“Melalui regulasi khusus, akan ada alokasi anggaran dan pelimpahan kewenangan yang lebih besar bagi daerah yang sumber daya alamnya berbasis laut seperti Maluku untuk mengelola potensinya dengan lebih mandiri..”
Oleh: M. Ikhsan Tualeka
Kalau kita menyimak pidato Presiden Barack Husein Obama saat berkunjung ke Indonesia, 9 hingga 10 November 2010, dalam pidatonya baik di Istana Merdeka maupun di Universitas Indonesia berkali-kali ia menyatakan pentingnya Indonesia sebagai negara kepulauan. Sebuah pengakuan secara tegas yang hendaknya membuat kita menyadari bahwa dalam konteks global, Indonesia punya karakter geografis yang berbeda, ini potensi besar dari sisi geopolitik kurang disadari.
Kurangnya kesadaran tercermin dari pengelolaan potensi alam berbasis laut dan pulau masih tertinggal ketimbang sektor lain. Komoditas laut belum diolah secara optimal. Sekalipun dengan garis pantai yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan luas lautan sekitar 3,1 juta Km2, ZEE 2,7 juta Km2 dan panjang pantai 81.000 km –nomor empat di dunia– mengandung potensi ekonomi yang bernilai ekonomis tinggi, Indonesia masih tetap menjadi importir garam. Penduduk di pulau-pulau dengan mata pencaharian mayoritas sebagai nelayan mayoritas pun masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Paradigma usang politik anggaran yang dipakai dalam mengelola negara ini, menandai kenyataan bagaimana kepulauan dan laut belum dipandang sebagai berkah. Masalah pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) hanya dihitung berdasarkan luas wilayah daratan dan jumlah penduduk serta luas wilayah penangkapan nelayan tradisional yang dibatasi hanya sampai empat mil laut saja, adalah sedikit dari fakta-fakta yang mempertegas hal ini.
Kurangnya perhatian dari negara terhadap potensi laut juga terlihat dari tidak adanya kemauan politik untuk mendukung dan meningkatkan kapasitas masyarakat yang bersandar pada sektor ini. Kurangnya kapital atau modal, tidak adanya kelembagaan usaha yang mapan, bersifat subsistem, sampai tidak memadainya SDM dengan kapasitas lebih untuk menangkap ikan dengan teknologi mutakhir, adalah implikasi serius dari kegagalan dan ketidakmampuan negara menunjukkan perannya.
Dampaknya pun begitu nyata. Minimnya permodalan dan ketertinggalan teknologi, membuat tangkapan nelayan kita selalu kalah dalam hitungan produksi nelayan per hari, jauh lebih rendah dibandingkan negara lain yang potensi perikanannya tidak melebihi potensi perikanan Indonesia. Contohnya, Rusia 140 kg/nelayan/hari, Jepang 75 kg/nelayan/hari, USA 100 kg/nelayan/hari, dan Norwegia 98 kg/nelayan/hari, Indonesia memiliki proporsi produksi terhadap nelayan paling kecil, hanya 5,5 kg/nelayan/hari. (Zainul, 2007: 38)
Selain itu, ketiadaan regulasi yang mengatur secara khusus daerah-daerah archipelago membuat daerah-daerah berpotensi besar ini sulit mengakselerasi ketertinggalannya. Ini fakta yang mestinya membuat kita menyadari realitas mesti disikapi dengan cermat dan segera. Jika tidak, negara ini sejatinya sedang memelihara praktek diskriminasi, dan menyuburkan potensi perpecahan akibat disparitas perkembangan daerah dalam konteks otonomisasi yang kian lebar dan dalam.
Bagaimana
tidak, wilayah dengan luas daratan diuntungkan, sebaliknya yang berbasis pulau
dan laut, terpinggirkan. Dampaknya adalah, realitas distribusi kesejahteraan di
bangsa ini berjalan timpang, sehingga pengalaman bersentuhan dengan negara oleh
setiap warga negara di daerah menjadi berbeda-beda. Pengalaman yang berbeda
bisa berimplikasi serius dan dapat bermuara pada civil discontent, regional discontent bahkan lebih jauh, ethnic discontent.
Nah, realitas ini mestinya membangkitkan kesadaran kolektif, terutama bagi kita
yang mendiami daerah atau wilayah yang berbasis laut dan pulau. Sebab sekalipun
dalam konteks global Indonesia adalah negara kepulauan yang memang secara
ekonomi-politik menguntungkan. Tapi jika diturunkan dalam konteks nasional,
Indonesia terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil. Ada daerah yang memiliki
luas daratan yang lebih luas dari wilayah laut, dan sebaliknya.
Dalam konteks inilah daerah-daerah basis potensi sumber daya di laut dan kepulauan yang notabene belum terkelola secara optimal sudah saatnya diberi perlakuan secara khusus sehingga akselerasi pembangunan kelautan menjadi priotitas. Upaya menghadirkan perlakukan secara khusus itu harus dikongkritkan.
Perubahan paradigma politik anggaran yang rencananya dilakukan sejalan dengan perubahan revisi UU No.32 yang memasukkan masalah pembagian DAU dan DAK, juga masalah hak pemanfaatan potensi laut, termasuk hak ulayat masyarakat di laut dan darat, serta perluasan wilayah penangkapan nelayan tradisional, adalah pintu masuk yang memungkinkan kongkritnya perlakuan khusus.
Jalan lainnya yang bisa mempertegas itu adalah regulasi yang sifatnya khusus (specific regulation) bagi daerah–daerah archipelago. Regulasi khusus yang diperlukan sejatinya telah menemukan titik terangnya, ditandai dengan masuknya RUU Perlakuan Khusus Propinsi Kepulauan dalam Prioritas Legislasi Nasional (Prolegnas) 2011.
Melalui regulasi khusus, akan ada alokasi anggaran dan pelimpahan kewenangan yang lebih besar bagi daerah yang sumber daya alamnya berbasis laut untuk mengelola potensinya dengan lebih mandiri. Dengan regulasi khusus tersebut pembangunan di daerah-daerah yang dengan wilayah laut lebih besar dari daratan dapat mengejar ketertinggalan akibat ketidakadilan struktural selama ini.
Dengan demikian tidak hanya birokrasi yang kerap bagai benang kusut bisa diurai, lebih dipermudah dan diperpendek rentang kendalinya, namun juga akan mengurangi ekonomi biaya tinggi yang sering jadi momok bagi investasi. Regulasi khusus akan memperjelas tingkat kewenangan pengelolaan laut, antara pemerintah kabupaten/kota, propinsi dan pemerintah pusat sehingga dapat menghindari terjadinya tumpang-tindih kebijakan (vested interest).
Dalam konteks inilah diperlukan koordinasi dan konsolidasi yang lebih intensif. Daerah yang memiliki kepentingan besar atas RUU itu, seluruh komponen masyarakat-nya harus mengambil peran yang signifikan. Pemerintah daerah-nya, mesti dapat menjembatani dan memfasilitasi hal itu. Baik melalui forum dan pertemuan formal, maupun melalui penggalangan dukungan politik kepada legislator di senayan untuk benar-benar serius menuntaskan agenda penting ini.
Sebab masuknya satu RUU dalam prolegnas bukanlah jaminan akan dengan mulus bisa ditetapkan menjadi satu Undang-undang. Selain perlu mempersiapkan naskah akademik dan mengelaborasi kepentingan daerah melalui klausul pasal-pasal dalam draf RUU. Perdebatan yang alot pasti mengiringi proses pembahasannya di parlemen. Kita bisa belajar dari gagalnya sejumlah RUU yang pernah dibahas oleh DPR RI periode sebelumnya (*)
Ambon, 7 Desember 2010
Catatan:
Ini artikel ke-35 dalam buku: Ikhsan Tualeka, Perjalanan dan Gagasan. Tulisan ini pernah dimuat harian Ambon Ekspres, 7 Desember 2010, merupakan bagian dari upaya penulis dan sejumlah elemen lain dalam mengajukan dan mendukung RUU Perlakuan Khusus Provinsi Kepulauan. Satu ikhtiar politik bahkan sudah masuk dalam Prolegnas 2011. Sayangnya RUU yang diharapkan dapat menjadi afirmasi (regulasi afirmatif) bagi daerah yang berbasis pulau dan laut seperti Maluku, bernasib sama dengan sejumlah RUU lain, gagal dibahas dan disahkan menjadi UU.
Kurangnya kemauan politik dari daerah-daerah yang berkepentingan langsung dengan RUU ini menjadi kendala utama dalam memperjuangkannya. Sebagai rekomendasi, khususnya untuk Maluku, kedepan barangkali tak perlu lagi mengajukan RUU yang melingkupi semua daerah kepulauan, karena kurang spesifik dan punya konsekuensi politik yang lebih besar.
Mungkin lebih tepat adalah memperjuangkan adanya perlakuan khusus atau bahkan otonomi khusus bagi Maluku. Selain terfokus, konsolidasi politiknya pun akan lebih terukur. Maluku sebagai daerah yang memiliki potensi alam yang besar dan punya sejarah pergolakan politik masa lalu, namun tetap miskin ini, sudah waktunya diberi perlakuan khusus, seperti yang telah pemerintah Indonesia berikan kepada Papua dan Aceh.