Ketahanan Pangan Indonesia: Tantangan dan Solusi Bagi Pemangku Kebijakan Indonesia

0
811

Oleh: Muhammad Faisal Saihitua

Isu ketahanan pangan yang semakin merambah secara global tidak seharusnya menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi Indonesia. Sebagai negara agraris dengan produksi beras sebanyak 31,36 juta ton pada tahun 2022, berdasarkan data dari BPS, jumlah ini jauh melebihi konsumsi beras masyarakat Indonesia yang mencapai 22,09 juta ton.

Ketersediaan produksi yang melampaui konsumsi telah menyebabkan Indonesia mengalami surplus beras. Oleh karena itu, negara ini dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri hanya melalui produksi beras domestik. Namun, hal ini tidak secara otomatis memberikan Indonesia reputasi yang baik dalam konteks ketahanan pangan secara global.

Berdasarkan data Indeks Keamanan Pangan Global (GFSI) tahun 2022, Indonesia menduduki peringkat ke-4 di wilayah ASEAN, di bawah Singapura, Malaysia, dan Vietnam, serta berada di peringkat ke-63 secara global. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi semua pihak yang terlibat, termasuk perusahaan pengelola sumber daya pangan nasional, seperti ID FOOD.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada penurunan indeks ketahanan pangan nasional termasuk ketersediaan pasokan pangan, kemampuan konsumen untuk membeli makanan, kualitas dan keamanan makanan, serta dampak perubahan lingkungan. Dari keempat faktor ini, salah satu yang perlu mendapatkan perhatian adalah “Affordability” atau kemampuan konsumen untuk mengakses produk pangan.

Faktor ini sangat dipengaruhi oleh kinerja rantai pasok di Indonesia Timur. Mengapa ini penting? Karena salah satu misi Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. H. Joko Widodo, adalah membangun infrastruktur yang merata di seluruh wilayah Nusantara.

Rantai pasok erat kaitannya dengan infrastruktur. Namun, jenis infrastruktur yang diperlukan perlu diteliti secara ilmiah agar efektivitas pembangunan infrastruktur tersebut dapat diuji seiring berjalannya waktu. Ketika kita berbicara tentang rantai pasok, perlu ada pendekatan holistik dari hulu hingga hilir.

Baca Juga  Pertama Kali di Maluku, Presenter TV Dihadirkan Sebagai Saksi Terkait Penyiaran Berita

Ini mencakup dari bahan baku mentah hingga produk yang siap dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Di sektor hulu, daerah penghasil pangan terbesar, terutama beras, adalah Provinsi Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Sulawesi Selatan memiliki luas panen sebesar 985.158,23 hektar, dengan surplus beras sebesar 235,46% atau setara dengan 2.050.378 ton pada tahun 2022. Hal ini membuatnya menjadi sumber pasokan bagi wilayah Indonesia Timur.

Namun, di wilayah Indonesia Timur, terdapat empat provinsi yang mengalami defisit beras berdasarkan data BPS tahun 2022, yaitu Provinsi Maluku (-55,12%), Provinsi Maluku Utara (-84,95%), Provinsi Papua Barat (-82,91%), dan Provinsi Papua (- 26,06%).

Dari segi jumlah defisit, jika dibandingkan dengan produksi beras di Provinsi Sulawesi Selatan secara matematis, masalah ini dapat diatasi dan tidak menjadi persoalan serius yang berdampak pada indeks ketahanan pangan nasional dan global Indonesia.

Meskipun produksi beras di Sulawesi Selatan mampu menjadi sumber pasokan beras di Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia Timur, faktor produktivitas tanam adalah yang paling dominan dalam memengaruhi kinerja rantai pasok beras.

Produksi beras di Sulawesi Selatan, terutama di Kabupaten Sidrap, didukung oleh banyak pabrik dengan kapasitas dan teknologi modern yang mampu menghasilkan beras berkualitas dan memenuhi permintaan konsumen.

Namun, kinerja pabrik yang terkait dengan rantai pasok perlu diukur untuk memastikan kelancaran pasokan beras. Pengukuran kinerja ini harus mempertimbangkan Key Performance Indicator (KPI) yang baik untuk menghasilkan kinerja yang baik.

Pengukuran kinerja ini seharusnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan rantai pasok beras, termasuk pemerintah pusat dan daerah, pengusaha, akademisi, dan petani sebagai ujung tombak ketahanan pangan negara.

Sejumlah indikator kinerja yang diteliti harus dimodelkan dan disimulasikan untuk menganalisis aspek-aspek apa yang perlu ditingkatkan guna mendukung sektor pertanian dan meningkatkan ketahanan pangan negara.

Baca Juga  Catatan dari Kepulauan Luang - Sermata, Maluku Barat Daya

Upaya dalam peningkatan kinerja rantai pasok beras perlu dirancang dan dieksekusi dengan baik, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik pemerintah, pengusaha, maupun petani.

Meskipun pembangunan infrastruktur telah dilakukan secara besar-besaran oleh pemerintah, kesinambungan pembangunan ini harus menjadi perhatian bagi pemerintahan berikutnya, mengingat pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang.

Kebijakan pemerintahan selanjutnya harus menekankan aspek ketahanan pangan nasional dan melibatkan semua pemangku kepentingan dengan baik. Jika eksekusi yang baik dilakukan, maka indeks ketahanan pangan nasional dan global Indonesia dapat meningkat lebih jauh dari posisi saat ini.

Ketahanan pangan tidak hanya sekadar peningkatan indeks atau capaian di tingkat regional atau global. Ini melibatkan jaminan kehidupan masyarakat melalui ketersediaan pangan berkualitas.

Ini adalah prinsip yang tertanam dalam UUD 1945 Pasal 33 yang menegaskan bahwa kekayaan alam harus digunakan sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran ini dimulai dari rakyat yang memiliki akses pangan berkualitas.

Sebagai tambahan, seperti yang dikatakan oleh Bung Karno, “pangan adalah nyawa sebuah bangsa,” dan perlu berhati-hati dalam mengelola pembangunan pangan. Semoga pandangan ini dapat menjadi pegangan moral bagi pemimpin Indonesia yang akan datang dalam membangun negara yang lebih maju dengan fondasi ketahanan pangan yang kuat.

Penulis adalah Ketua DPP KNPI Bidang Ketahanan Pangan