“Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki, satu bangsa bisa mendikte atau bahkan menguasai bangsa lain secara total.”
Oleh: Ikhsan Tualeka
Perubahan yang dilakukan manusia selalu diharapkan mengarah pada kemajuan peradabannya. Sebab peradaban adalah akumulasi dari terus menerus dilakukannya perubahan dalam waktu yang panjang.
Semakin banyak perubahan, maka semakin berkembang pula peradaban tersebut. Namun tak sedikit pula peradaban yang runtuh menjadi tinggal sejarah, juga karena perubahan mendasar yang terjadi. Inilah yang tidak diinginkan.
Secara empirik, banyak perubahan yang terjadi adalah inisiatif dan lahir dari upaya para pemuda. Pemuda selalu menjadi energi dominan dalam setiap perubahan. Catatan sejarah menjelaskan kepada kita dengan terang benderang bagaimana pemuda menjadi pelopor dari lahirnya setiap perubahan besar.
Bila dilacak kebelakang, sebut saja, bagaimana pada abad ke-18 terjadi revolusi di Prancis, mengubah negeri tersebut dari sebuah dunia yang gelap, feodal dan dipasung rezim berkedok agama yang represif dan manipulatif, menjadi sebuah komunitas masyarakat demokratis yang mengakui hak asasi manusia.
Begitu pula di China. Dengan bermodal semangat nasionalisme yang dibangkitkan tokoh muda Sun Yat Sen, kekaisaran Negeri Tiongkok yang telah berusia lebih dari seribu tahun runtuh.
Seperti halnya yang terjadi di Filipina. Rakyat setempat mampu merebut kemerdekaan dari Spanyol dan akhirnya mampu membentuk republik pertama di Asia adalah buah dari perjuangan para pemuda, seperti Jose Rizal dan kawan-kawannya.
Di tanah air, ceritanya juga tak kalah heroik. Para pemuda yang sejatinya berasal dari berbagai suku bangsa ternyata mampu menurunkan ego primordialisme-nya, untuk membangun sebuah komitmen besar bersama: satu bangsa; satu bahasa; dan satu tanah air; Indonesia, pada tanggal 28 Oktober 1928, yang lebih dikenal dengan sumpah pemuda.
Sebuah ikhtiar politik luar biasa yang akhirnya mencapai titik kulminasi pada Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, yang lagi-lagi juga dipelopori oleh pemuda. Ketika itu para pemuda bahkan sampai harus menculik Soekarno-Hatta dan memaksa proklamasi dibacakan.
Peran pemuda kemudian berturut-turut ikut menandai fase, garis sejarah dan perubahan arah perjalanan Indonesia. Seperti ditunjukan oleh pemuda angkatan 1966, maupun belakangan oleh angkatan 1998 yang melahirkan orde reformasi.
Akan tetapi, perlu dicatat adalah pelajaran terpenting dari semua ilustrasi di atas bukan berhenti sampai pada perubahan semata. Sebab yang perlu dicermati adalah mengapa sehingga perubahan itu perlu dan bisa dilakukan. Perubahan itu selalu diawali dari kesadaran (Consciousness).
Gerakan perjuangan kemerdekaan misalnya. Bisa lahir karena kesadaran kolektif, kesadaran akan realitas bahwa sesungguhnya suku-suku bangsa yang terbentang di Nusantara, adalah satu komunitas besar masyarakat yang sedang dijajah dan ditindas.
Kesadaran itu juga hadir tak lepas dari adanya komparasi yang bisa disaksikan para pemuda tanah air yang mengenyam pendidikan di daratan Eropa, sehingga mereka dapat membandingkan apa yang harus dengan terpaksa dijalani bangsanya, dengan apa yang sedang dinikmati bangsa lain.
Selain itu, pendidikan turut membentuk watak dan kesadaran mereka. Dengan pengetahuan yang dimiliki, mereka menjadi intelektual yang dapat melihat dan memahami realitas jauh lebih dalam ketimbang orang awam kebanyakan, dengan begitu akar persoalan bisa dilacak dan format gerakan bisa dibuat.
Dengan berbekal kesadaran akan nasib bangsanya yang terjajah, gerakan yang lebih terorganisir pun bisa disusun, organisasi yang modern bisa dibentuk, sehingga gerakan untuk meretas kesadaran yang sama kepada khalayak bisa dilakukan dengan lebih seksama. Nasionalisme pun muncul dan menguat
Gerakan Pemuda Kekinian
Belajar dari pengalaman sejarah yang ada, mestinya generasi muda hari ini juga dapat melakukan sesuatu bagi bangsanya. Apalagi di tengah arus globalisasi yang menerpa bangsa ini, seharusnya para pemuda dapat menunjukan perannya jauh lebih nyata.
Mungkin tidak harus seperti format gerakan masa lalu yang kerap memerlukan musuh bersama (common enemy) agar bisa bergerak serentak dalam jumlah besar dan masif. Gerakan hari ini bisa tampil dalam format yang berbeda.
Yakni dengan basis gerakan yang lebih fokus pada pemahaman nilai-nilai yang sama, dan identifikasi akar permasalahan yang mendasar. Sehingga lebih spesifik dalam menentukan agenda-agenda yang akan dijalankan.
Dalam konteks itu penulis ingin mengajak kita bersama, khususnya kaum muda dalam melihat tantangan kekinian bangsa. Realitas yang terbentang menjelaskan dengan gamblang, bahwa penguasaan sumber-sumber ekonomi telah menjadi pintu utama dalam masuki kejayaan suatu bangsa.
Bahkan bangsa yang satu dapat menguasai bangsa lain dengan mudah, tanpa perlu melalui gerakan militer bersenjata. Dengan kekuatan ekonomi yang dimiliki, satu bangsa bisa mendikte atau bahkan mengontrol bangsa lain secara total.
Hal ini yang mesti disadari. Kesadaran inilah yang perlu dibangkitkan, apalagi tak bisa ditepis dan dihindari, bangsa kita telah berada dalam pusaran perdagangan bebas, yang memungkinkan, segala hal menjadi tanpa batas.
Misalnya melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN yang telah berlaku efektif 2015 lalu. Implikasinya antara lain dapat membuat tidak hanya sesama orang ASEAN bisa berinvestasi secara bebas, tapi para pekerja pun bisa bebas mengambil peluang kerja di negara ASEAN mana pun.
Realitas semacam inilah yang mestinya melecut kita, pemuda Indonesia, untuk berbenah dan bersiap diri, jika tak mau menjadi penonton di rumah sendiri, dan membiarkan potensi sumber daya alam dan potensi besarnya jumlah penduduk yang mencapai angka lebih dari 271 juta, digarap dan dimanfaatkan bangsa lain.
Satu kondisi eksisting yang mewajibkan atau membutuhkan lahirnya lebih banyak entrepreneur muda, pejuang di bidang ekonomi, untuk tampil menghadapi tantangan bangsa yang memang telah berubah. Sehingga mampu menjadikan bangsa ini tuan rumah di negeri sendiri.
Kesadaran inilah yang mesti digelorakan. Karena faktanya, jumlah pengusaha di Indonesia masih di bawah 3 persen dari populasi penduduk. Kalah jauh dari proporsi jumlah pengusaha dibanding dengan penduduknya, di hampir semua Negara di Asia Tenggara.
Belakangan pemerintah melahirkan sejumlah program untuk menjadikan pengusaha UMKM naik kelas, termasuk kampanye oleh berbagai organisasi dan komunitas dalam mengajak anak muda sejak dibangku sekolah dan perguruan tinggi untuk menjadi pengusaha.
Program pemerintah seperti Gerakan #1000 Startup Digital, serta inisiatif, inovasi dan kreativitas masyarakat dalam membuat berbagai platform digital dalam memudahkan komunikasi dan transaksi bisnis atau ekonomi adalah bagian dari ikhtiar itu. Termasuk pula dengan pelatihan kewirausahaan yang kerap dilakukan oleh berbagai elemen.
Semua itu bukan sekadar untuk melahirkan entrepreneur secara instan. Tapi setidaknya melalui berbagai upaya yang dilaksanakan, dapat diretas kesadaran kolektif dan terbentuknya pola pikir dan jiwa entrepreneurship di kalangan anak-anak muda.
Sehingga para pelajar dan mahasiswa ketika nanti menjalani profesi apapun di masyarakat, setelah menempuh studi di perguruan tinggi, pola pikir yang berwawasan entrepreneurship ini menjadi dasar bagi mereka dalam memberikan kontribusi yang lebih besar dalam kehidupan bermasyarakat.
Penulis bayangkan, kalau suatu saat nanti di berbagai profesi hadir individu-individu yang memiliki pola pikir dan berjiwa entrepreneurship. Tentu akan banyak warga negara yang mau dan tertarik terhadap dunia usaha, apalagi saat dunia lebih dimudahkan dengan majunya teknologi digital.
Pola pikir dan mentalitas entrepreneurship, akan mampu menjadi instrumen penting bangsa ini untuk bersaing secara terbuka. Tidak terus terjebak sebagai bangsa konsumtif di era pasar bebas, justru menjadi bangsa yang produktif. Inilah tantangan pemuda masa kini, tantangan yang tak sama dengan pemuda masa silam yang tentu butuh jawaban yang berbeda.
Penulis adalah Founder IndoEast Network