Ketangguhan Mahina Matasiri, Cermin Masyarakat Adat yang Menjaga dan Merawat Kebudayaan

0
2267

“Banyak mahina Matasiri yang peran dan tanggung jawabnya melampaui batas-batas kelompok dan primordialisme.”

Oleh: Baihajar Tualeka

Masyarakat Negeri Pelauw, yang disebut pula sebagai Matasiri, merupakan komunitas tradisional atau masyarakat adat di Kecamatan Pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah, yang tidak bisa lepas keterkaitannya dengan nilai-nilai tradisi dan ajaran agama Islam. Sampai saat ini, baik secara individu, keluarga maupun masyarakatnya terdapat berbagai tradisi yang telah melembaga.

Budaya patriarki yang melekat pada masyarakat Matasiri, memposisikan perempuan sebagai bagian penting dalam pelaksanaan ritual adat maupun kegiatan keagamaan. Keterlibatan mahina Matasiri (sebutan kepada perempuan Pelauw) dalam tradisi adat dimulai sejak kelahiran seorang bayi, masa anak-anak, dewasa, bahkan sampai meninggal.

Ia diberikan simbol-simbol keindahan, kecantikan dan sebagai perawat penghidupan. Identitas mahina Matasiri mudah dikenali dari pakaian yang dikenakan baik saat pelaksanaan ritual adat maupun dalam keseharian mereka, yaitu berbaju kebaya dan berkain salele

Uniknya setiap mahina Matasiri yang sudah berkeluarga mengenakan baju kebaya dan tapi yaitu semacam kain dua lapis. Keterlibatan mahina Matasiri selaku aktor utama dalam pelaksanaan tradisi masyarakat adat di Negeri Pelauw, terlihat pada beberapa kegiatan, seperti:

Pertama. Menjadi penari tarian tradisional Ma’amara Tenun dalam upacara adat Tenun. Hanya ada 4 gadis pilihan dari 4 kelompok besar rumah soa  yang dapat melakukan tarian sakral tersebut. 

Penari pertama mewakili Soa Raja (Latuconsina), Penari kedua mewakili Soa Ulat (Salampessy, Tuakia, Angkotasan dan Tuankotta), penari ketiga mewakili Soa Poiwaka (Tuasikal dan Talaohu) dan penari keempat mewakili Soa Sakalei (Tualeka dan Tuahena). 

Ma’amara Tenun adalah salah satu kegiatan dari rangkaian Upacara Adat Tradisional Tenun. Pelaksanaannya sendiri telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-17 Masehi di Matasiri Negeri Pelauw, yang diselenggarakan setiap tiga tahun. 

Upacara adat Tenun ini, selain mengandung unsur tarian dan nyanyian kapata juga terdapat  aksi Ma’atenu atau Cakalele yang mengawali seluruh rangkaian kegiatan upacara adat yang diikuti secara massal oleh para lelaki muda maupun dewasa setelah mendapat restu keluarga khususnya dari ibu atau istri.  

Berpakaian seragam putih, ikat pinggang merah dan lahatale putih serta bersenjatakan parang tajam, para lelaki ini menunjukkan kekuatan fisik dan kekebalan mereka terhadap senjata tajam. Ma’atenu atau Cakalele ini menggambarkan semangat patriotisme dan kesatria dari laki-laki Pelauw, dengan menguji kembali kekuatan fisik dan mental mereka.

Kedua. Ma’alawa Hinia Huwai. Ini masih termasuk dalam rangkaian upacara adat Tenun. Hanya saja dilakukan oleh Maruaiya (perempuan dewasa) di pagi hari, dengan berpakaian kudarane berwarna biru sambil membawa bakul berisikan bibit unggul. 

Kegiatan ini mengandung makna merawat bumi, kelangsungan hidup dan penghargaan kepada semesta serta rasa syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat yang diberikan juga menggambarkan keikutsertaan kaum perempuan dalam pembangunan terutama dalam meningkatkan kesejahteraan.

Ketiga. Acara Fatimah atau hari suci. Dengan berpakaian putih para perempuan melakukan penyucian diri. Walaupun  berbagai tatanan adat dan keagamaan lebih didominasi dan menjadi ruang milik laki-laki, tidak menyurutkan semangat mahina Matasiri untuk terus mentransformasi diri dan melakukan edukasi untuk memperjuangkan haknya sebagai perempuan dalam kehidupan patriarki. 

Bukan hal yang mudah karena mereka harus tetap melakukan peran-peran domestik di rumah tangga maupun dalam lingkungan Soa. Kondisi inilah yang mendorong mahina Matasiri untuk membangun daya juang atau ketangguhan agar tetap survive dalam memperjuangkan haknya, bukan terbelenggu sehingga haknya terabaikan dan mengalami berbagai diskriminasi. 

Misalnya tidak ada pembatasan kepada mahina Matasiri dalam mendapatkan layanan dasar, maupun berekspresi, dan lainnya. Sehingga ada kesetaraan, sehingga ruang-ruang mengaktualisasi diri menjadi terbuka dan dinamis.

Mahina Matasiri masih harus terus berjuang, bernegosiasi dengan pranata adat untuk menjunjung martabatnya dan dihargai sebagai manusia seutuhnya. Sebagaimana hak-hak asasi yang telah dijamin negara dalam konstitusi UUD 1945 maupun berbagai peraturan dan kebijakan untuk memberikan perlindungan dan kesempatan terhadap semua warga negara termasuk perempuan.

Maraknya berbagai kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi di sejumlah tempat, tak luput pula di Matasiri/Pelauw, mengharuskan hadirnya ruang negosiasi adat agar suara mahina Matasiri didengarkan dan haknya terpenuhi. Ruang belajar tanpa sekat harus terus diberikan untuk menjadi kekuatan Matasiri. 

Keberadaan mahina Matasiri dapat turut memperkuat tatanan sosial masyarakat Pelauw yang terbungkus ikatan maningkamu atau kerahiman. Modalitas ini dimungkinkan mengacu pada sebaran hadirnya mahina Matasiri di berbagai bidang kehidupan. 

Banyak mahina Matasiri yang peran dan tanggung jawabnya melampaui batas-batas kelompok dan primordialisme. Berbaur dalam interaksi multikultural untuk kemaslahatan orang banyak, bukan saja di tanah Maluku, melainkan sudah nasional bahkan internasional. 

Suatu pencapaian yang dimungkinkan atas kesadaran kolektif tentang kekuatan yang selama ini dimiliki Matasiri, dan perlu terus diwariskan. Keteladanan, ketokohan dan contoh baik lainnya dari para mahina Matasiri yang hadir di berbagai ruang aktivitas harus menjadi motivasi dan pencerahan khususnya kepada seluruh warga Matasiri.

Pencerahan yang penting untuk memberi ruang bagi mahina Matasiri yang berada di Negeri Adat Pelauw mengaktualisasikan diri dan bertransformasi sosial di tengah-tengah tantangan melaksanakan ritual adat atau tradisi yang kerap menyita waktu. Sehingga kedepan mahina Matasiri tidak saja mewarnai kehidupan dalam lingkaran sosial masyarakat adat, tapi juga dapat berkontribusi bagi kemajuan daerah, bangsa dan negara.

Penulis adakan Direktur Yayasan Lingkar Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku dan Anak Adat Matasiri/Pelauw

Baca Juga  Pemilu 2024 dan Para Politisi Penunggu Pohon