Malu-Malu Tapi Mau Menuju Pilkada Malteng

0
1542

Oleh: Djamal Nur Tualeka ST.

Perhelatan pesta demokrasi-pemilihan umum kepala daerah atau Pilkada di Kabupaten Maluku Tengah (Malteng) akan dilaksanakan kembali tahun 2024 nanti. Itu artinya, akan ada pemimpin baru yang dipilih.

Pilkada yang merupakan pergantian kepemimpinan dalam politik elektoral di daerah atau bisa juga disebut sebagai momentum sirkulasi elit politik lokal yang rutin digelar setiap lima tahun. Meminjam istilah Zainal Arifin Muchtar bahwa pilkada adalah arena kudeta secara konstitusional rakyat terhadap pemerintahan di daerahnya.

Tetapi momentum pilkada tidak cukup jika hanya dipahami untuk mencari pemimpin baru dan menggantikan pemimpin lama. Lebih dari itu pilkada juga bagian untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan sebelumnya.

Secara teknis, pilkada akan melewati beberapa proses tahapan yang harus dilakukan baik oleh penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu. Peserta pemilu yang dimaksud adalah bakal calon atau orang-orang yang akan mencalonkan diri menjadi pemimpin daerah (Bupati-Wakil Bupati) di kabupaten yang dijuluki “pamahanunusa” ini.

Saya tidak akan berbicara atau membahas tentang proses-proses apa saja yang akan dilewati dalam pilkada, atau apa yang harus dipersiapkan dalam menjemput momentum pilkada.

Tulisan ini lebih terfokus pada suatu permasalahan sekaligus untuk mempertanyakan pada beberapa sosok yang sampai hari masih belum memberanikan dirinya untuk muncul di permukaan publik/rakyat Malteng dan menyatakan diri untuk maju menjadi kandidat sebagai langkah awal.

Hal ini yang saya sebut sebagai “malu-malu tapi mau” dari para sosok yang sudah diprediksi akan maju sebagai bakal/calon pemimpin daerah di Malteng. Ada sejumlah nama yang mengamuka.

Misalnya sampai saat ini nama-nama yang beredar dan di prediksi akan maju seperti; Mien Ruatih Tuasikal, Mirati Tuasikal, Saadiah Uluputy, Sam Latuconsina, Mat Marasabessy, Denny Latupono, Ibrahim Ruhunussa, Rudy Lailosa dan sejumlah nama lainnya.

Respon

Setiap perjalanan menuju tahapan pemilu kita akan selalu disuguhi dengan berbagai macam hasil survei. Salah satunya seperti survei di atas terutama mengenai elektabilitas calon pemimpin/kandidat. Dan survei-survei itu selalu mewarnai demokrasi politik elektoral kita. Apalagi dari hasil survei itu kemungkinan bisa benar, tetapi bisa juga tidak.

Selain itu, dari hasil survei ini pula yang kemudian akan menggiring berbagai opini publik sebagai respon untuk memberikan penilaian masyarakat terhadap nama-nama yang ada. Atau sejauh mana respon mereka sendiri dalam hal ini nama-nama yang muncul dalam survei ketika mengetahui bahwa ada nama mereka yang muncul dalam survei yang dimaksud atau siapapun itu yang siap maju.

Jangan Malu

Bahwa segala sesuatu mesti dipersiapkan se-dari awal dan dengan matang berdasarkan berbagai macam perhitungan serta pertimbangan. Dengan menggunakan pendekatan seperti ini, pada saat sekarang sudah saatnya bagi siapa yang meniatkan dirinya untuk maju dan mencalonkan diri sebagai kandidat pemimpin daerah di kabupaten ini (baca: Malteng) harus keluar dan muncul dipermukaan, agar bisa diketahui masyarakat.

Karena dari situlah, semua orang akan menilai dan mengukur seberapa jauh kekuatan serta konsistensi kita untuk membagun Malteng. Jangan risau, apalagi malu-malu kucing. Sebab, tidak ada istilahnya malu dalam berpolitik. Seorang filsuf asal Tiongkok Mao Zedong mengatakan, politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah. Artinya, kita tidak boleh malu menuju medan pertempuran perang. Harus berani dangan segala konsekuensinya.

Kesadaran Berpolitik

Terlepas dari ruang percaturan dan penilaian di atas mengenai nama-nama yang ada dan kesiapan mereka menghadapi menuju pilkada di Malteng nantinya serta respon dari berbagai pihak. Maka yang harus dijelaskan selanjutnya dalam rangka memperbaiki kerangka berpikir kita tentang kesadaran berpolitik adalah bahwa politik itu bukan hanya soal momentum pilkada yang sarat dengan langkah-langkah prosedural saja lalu disuguhi dengan berbagai hasil survei dukungan elektotal semata.

Tetapi politik merupakan sesuatu yang paling puncak untuk keberpihakan–kepentingan yang strategis yakni kepentingan kolektif dan berpihak pada umat dan bangsa berdasarkan prinsip nilai-nilai etika maupun moral politik.

Seperti pada pandangan atau konsep klasik politik yang dikemukakan Aristoteles bahwa politik digunakan masyarakat untuk mencapai suatu kebaikan bersama yang dianggap memiliki nilai moral yang lebih tinggi.

Dasar untuk berpolitik tidak hanya semata-mata mengendepankan kekuasaan namun lebih pada nilai-nilai etika dan moral dan penerapannga dalam berpolitik. Sebab politik mampu memenuhi kepentingan masayarakat secara umum.

Etika politik  adalah prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik. Pada dasarnya etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar.

Konsolidasi Demokrasi

Poin berikut yang ingin disampaikan juga adalah bahwa momentum menuju pilkada Malteng 2023 nanti harus menjadi arena untuk mengkonsolidasikan seluruh kekuatan/stakeholder dalam melihat demokrasi kita ke depannya. Pemilu/pilkada dapat dipandang sebagai suatu seleksi alam dalam dunia politik.

Sejak lama ilmu politik meminjam konsep “suksesi” dari khasanah ilmu hayat untuk menamai masa transisi pergantian pemimpin politik. Suksesi adalah sebuah siklus kritis yang harus dilewati untuk mempertahankan dan melanjutkan eksistensi negara ataupun daerah.

Di beberapa negara yang menjadikan demokrasi sebagai landasan dasar dalam menjalankan pemerintahan, telah menjadikan pemilu/pilkada sebagai ajang penegakkan demokrasi. Pemilu/pilkada dianggap mampu memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menentukan sosok yang akan memimpin mereka, sosok yang mampu memahami kebutuhan mereka sekaligus sosok yang mampu menjalankan kekuasaannya untuk kepentingan rakyat.

David BW Pandie (2020) dalam tulisannya bahwa esensi perhelatan pemilu adalah arena di mana rakyat berkesempatan mengonsolidasi nilai-nilai demokrasi dengan belajar mengorganisasikan diri (self-organising, mengatur diri (self-regulation, menidiplinkan diri (self-discipline, menolong diri sendiri (self-help) serta mampu memerintah diri sendiri (self-government). Tentu tujuannya untuk kepentingan dan kebaikan bersama.

Penulis adalah Wakil Ketua Partai Nasdem Provinsi Maluku dan Korda Partai Nasdem Maluku Tengah

Baca Juga  Ini Arahan Sekda di Acara Pembinaan Arsip dan Tata Naskah Dinas