam partisipasi politik guna menghadirkan kepemimpinan politik yang berkualitas. Tapi juga dalam rangka menutup defisit ketimpangan ekonomi.
Dengan adanya orang-orang terdidik karena mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas, masyarakat akan bisa berdaya, sehingga mampu meninggikan kapasitas ekonominya. Keluar dari kemiskinan memperkecil jurang ketimpangan.
Apa yang terjadi justru sebaliknya, karena tak terdidik rakyat sibuk berebut kue kecil, sementara ada sekelompok kecil orang duduk manis menikmati potongan besar kue. Ini realitas sesungguhnya yang tentu membuat setiap anak negeri yang mengetahui atau membacanya pasti mengelus dada, mungkin juga marah, tapi entah pada siapa harus diekspresikan
Situasi makin diperburuk dengan hadir ‘raja-raja kecil’ di daerah yang terjadi akibat proses desentralisasi. Otonomi daerah menghasilkan apa yang disebut John T. Sidel sebagai local bossism atau dalam istilah Migdal dan Vedi Hadiz disebut sebagai local strongmen.
Satu situasi di mana desentralisasi digunakan oleh sebagian elite politik lokal untuk membangun oligarki politik dan ekonomi, sehingga memunculkan orang-orang kuat di tingkat lokal. Para orang kuat lokal ini seringkali memanfaatkan birokrasi untuk menggalang suara, mendapatkan dana dari proyek pemerintah dan mengatur pejabat-pejabat agar jatuh kepada keluarga atau kroninya.
Mereka juga kerap menjalin kedekatan dengan penyelenggara pemilu daerah dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan, sehingga diri dan kelompoknya tetap memiliki akses terhadap kewenangan, kemudian digunakan untuk mendapatkan keuntungan dari bisnis perizinan dan pengelolaan sumber daya alam.
Perburuan rente di tingkat nasional kemudian seperti diduplikasi di ranah lokal dengan memanfaatkan desentralisasi atau otonomi daerah. Apa yang saat ini mengemuka di sejumlah daerah termasuk di Maluku sejatinya dapat mengkonfirmasi hadirnya local bossism dan local strongmen yang makin memperburuk derajat kemiskinan dan ketimpangan.
Sekalipun kondisi semakin akut bagai kanker ganas yang terus menyerang tubuh, namun kelompok tercerahkan atau kaum intelektual tak kunjungan bekerja layaknya anti virus, bahkan ikut menjadi bagian dari virus itu sendiri. Jika terus dibiarkan, negara ‘kesepakatan’ ini benar-benar makin menjauh dari tujuan didirikan.
Ambon, 4 Juli 2020