“Bahwa keterbatasan provinsi berbasis kelautan dalam mengelola laut, membuat kemampuan daerah-daerah itu pun menjadi terbatas dalam mengakselerasi kemajuannya.”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Gagasan dan upaya agar ada kewenangan lebih besar dalam mengelola potensi laut bagi daerah yang basis wilayahnya laut dan pulau sudah dilakukan sejak lama. Setidaknya gagasan itu telah mengemuka lebih dari lima belas tahun.
Menandakan bahwa ada logika dan perasaan diperlakukan kurang proporsional oleh negara pada daerah-daerah yang wilayahnya terdiri dari gugusan pulau dan laut. Termasuk Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara).
Sekadar mengingatkan, pernah ada keinginan kolektif dari sejumlah daerah yang menamakan diri provinsi kepulauan untuk mendapatkan kebijakan spesifik dari negara. Satu kebijakan politik sehingga masing-masing daerah itu dapat mengelola potensi lautnya dengan optimal.
Sebuah upaya yang sebenarnya tidak main-main, karena dalam prosesnya kemudian mendapat dukungan banyak pihak. Para gubernur, bupati, walikota, DPRD dan masyarakat sipil dari daerah kepulauan itu mengupayakan sejumlah ikhtiar politik untuk mewujudkannya.
Pada 11 Agustus 2005, bertempat di Gedung Baileo Siwalima Ambon, tujuh provinsi melakukan deklarasi, menyatakan komitmen bersama sebagai provinsi kepulauan. Pimpinan dari tujuh pemerintah provinsi itu berharap pemerintah mengakui deklarasi tersebut secara yuridis, sehingga proses pembangunan di daerahnya bisa terwujud.
Ketujuh provinsi itu adalah; Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Bangka Belitung, Riau, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Masing-masing pihak diwakili oleh pimpinan eksekutif dan legislatifnya.
Pertimbangan perjuangan mereka antara lain karena dukungan anggaran untuk mengelola potensi maritim dianggap masih relatif kecil. Apalagi jika melihat anggaran di provinsi yang karakteristiknya merupakan daerah berbasis laut.
Tidak saja deklarasi, juga dilanjutkan dengan seminar nasional mengenai daerah provinsi kepulauan, upaya untuk mendorong dan memperkuat wacana. Kegiatan tersebut turut melahirkan pokok-pokok pikiran mengenai percepatan pembangunan pada provinsi kepulauan.
Kala itu, muncul gagasan tentang perlunya perlakuan yang berbeda dari pemerintah terhadap sejumlah provinsi kepulauan. Rumusannya antara lain:
Pertama, perlu adanya penetapan peraturan pemerintah sebagai implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, terutama kewenangan pemerintah di laut sebagaimana diatur dalam pasal 18;
Kedua, perlu adanya penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi daerah provinsi kepulauan;
Ketiga, perlu adanya penetapan kebijakan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menghitung daerah kepulauan sebagai “daerah tangkapan”;
Keempat, diperlukan kebijakan-kebijakan nasional lainnya yang relevan dan bersifat strategis dalam aspek budaya, ekonomi, politik, pertahanan keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Poin-poin yang mengemuka dan menjadi kesimpulan lima belas tahun yang lalu itu didasarkan pada landasan argumen yang kuat. Bahwa keterbatasan provinsi berbasis kelautan dalam mengelola laut, membuat kemampuan daerah-daerah itu pun menjadi terbatas dalam mengakselerasi kemajuannya.
Daerah berbasis laut ini merasa wilayah mereka di luar 12 mil telah dieksploitasi secara besar-besaran, tanpa ada pengawasan yang ketat. Daerah tak bisa berbuat banyak karena tak punya kewenangan, terkesan menjadi penonton di rumah sendiri.
Meski tak kunjung mendapat perhatian atau aspirasinya belum diakomudir pemerintah pusat, upaya terus berlanjut. Berbagai dinamika politik mengiringi perjuangan daerah atau provinsi kepulauan itu. Belakangan muncul ide agar ada payung hukum yang lebih strategis, dan itu mesti melalui satu payung undang-undang khusus.
Di Tahun 2010 kemudian lahir satu inisiatif RUU Perlakuan Khusus Provinsi Kepulauan, yang bahkan telah masuk pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada tahun 2011. Sayang nasibnya sama dengan sejumlah RUU lain pada waktu itu; gagal dibahas apalagi hingga disahkan.
Langkah dari DPR RI kandas, muncul upaya berikutnya dari DPD RI. Kamar parlemen bagi senator ini mengusulkan RUU Provinsi Kepulauan yang bahkan telah berada dalam tahapan akhir proses, karena sudah pada pembahasan tripartit yakni DPD-RI, DPR-RI dan pemerintah.
RUU Provinsi Kepulauan pun sudah masuk Prolegnas 2019, yang artinya sudah memasuki tahap prioritas untuk diselesaikan. DPR-RI juga telah membentuk panitia khusus (Pansus) yang bertujuan untuk membahas RUU yang dianggap dapat mengakselerasi pembangunan wilayah-wilayah kepulauan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Pansus sudah beberapa kali melakukan rapat tentang hal ini. Tercatat semua fraksi di DPR-RI menyetujui RUU Provinsi Kepulauan menjadi UU. Sekalipun masih ada sejumlah catatan dari pemerintah pusat.
Sayangnya, lagi-lagi RUU yang diharapkan dapat menjadi afirmasi (regulasi afirmatif) bagi daerah berbasis pulau dan laut, seperti Maluku Raya gagal difinalisasi. Tak berujung pengesahan dalam rapat paripurna DPR RI.
Kegagalan demi kegagalan ini tentu dipengaruhi banyak faktor. Kurangnya kemampuan lobi dan daya dorong politik dari daerah-daerah yang berkepentingan langsung dengan RUU itu menjadi kendala utama dalam memperjuangkannya.
Sebagai rekomendasi, khususnya untuk Maluku Raya, kedepan nanti barangkali tak perlu lagi mengajukan RUU yang melingkupi atau mewadahi semua daerah kepulauan. Karena kurang spesifik, juga memiliki konsekuensi politik dan anggaran yang besar, pemerintah pusat akan berhitung soal itu.
Mungkin jauh lebih tepat adalah dengan memperjuangkan perlakuan khusus, atau otonomi khusus, hanya bagi Maluku Raya saja. Selain perjuangannya lebih terfokus, konsolidasi politiknya pun lebih terukur, serta dampak politik dan anggaran tidak sebesar bila harus pada tujuh provinsi.
Maluku Raya juga punya sejarah pergolakan politik masa lalu hingga kini. Tentu bisa menjadi alasan politik yang kuat dan relevan. Alasan yang rupanya juga adalah konsiderans atau menjadi pertimbangan saat pemerintah memberikan Otsus pada Aceh dan Papua. Lantas kenapa tidak buat Maluku?
Ambon, 23 Juni 2020
Penulis adalah Founder/CEO IndoEast Network