Selain infrastruktur perhubungan tetapi masalah ketersediaan energi listrik untuk konsumsi publik dan industri masih sangat rendah. Kondisi ini mengakibatkan kegiatan investasi sektor riil untuk pengolahan hasil hasil pertanian dan perikanan kelautan tidak berkembang.
Oleh: Julius R. Latumaerissa
Sudah 74 tahun Maluku dalam bingkai NKRI, Sebagai warga negara dan juga sebagai anak adat Maluku, yang lahir dan dibesarkan di bumi Maluku, saya ingin menggambarkan posisi dan perkembangan Maluku selama 73 tahun menjadi bagian dari NKRI, apa yang ada dan terjadi di Maluku sebagai fakta pembangunan hari ini. Kebenaran sejarah bangsa mencatat bahwa Maluku adalah provinsi ke 5 dari delapan provinsi yang ikut membidani kelahiran NKRI.
Penyangkalan atas fakta sejarah ini adalah bentuk penghianatan sejarah bangsa. Bung Karno sendiri mengatakan bahwa Indonesia tanpa Maluku bukanlah Indonesia.
Kalimat ini tidak bisa dipahami sebagai kata-kata yang mengandung unsur heroik semata tetapi jauh lebih dalam harus dimaknai sebagai suatu statemen politik seorang Presiden yang sadar betul akan posisi, kontribusi dan peran Maluku dalam perjuangan kemerdekaan pada waktu itu.
73 tahun bangsa ini merdeka dan berdaulat dimana didalamnya ada Maluku sebagai bagian dari NKRI, namun sepanjang sejarah bangsa kita lihat bahwa Maluku sangat tertinggal jauh dalam capaian hasil pembangunan.
Kesejhteraan rakyat Maluku masih jauh dari apa yang seharusnya. Banyak indikator sosial ekonomi yang dapat membuktikan Keterbelakangan dan Keterpurukan Maluku saat ini.
Saya tidak akan masuk dalam wilayah siapa yang salah atau benar dalam konteks ini. Tetapi saya ingin menggambarkan posisi Maluku hari ini dengan sejumlah problematika yang dihadapi sebagai suatu realitas saja.
Lagi-lagi soal kemiskinan Maluku yang sampai saat ini masih berada pada urutan ke-4 sesudah Papua, Papua barat dan NTT. Walaupun kalau mau didebatkan maka masih perlu dipertanyakan dan dikaji ukuran-ukuran kemiskinan itu lebih jauh.
Namun jika dilihat dari ukuran pemerintah melalui pendekatan moneter saja maka Maluku ada sebagai juara bertahan. Keterbelakangan lain yang saya lihat sebagai simpul masalah kemiskinan di Maluku adalah masalah infrastruktur ekonomi.
Geografi Maluku 95% adalah laut berati 5% wilayah Maluku adalah daratan. Dengan demikian roda pembangunan akan berjalan baik apakah itu produksi, distribusi dan pemasaran jika di dukung dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai.
Sampai hari ini Maluku masih fakir infrastruktur, hal itu dapat dijelaskan dengan indeks kemahalan konstruksi (IKK) di Maluku sebagai nilai proxy untuk menentukan indeks kesulitan geografi (IKG) yang lebih dari 100 persen.
Masih banyak daerah di Maluku yang terisolir sehingga menghambat jalannya kegiatan ekonomi rakyat dan daerah, baik infrastruktur darat maupun laut. Pembangunan di Maluku akan menghasilkan pertumbuhan yang signifikan jika ditopang dengan ketersediaan infrastruktur ekonomi yang baik dan representatif.
Selain infrastruktur perhubungan tetapi masalah ketersediaan energi listrik untuk konsumsi publik dan industri masih sangat rendah. Kondisi ini mengakibatkan kegiatan investasi sektor riil untuk pengolahan hasil hasil pertanian dan perikanan kelautan tidak berkembang.
Akibatnya nilai tambah ekonomi (value added) sektor produktif tidak berkembang. Padahal pengembangan industri pengolahan di Maluku akan mengurangi angka pengangguran Maluku yang lebih besar dari pengangguran nasional.
Semua fenomena ekonomi di atas adalah simpul masalah pembangunan Maluku hari ini. Kondisi ini kemudian melahirkan dampak psiko-sosiologis kepada masyarakat Maluku yang tergambar dari sikap apatis, pesimis dan cenderung pragmatis.
Lemahnya mentalitas pembangunan rakyat Maluku telah melahirkan rasa kurang percaya diri, karena dalam banyak hal rakyat Maluku selalu menjadi komunitas kelas terakhir di republik ini. Kami orang Maluku hampir tidak pernah diberi kesempatan untuk bisa berbicara dan berkontribusi pada level pengambilan kebijakan di tingkat pusat.
Kalaupun ada itu harus melalui tarikan otot dan energi besar yang harus terkuras. Maluku, kekayaannya dan kontribusi bagi Indonesia suka atau tidak suka, kebenaran dan fakta membuktikan bahwa Maluku memiliki kekayaan SDA yang sangat besar dan melimpah, sejak zaman pra-kemerdekaan.
Maluku sudah menjadi pusat perhatian dunia waktu itu. Kekayaan SDA ini adalah Rahmat dan Anugerah Tuhan bagi rakyat Maluku, baik di laut maupun di darat. Kekayaan SDA ini sebagian masih menjadi kekuatan ekonomi potensial dan sebagian yang lain sudah menjadi kekuatan ekonomi produktif tetapi hasilnya tidak dinikmati oleh kami orang Maluku dengan baik.
Ikan adalah salah satu kekayaan terbesar Maluku selain spesies laut yang lain, karena laut Banda menjadi pusat berdiamnya semua jenis ikan. Produksi ikan Maluku setiap tahun sebesar lebih dari 1 juta ton dengan nilai moneter sebesar Rp. 30 Triliun/tahun. Tetapi hasil ini tidak dirasakan dengan baik oleh Maluku dan rakyatnya karena alasan regulasi yang tidak berpihak kepada Maluku dan rakyatnya.
Kekayaan lain adalah Minyak bumi di Bulan Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) yang keberadaannya sudah lebih dari 60 tahun dieklpoitasi namun hasilnya masyarakat Kabupaten SBT masih ada pada peringkat ke-4 kemiskinan di Maluku, apalagi Maluku secara keseluruhan tidak menikmati sama sekali.
Disamping itu kekayaan pertambangan seperti Emas di pulau Roma, dan Gunung Botak di Pulau Buru, begitu juga Nikel di Pulau Seram dan lainnya. Hari ini dengan ditemukannya sumber Gas Abadi di Kabupaten MBD dan MTB dengan jumlah titik potensial lebih dari 30 sumur gas dan ini jelas menjadi sumber pendapatan besar bagi bangsa ini dan Maluku khusunya.
Sepakat atau tidak tapi kedepannya harus diakui bahwa Maluku akan menghidupkan Negara dan bangsa ini lebih dari 60 tahun kedepannya melalui eksploitasi sumber gas alam abadi yang dikenal dengan Blok Masela.
Yang menjadi pertanyaan saya disini adalah sampai berapa jauh dan berapa besar hasil Blok Masela dan hasil kekayaan Maluku lainnya bisa menjadi hak Rakyat Maluku? Pada titik ini kami mengharapkan agar pemerintah pusat dan Jakarta untuk bersikap Bijak dan Adil kepada rakyat Maluku.
Rakyat Maluku harus diberikan hak adat dan hak atas kekayaannya secara adil dan proporsional. Restorasi Maluku agar bisa setara dengan daerah lain di Indonesia saat ini membutuhkan investasi besar.
Dan pemerintah pusat harus memberikan perhatian khusus bagi rakyat Maluku ke depan. Alasan regulasi tidak bisa menjadi indikator utama sebagai pembelaan pemerintah pusat dalam penguasaan SDA di Maluku.
Logika pikir sangat sederhana yaitu sebelum NKRI ini ada Maluku sebagai wilayah adat sudah memiliki hak-hak adat dan wilayah masyarakat adat. NKRI ada dengan sejumlah regulasi baru berusia 73 tahun tetapi Maluku sudah ratusan tahun sebelum itu. Dengan demikian kebijakan pembangunan bangsa ini seharusnya memperhatikan kondisi historikal, kultural, emosional dan sosiologis di Maluku.
Pengabaian atas aspek-aspek ini tentu akan menimbulkan rasa ketidak puasan bagi Maluku dan masyarakatnya. Regulasi yang memarginalkan Maluku, Saya ingin katakan bahwa UU 32 Tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah jelas sangat merugikan Maluku.
Dalam Pasal 27 ayat 3 terkait kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan laut jelas tertera kewenangan pemerintah provinsi kepulauan dalam pengelolaan laut, tetapi kalau berpijak pada pasal ini maka Maluku dan rakyat Maluku tidak mendapatkan apa-apa karena kekayaan laut potensial ada pada laut dalam yang tidak tersentuh regulasi, dengan demikian maka bagian yang kosong dan potensial itu adalah hak pemerintah pusat.
Disisi lain, Dalam pasal 12, UU 23/2014 ayat 3 butir “a” tentang urusan pemerintahan bahwa persoalan kelautan disebut sebagai urusan pilihan dan bukan urusan wajib, padahal untuk Maluku dan provinsi kepulauan lainnya masalah kelautan harus menjadi urusan wajib.
Generalisasi UU dengan pendekatan kontinental jelas akan merugikan Maluku dan daerah lain yang masuk kategori provinsi kepulauan. Akibat bunyi pasal ini maka praktis masalah pembangunan kelautan akan menjadi Urusan yang tidak terlalu penting, yang kemudian dapat diambil alih oleh pemerintah pusat dengan alasan regulasi yang menjadi hak pemerintah pusat sebagaimana tersurat dalam pasal 9 ayat 1, 2 dan 5.
Selanjutnya dalam UU 22/1999 yang dirubah dengan UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, pasal 10 ayat 1, butir “b”dan butir “c” tentang dana perimbangan dan Pasal 11 ayat 3, butir “a” s/d butir “f” tentang dana bagi hasil (DBH) yang bersumber dari sumber daya alam (SDA), dan Pasal 32 s/d Pasal 37 tentang DAU dan Pasal 38 s/d Pasal 42, bagi Maluku UU ini sangat tidak adil, karena ukuran yang dipakai untuk menentukan nilai perolehan dana transfer pusat (DAU dan DAK) dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi melalui otonomi daerah (OTODA) sangat merugikan posisi Maluku.
Prinsip penentuan DAU berdasarkan celah fiskal (fiskal gap) dimana fiskal gap ini diperoleh dari selisih kebutuhan fiskal daerah (fiskal needs) dan kapasitas fiskal daerah (fiskal capasity). Kebutuhan fiskal (fiskal needs) diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sedangkan kapasitas fiskal (fiskal capacity) diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi.
Bobot provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal (fiskal gap) provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh provinsi. DAU atas dasar celah fiskal (fiscal gap) untuk suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh kabupaten/kota.
Bobot kabupaten/kota merupakan perbandingan antara celah fiskal (fiscal gap) kabupaten/kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh kabupaten/kota. Kebutuhan fiskal (fiscal capacity) daerah dihitung berdasarkan perkalian antara total belanja daerah rata-rata dengan penjumlahan dari perkalian masing-masing bobot variabel dengan indeks jumlah penduduk, indeks luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks Pembangunan Manusia, dan indeks Produk Domestik Regional Bruto per kapita.
Sedangkan kapasitas fiskal (fiskal capacity) daerah merupakan penjumlahan dari Pendapatan Asli Daerah dan DBH. Jual dilihat dari variabel-variabel pengukuran sebagaimana diisyaratkan dalam regulasi maka jelas Maluku sangat dirugikan karena walaupun hasil kekayaan Maluku besar yang di transfer ke pusat tapi dalam hal pembagian kembali hasil dari pusat ke Maluku sangat kecil.
Salah satu contoh jumlah penduduk sangat kecil 1,6 juta jiwa lebih besar penduduk kecamatan Tanah Abang Jakarta. Luas daratan Maluku hanya sebesar 5% dari total luas Maluku, Karena variabel pengukurannya bagi Maluku sangat kecil, IKK Maluku sangat tinggi, dan IPM Maluku masuk kategori sedang, dan PDRB / kapita Maluku rendah.
Selain dana alokasi umum (DAU) kita juga mengenal dana alokasi khusus (DAK). Jenis dan transfer pemerintah pusat ini adalah bagian dari penerimaan APBD artinya DAK harus dicatat dalam APBD sebagai pendapat.
Kriteria Pengalokasian DAK, yaitu: (1). Kriteria Umum, dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja PNSD; (2). Kriteria Khusus, dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah; dan (3). Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian teknis pelaksanaan kegiatan DAK di daerah.
Kesimpulannya semua variabel pengukuran dan kriteria serta teknis perhitungan dalam regulasi ini sangat merugikan Maluku dan tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan. harapan, usulan konkrit dan ancaman kedepan.
Harapan rakyat Maluku kedepannya siapapun nanti yang menjadi Presiden adalah Negara harus bersikap adil kepada Maluku. Negara harus memberikan perhatian khusus dan skala prioritas dalam pembangunan Maluku ke depan.
Maluku harus diberikan, dikembalikan hak-hak adat yang selama ini hilang yang membuat Maluku sebagai salah satu provinsi tertua di republik ini hidup dalam Keterbelakangan dan Keterpurukan yang panjang.
Saya mengusulkan agar pemerintah pusat dan Negara bisa memperhatikan beberapa hal penting terkait dengan upaya membangun Maluku dan mengembalikan hak-hak adat Maluku:
Pertama; Pemerintah Pusat harus memberikan Hak Otonomi Khusus kepada masyarakat Maluku, untuk mengelola SDA yang dimilikinya mulai dari perijinan sampai dengan masalah pembagian hasil dengan Kabupaten/Kota yang ada di Maluku dan pemerintah Pusat.
Kedua; jika pemberian hak OTONOMI KHUSUS belum bisa dilaksanakan dalam waktu singkat, maka penerus pusat melalui kementerian dalam negeri dan Kementerian Keuangan harus melakukan REVISI atas pasal-pasal dalam UU 23/2014 dan pasal-pasal dalam UU 33/2004 dan UU lainnya.
Ketiga: Jika hal ini masih sulit dilakukan maka kami sangat mengharapkan pemerintahan Baru nanti melalui presiden terpilih harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU) sebagai dasar hukum dan legitimasi bagi Maluku dalam aspek kemandirian pengelolaan SDA yang dimiliki baik di laut dan di di darat.
Keempat: Di samping ketiga aspek di atas maka pemerintah pusat juga di dalam mengambil kebijakan pembangunan melalui regulasi harus memperhatikan aspek aspek khusus dari provinsi-provinsi lain yang memiliki karakteristik geografis kepulauan. Generalisasi kebijakan dan regulasi akan menimbulkan ketimpangan dan ketidak puasan bagi provinsi dengan karakter khusus seperti Maluku.
Kelima: Pemerintah pusat diharapkan untuk tidak membunuh karakter orang Maluku dengan stigma-stigma buruk seperti Debt colector, Premanisme dan Kelompok Separatis RMS. Stigma ini jelas sangat merugikan posisi masyarakat Maluku di luar Maluku.
Penyampaian kritik, demonstrasi itu ada sebabnya dan jangan dipolitisasi dan dikriminalisasi dengan stigma RMS. Sikap negara yang tidak adil kepada Maluku dalam jangka panjang akan menimbulkan dampak disintegrasi. Karena Rakyat Maluku tidak ingin hidup dalam keterbelakangan yang panjang dan berabad-abad.
Kami tidak rela untuk mati di atas kelimpahan yang kami miliki. Orang Maluku tidak mau untuk menjadi masyarakat marginal di negara ini sementara Negara ini hidup dengan kekayaan Maluku.
Bagaikan pepatah lama Maluku bagaikan semut sekalipun kecil jangan di injak terus karena pasti akan menggigit. Maluku hanya punya dua pilihan jika terus menjadi anak tiri di NKRI yaitu menyerah, pasrah dan mati atau mencelat.
Penulis adalah Akademisi dan Konsultan Perencana Pembangunan Daerah