“Bahwa mungkin saja political disconten atau ketidakpuasan politik kini makin menguat di Maluku, seiring gagalnya negara dikelola, dan keadilan tak pandai didistibusikan.”
Oleh: M. Ikhsan Tualeka
Beredar satu foto, beta dengan bendera ‘Benang Raja’ dan keterangan gambar yang provokatif kemudian viral di media sosial. Muncul beragam komentar, mulai dari yang menghujat, moderat hingga yang mendukung. Wajar saja, karena penilaian itu sebenarnya menunjukan kapasitas dan perspektif seseorang.
Di era digital yang makin maju, namun tak berbanding lurus dengan budaya literasi, akan ada masyarakat yang terbiasa menelan informasi mentah-mentah, tanpa konfirmasi, atau klarifikasi. Dampaknya, hoaks pun bisa diyakini sebagai fakta, atau sebaliknya.
Kembali ke foto yang lagi viral itu. Sebelum menjelaskan lebih jauh, beta mau sedikit bercerita tentang hubungan beta secara langsung dengan aktivis Republik Maluku Selatan (RMS). Semua diawali tahun 2008, saat bersama jurnalis dari televisi Al-Jazeera berhasil mewancarai tahanan RMS John Teterissa di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Ambon.
Dari situ, banyak cerita yang beta dapatkan, bahwa ternyata ada penyiksaan dan pelanggaran HAM berat terhadap aktivis atau pejuang hati nurani ini. Mulai semenjak ditahan, dan lebih parah lagi saat diinterogasi aparat. Masa hukuman yang lama pun harus mereka jalani, dan ‘dibuang’ ke Lapas Nusakambangan.
Amnesty International sudah pula menyurati pemerintah Indonesia terkait hal itu. Ada rasa simpati dan prihatin mendengar cerita para aktivis itu, gerakan tanpa senjata dan tanpa kekerasan ini dihukum dengan sangat berat.
Beta saat itu sudah aktif dengan Moluccas Democratization Watch (MDW). Organisasi yang fokus pada pemajuan HAM dan demokrasi di Maluku. Membuat perhatian beta terhadap isu HAM makin mengemuka.
Cerita dari lapas itu kemudian menjadi catatan kritis, bahwa negara demokrasi terbesar nomor 3 di dunia, yang telah meratifikasi sejumlah konvensi dan kovenan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), khususnya terkait hak sipil-politik, ternyata pelanggaran HAM masih saja terjadi, namun tak banyak yang bersuara soal itu.
Persentuhan berikutnya dengan aktivis RMS, yaitu ketika sejumlah keluarga terpidana RMS menghubungi beta agar turut membantu kepindahan keluarga mereka dari Lapas Nusakambangan ke Lapas Ambon. Beta juga diminta membantu pengajuan grasi para terpidana ke presiden. Karena rata-rata mereka sudah menjalani hukuman lebih dari 10 tahun penjara.
Upaya ini sempat disampaikan ke media, dan ternyata dibaca oleh sejumlah keluarga narapidana teroris. Mereka juga menghubungi beta dan meminta bantuan yang sama. Akhirnya beta dapat dua amanat, bantu narapidana RMS, dan juga narapidana teroris.
Saat Ustaz Abu Bakar Ba’asyir yang merupakan narapidana kasus terorisme diberitakan akan dibebaskan Presiden Jokowi, beta dengan Maluku Crisis Center (MCC) melakukan jumpa pers untuk mendesak agar Presiden juga memberikan pembebasan yang sama kepada narapidana politik dan terorisme dari Maluku. https://www.google.com/…/jokowi-diminta-bebaskan-tahanan-po…
Belakangan, semua narapidana RMS kini telah dipindahkan ke Lapas Ambon, sedangkan untuk kasus terorisme, diantaranya Idi Amin Tabrani Pattimura atau Ongen Pattimura sementara terus diupayakan, hanya masih ada kendala teknis. Semoga upaya ini bisa berjalan baik dan mereka bisa lebih dekat dengan keluarganya, bila ditahan di Lapas Ambon.
Semua ini dilakukan semata-mata untuk membela hak asasi dari orang-orang Maluku. Mereka patut dibela bukan saja karena hak konstitusi, tapi karena kemanusian. Apalagi kalau melacak latar kenapa para aktivis dari kedua kutub politik ini sampai terlibat dalam gerakan yang dinilai merongrong keutuhan negara, semua itu ternyata dilakukan karena menuntut keadilan dan memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini.
Iya, keadilan yang masih menjadi barang langka di bumi tempat mereka lahir dan berpijak. Ketidakadilan yang berujung pada kemiskinan dan ketertinggalan, adalah fakta yang tak terbantahkan. Rela masuk penjara berpuluh tahun atas sebuah keyakinan memperjuangkan tanah ‘perjanjian’, warisan para leluhur bagi mereka adalah mulia.
Lantas, apa karena membela dua kutub ideologi yang berbeda itu kemudian beta pun harus berafiliasi secara politik dengan mereka? Tentu tak mungkin rasanya menjadikan dua kutub politik dalam satu diri. Kalau pun menyatu, bersatunya itu ada pada nilai-nilai yang sama: Hak Asasi Manusia.
Sekali lagi, semua itu lebih karena pembelaan terhadap mereka yang tertindas, mereka yang sejatinya adalah merupakan dampak dari gagalnya pengelolaan negara selama ini. Tanpa bermaksud pamrih, untuk semua advokasi itu, tak 1 rupiah pun beta dapatkan dari pihak keluarga, atau pun pihak lain.
Sebenarnya bukan saja soal urusan HAM yang terkait dengan para tahanan politik. Setidaknya dari tahun 2007 hingga saat ini —tentu bersama elemen lainnya—, sejumlah advokasi juga beta lakukan, mulai dari Kasus Transaksi Fiktif TPU Gunung Nona, yang merugikan masyarakat Amahusu, mendorong penuntasan kasus korupsi yang berujung pada ditahannya sejumlah pejabat daerah di Maluku, investigasi bersama KontraS terhadap konflik TNI-Polri di Masohi tahun 2008, hingga berbagai unjuk rasa, tulisan dan kritik lewat media. Itu tentu baru sebagian dari yang bisa diulas di sini.
Lalu kemudian dalam satu tugas jurnalistik bersama rekan-rekan dari TV One, untuk membuat projek film dokumenter tentang sejarah perlawanan dari Maluku, menghendaki wawancara sejumlah narasumber dari Ambon, Tulehu, hingga ke Aboru. Dalam kesempatan ke Aboru bertepatan dengan Festival Hela Rotan, 2 Januari 2019. https://tabaos.id/hela-rotan-tradisi-besar-yang-masih-sepi/.
Bersamaan pula dengan John Teterissa yang baru saja keluar dari lapas, menjadi sebuah kesempatan reuni dan juga wawancara. Pertemuan yang hangat itu menjadi ajang baku dapa orang basudara yang mau berjuang untuk Maluku, walau dengan pilihan politik yang berbeda.
Beta kemudian berkelakar, “Om John masih punya bendera?”. Om John sempat mengelak kalau masih simpan bendera benang raja, beta lalu bertanya, kalau bagitu perjuangan sudah selesai?
Mendengar pertanyaan beta, salah satu anggota keluarga Om John masuk mengambil bendera. Suasana sedikit tegang, kita terdiam sejenak, dan untuk mencairkan suasana, beta berinisiatif mengajak kita berfoto bersama sambil memegang bendera, semua pun tertawa, wawancara kemudian dilanjutkan.
Peristiwa itu telah lama berlalu, bahkan beta dan Om John putus kontak sama sekali. Hanya sejumlah bekas narapidana politik lain yang kerap menghubungi beta, diantaranya untuk keperluan bantuan kegiatan sosial.
Beta juga kerap sekadar menjadi katalisator mereka dengan pihak terkait yang berkepentingan untuk mereduksi ‘kekecewaan dan ketidakpuasan politik’ dengan pendekatan kesejahteraan. Satu perspektif baru yang beta nilai akan jauh lebih efektif dan manusiawi dari pendekatan kekerasan yang selama ini telah dilakukan.
Lantas, belakangan ada satu perseteruan beta dengan Menkopolhukam, Wiranto, yang mengemuka di media sosial setelah sebelumnya beta bikin ‘Surat Cinta Buat Wiranto’ yang viral di media sosial, hingga beta diundang wawancara secara live di Kompas TV untuk membahasnya.
Kemudian beta lanjutkan dengan membuat ’Surat Terbuka Kepada Presiden Jokowi’ terkait gempa di Maluku yang kemudian juga viral. Serta hendak melakukan konferensi pers dengan tajuk: “Korban Gempa Bukan Beban Negara, Presiden Kunjungilah Maluku Karena Masih Wilayah Indonesia”.
Saat semua proses itu tengah berjalan, sontak satu foto dengan caption yang provokatif diposting ke facebook dan juga viral, mendapat beragam respon dari warganet. Keterangan pers yang sedianya beta dilakukan pada Rabu, 9 Oktober 2019, untuk mengkritisi Pemerintah terkait penanganan gempa Maluku, pun akhirnya batal. Mungkin karena ‘foto viral’ itu rekan-rekan yang sudah komitmen terlibat dalam konferensi pers, sebagian urung hadir.
Beta tidak mau berspekulasi ada apa dibalik semua ini —konflik dengan Wiranto dan kritik terhadap Pemerintah seperti dibendung dengan foto lawas dengan bendera RMS yang sengaja di-viral-kan. Satu yang pasti perjuangan ini akan terus berjalan. Memperjuangkan kepentingan Maluku, mengarusutamakan isu Maluku, yang faktanya sudah miskin, tertinggal dan ditinggal, akan terus berjalan.
Terutama dengan cara kreatif, lewat politik kreatif seperti yang sudah beta lakukan para waktu-waktu sebelumnya. Misalnya dengan satire simbolik lewat Paspor Kedutaan Besar Maluku dan juga Mata Uang Maluku. Semua semata-mata agar Maluku lebih diperhatikan dalam konteks pembangunan nasional.
Atas semua upaya yang ada, nyaris tanpa henti itu. Pembuat rekor MURI Bendera Merah Putih terpanjang di atas Jembatan Merah Putih (2017) ini harus dihujat dan dicap separatis (mestinya juga teroris, karena bela terpidana teroris), bukanlah satu masalah.
Lulusan Lemhanas HIPMI 2013 dan Steering Committe Sarasehan Belajar Damai Dari Maluku (Wantannas RI 2018) ini hanya manusia biasa, yang berusaha mengerjakan apa yang bisa dilakukan, selagi masih muda atau di usia produktif. Sebagian aktivisme itu direkam dalam Buku Catatan Putra Timur (Gramedia 2019).
Co-Produser film Cahaya dari Timur, film yang mengetengahkan cerita damai di balik konflik Maluku, dan Eksekutif Produser film Salawaku, film yang mengangkat pariwisata di Pulau Seram ini. Tentu belum dan bahkan bukan siapa-siapa.
Hanya anak ‘kasiang’ dari Negeri Pelauw yang mencoba memberikan kontribusi bagi tanah kelahirannya Maluku. Sekali lagi, Karena Maluku. Biarlah beta mencintai Maluku dan Indonesia, dengan cara beta sendiri.
Buat ‘Maningkamu’ atau basudara yang merasa terganggu karena Amarima Hatuhaha Lounusa ikut dicatut dalam postingan foto di facebook oleh orang tak dikenal itu, hingga ada yang ikut marah. Beta berharap, kita semua dapat menjadi generasi yang cerdas di era digital, sehingga tahu mana yang pantas disalahkan.
Dalam hal ini tentu pembuat pesan atau postingan itu yang harus dipertanyakan apa motifnya, bila perlu dilaporkan ke pihak berwajib. Bukan sebaliknya yang turut dirugikan dalam postingan, yang justru ikut dipersalahkan. Beta yakin orang yang posting itu punya motif tertentu, dan hanya mereka dan Tuhan yang tahu.
Ini adalah konsekuensi perjuangan, yang pasti, Ikhsan yang semasa mahasiswa pernah membakar bendera RMS dalam satu demontrasi tahun 2004 di Surabaya https://m.detik.com/…/demo-di-surabaya-mahasiswa-maluku-bak…. Kemudian hari ini jadi viral dengan bendara simbol separatis, sejatinya dapat menunjukan satu fenomena baru yang mestinya bisa merasang nalar kritis kita semua.
Bahwa mungkin saja political disconten atau ketidakpuasan politik kini makin menguat di Maluku, seiring gagalnya negara dikelola, dan keadilan tak pandai didistibusikan. Ini yang harus segera dijawab oleh semua pemangku kewajiban bila tak ingin persatuan dan keutuhan bangsa ini dipertaruhkan.
Jakarta, 09 Oktober 2019
Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center – MCC