“Otsus bagi Maluku Raya konsiderannya bisa saja sebangun dengan Otsus yang diberikan pada Aceh dan Papua, dengan sejumlah pertimbangan lain sesuai dengan kondisi eksisting di Maluku Raya. Terutama soal pengelolaan wilayah laut.”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Ketertinggalan Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara) sejauh ini butuh tindakan afirmatif oleh negara. Dengan begitu akselerasi pembangunan diberbagai sektor dapat dilakukan.
Salah satu bentuk atau upaya kongkrit dari tindakan afirmatif yang dimungkinkan secara konstitusi bagi Maluku adalah melalui Otonomi Khusus (Otsus). Pendekatan yang sama telah pula diejawantahkan di Aceh dan Papua, dua daerah yang memiliki sejarah perlawanan terjahadap pemerintah Jakarta.
Meski ada yang menjadikan alibi bahwa memperjuangkan Otsus bagi Maluku bukan langkah yang memadai mengingat penerapannya tak begitu signifikan di Papua, tapi rasanya kurang relevan, karena tiap daerah dan masyarakat punya kultur dan kesiapan sumber daya manusia yang berbeda. Maluku pun punya kesempatan belajar dari ‘kegagalan’ Papua.
Otsus bagi Maluku Raya konsiderannya bisa saja sebangun dengan Otsus yang diberikan pada Aceh dan Papua, dengan sejumlah pertimbangan lain sesuai dengan kondisi eksisting di Maluku Raya. Terutama soal pengelolaan wilayah laut.
Setidaknya ada lima pertimbangan yang bisa diajukan kenapa perlu segara ada Otusus bagi Maluku Raya. Pertama, sama seperti Aceh dan Papua, Maluku Raya juga punya sejarah konflik vertikal dengan negara. Bahkan hingga saat ini terus mengemuka.
Alasannya pun jelas, Maluku pernah dideklarasikan sebagai negara merdeka pada tahun 1950 dengan nama Republik Maluku Selatan (RMS), dan hingga kini punya pemerintahan dipengasingan, perlawanan politik pun masih terus terjadi.
Kedua, Maluku Raya adalah daerah dengan karakteristik wilayah yang berbeda dengan sejumlah daerah di Indonesia. Luas wilayah Maluku Raya secara keseluruhan lebih dari 851.000 kilometer bujur sangkar, terdiri dari lautan sebesar 765.272 kilometer bujur sangkar dan daratan 85.726 kilometer bujur sangkar.
Jika dibandingkan luas daratan dan lautan adalah 9:1. Namun dengan kondisi eksisting yang ada, dalam penetapan alokasi anggaran untuk Maluku Raya tetap diperlakukan sama dengan daerah kontinental. Artinya dengan pola ini alokasi anggaran dihitung berdasarkan proporsi luas daratan.
Ini tentu merugikan kepulauan Maluku, yang hanya memiliki 7,6 persen daratan dari keseluruhan luas wilayah. Dengan demikian anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat disesuaikan dengan proporsi itu, padahal dibandingkan dengan kebutuhan dan tantangan pembangunan, tentu sangat tidak sebanding.
Ketiga, kewenangan yang terbatas. Menjadi persoalan karena dengan di ‘cap’ sebagai daerah kepuluan dan faktanya potensi lautnya besar, nyatanya tidak berbanding lurus dengan kewenangan mengelola potensi itu. Sama seperti sejumlah daerah lain, kewenangan laut dibatasi hanya 12 mil dari garis pantai daerah terluar.
Dalam kondisi ini apa yang bisa diharapkan oleh Pemerintah Daerah di wilayah Maluku Raya dalam menggenjot Pendapatan Asli Daerah dari sektor kelautan. Menang nama sebagai daerah kaya luat, tapi tak dapat keuntungan yang sebanding.
Karena kewenangan yang terbatas itu pula, Maluku Raya hanya menjadi penonton atas hamparan kekayaan yang dimiliki. Kapal-kapal luar daerah dan asing datang hilir-mudik mengeruk hasil laut Maluku.
Dari data Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, tercatat lebih dari 40 triliun dibawa dari laut Maluku setiap tahun, ini belum terhitung dari laut Maluku Utara. Ironisnya dengan postensi yang ada, tak ada satupun industri pengolahan ikan bertaraf besar di Maluku Raya.
Keempat, Maluku pernah dilanda konflik sosial yang berat, yang harus diakui adalah bagian dari kegagalan negara dalam melindungi dan mencegah warga negara untuk bertikai —Jika tak mau dikatakan negara ikut terlibat. Harus ada semacam moral obligation atau kewajiban moral negara memberikan insentif sosial-ekonomi bagi Maluku.
Akibat konflik, Maluku secara umum terjadi stagnasi dalam berbagai aspek. Abdul Malik Gismar peneliti dari Partnership bahkan menyebutkan jarak ketertinggalan pendidikan Maluku Raya dengan provinsi lain di Pulau Jawa hampir 60 tahun, padahal pasca merdeka Maluku Raya ada pada urutan teratas. Maluku juga masuk 3 besar termiskin setalah Papua dan Papua Barat.
Kelima, keberadaan Blok Masela. Satu kekayaan alam berupa cadangan gas alam yang memiliki nilai investasi mencapai US$20 miliar, di mana pemerintah Indonesia mendapat bagi hasil 50 persen. Warisan penting yang mestinya dapat dimanfaatkan untuk mengangkat Maluku Raya dari kemiskinan selama ini, dan tak mungkin hanya dengan jatah penyertaan modal atau participating interest (PI) 10 persen.
Atas dasar pertimbangan itu kemudian, diperlukan satu regulasi yang berlaku secara khusus, melalui Otsus. Pertanyaannya, kenapa tidak dengan RUU Provinsi Kepulauan yang tengah berproses di parlemen nasional?
Sudah 15 tahun RUU itu coba digagas, bahkan kerap masuk dalam Prolegnas, tapi faktanya sulit disepakati pemerintah pusat, konsekuensi politik dan anggaran jauh lebih besar, karena menyangkut delapan provinsi kepulauan.
Nasib Maluku Raya tentu tak bisa disandarkan atau bergantung pada perjuangan bersama provinsi kepulauan lainnya. Realitas Maluku Raya berbeda, bahkan punya ‘benefit’ terkait latar belakang sejarah yang secara politik sejatinya dapat dan perlu dikapitalisasi untuk menaikan posisi tawar politik Maluku Raya.
Memperjuangkan adanya perlakuan secara khusus, melalui Otsus bagi Maluku Raya, selain fokus konsolidasi politiknya lebih terukur, karena yang digarakkan adalah entitas Maluku Raya, tuntutannya jauh lebih mungkin diakomudir dalam konteks dan logika bernegara, karena telah dipraktikkan di dua provinsi lain.
Perjuangan yang memang tidak mudah, namun semua tergantung masyarakat, kaum intelektual dan para elit politik Maluku Raya. Kabar baiknya adalah, selain ada tuntutan dari Maluku, sejumlah kalangan di Maluku Utara juga telah menyuarakan hal yang sama, yang diperlukan saat ini adalah konsolidasi untuk dapat bergerak bersama.
Ambon, 5 Januari 2021