Maluku No.4 Termiskin di Indonesia, Tanggung Renteng Kepala Daerah

0
2417

“Akan sulit rasanya, Maluku bisa keluar dari kemiskinan, bila masih saja ada kepala daerah kabupaten dan kota orientasinya hanya pada pengadaan dan pengerjaan proyek-proyek padat modal. Apalagi yang kemudian mengerjakan proyek hanya kerabat dan keluarga dekat pejabat.”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Belakangan ini, publik di Maluku terutama melalui media sosial turut membahas indeks kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang kembali menempatkan Maluku pada urutan keempat setelah Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur. Angka kemiskinan di Maluku 17,99 persen.

Sejumlah pihak turut dipersalahkan. Gubernur Maluku yang baru menjabat belum genap 2 tahun juga turut kena getah. Bahkan ada warganet yang sengaja mem-posting poster atau leaflet yang berisi janji kampanye Gubernur Murad Ismail dengan caption yang cenderung mendiskreditkan.

Namun apakah ini tanggung jawab gubernur semata?. Pertanyaan yang tentu harus dijawab dengan objektif. Harus diakui, dua tahun tentu waktu yang terlalu singkat untuk dapat mengupayakan pengentasan kemiskinan di satu daerah dengan komprehensif.

Apalagi lebih dari satu tahun ini, dunia, Indonesia, termasuk Maluku juga dihadang oleh pandemi Covid-19. Situasi yang turut menarik turun produktivitas berbagai elemen, pemerintah serta masyarakat, utamanya pada sektor ekonomi, berujung pada melonjaknya persentase angka kemiskinan secara nasional.

Itu artinya, siapapun yang menjadi gubernur, tentu bukan perkara mudah menjalankan pemerintahan, khususnya dalam program-program pengentasan kemiskinan dalam situasi pandemi. Walaupun sejumlah inisiatif bisa saja dilakukan dalam situasi ini, antara lain pernah saya usulkan dalam satu tulisan sebelumnya, yaitu melalui reformasi birokrasi.

Hemat saya, dengan upaya reformasi birokrasi, program-program pengentasan kemiskinan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Karena lebih bisa terukur antara output dan outcome nya, seperti dijelaskan dalam teori Balanced Scorecard: mekanisme dalam sistem manajemen yang mampu menerjemahkan visi dan strategi organisasi ke dalam tindakan nyata di lapangan.

Lebih dari itu, tulisan atau catatan pendek ini, sebenarnya hendak memberikan titik tekan yang proporsional, terutama pada tanggung renteng yang sama dari para kepala daerah, dalam hal ini bupati dan walikota di Maluku atas realitas kemiskinan yang tersaji, setidaknya dalam data statistik.

Baca Juga  Saya Dicari, Apakah Tentara Mulai ‘Offside’?

Betul, gubernur sebagai wakil pemerintah pusat jelas bertanggung jawab dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam upaya membangun sinergi antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah. Termasuk pencapaian penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih baik.

Tapi perlu dicatat, yang lebih dekat dan memiliki wilayah serta masyarakat adalah bupati dan walikota. Kewenangan, teritorial dan penduduk dibagi habis pada semua kepala daerah di bawah gubernur. Itu artinya, upaya pengentasan kemiskinan pada satu provinsi, juga sangat tergantung atau terkait langsung dengan kapasitas dan kinerja para bupati dan walikota di provinsi itu, termasuk pula dengan DPRD.

Semua memiliki tanggung jawab kolektif yang sama. Karena itu, buruknya tata kelola pemerintahan, tidak adanya orientasi pembangunan yang jelas, dan gagalnya program-program yang dapat berkontribusi pada pengentasan kemiskinan di satu daerah, kabupaten atau kota, akan turut menarik turun indeks kemiskinan secara kolektif di provinsi itu.

Dalam konteks ini, menjadi kurang bijak, bila semua persoalan dibebankan hanya pada gubernur semata. Yang jelas, situasi saat ini, yakni berada pada level buruk, sementara daerah memiliki sumber daya alam yang melimpah adalah satu situasi yang paradoks atau  ironis bisa terjadi.

Sehingga sudah mestinya semua pemimpin di berbagai level menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai agenda utama secara bersama-sama. Paradigma kolektif dari para pemangku kewajiban untuk dapat melihat kepentingan masyarakat sebagai agenda penting adalah sebuah keniscayaan.

Sebab akan sulit rasanya, Maluku bisa keluar dari situasi ini, bila masih saja ada kepala daerah kabupaten dan kota yang orientasinya hanya pada pengadaan dan pengerjaan proyek-proyek padat modal, ketimbang mengupayakan proyek yang padat karya. Apalagi yang kemudian mengerjakan proyek hanya kerabat dan keluarga dekat pejabat.

Baca Juga  Surat Cinta Buat Wiranto

Entrepreneur karbitan dari keluarga pejabat ini pun biasanya mengerjakan proyek asal jadi, tak sesuai kebutuhan, dan banyak yang rusak tak lama setelah proyek selesai dikerjakan. Hal lumrah di Maluku, menyaksikan ada keluarga pejabat yang akhirnya menguasai hampir semua proyek di daerah itu.

Fenomena semacam ini yang membuat kondisi Maluku sulit bangkit dari keterpurukan. Apalagi dengan porsi alokasi APBN atau transfer pusat ke daerah yang relatif sedikit. Ditambah elit lokal yang minim inovasi dan kreativitas, tampil bukan sebagai pemimpin, tapi  local strongmen meminjam istilah Migel dan Hadiz, atau raja-raja kecil, makin memperparah situasi

Memang ada banyak strategi dan pendekatan yang dapat diupayakan. Namun tidak salah atau relevan jika semua pihak, terutama para kepala daerah, mau sedikit belajar dari pengalaman empirik yang progresif  dari kepemimpinan di tempat lain.

Termasuk belajar dari pencapaian dari satu desa, yang sebelumnya termiskin, tapi di tangan kepala desa yang visioner dan kreatif, desanya berubah menjadi kaya dengan pendapatan yang fantastis. Bahkan hingga dikunjungi dan dipuji-puji oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani

Adalah Junaidi Mulyono, Kepala Desa Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah yang belakangan ini viral di media sosial. Betapa tidak, sebagai kepala desa, Junaidi mampu mengubah desanya dari desa termiskin, menjadi desa kaya dan mampu mensejahterakan rakyat desanya.

Dari pendapatan desa, Junaidi bahkan sanggup membeli mobil mewah, Alphard, sebagai tunggangan sehari-hari dalam berdinas. Semua itu karena ia memiliki strategi atau rumus dalam memajukan desanya, yang sempat masuk dalam daftar desa termiskin di Provinsi Jawa Tengah.

Kepala desa ini punya setidaknya tiga jurus andalan dalam upaya membangun Desa Ponggok, yakni: Pertama, adanya tata ruang perencanaan yang matang dan menentukan skala prioritas pembangunan desa; Kedua, mengembangkan dan memajukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes); Ketiga, memperbaiki Sumber Daya Manusia (SDM) dan mengembangkan Ilmu pengetahuan dan teknologi di desanya.

Baca Juga  Maluku dalam Pusaran Ketidakadilan Distributif Transportasi Laut

Junaedi menjadi Kepala Desa Ponggok sejak tahun 2006. Sebelum Junaidi menjabat, pendapatan Desa Ponggok hanya Rp 80 juta per tahun. Tapi setelah ia menjabat, pendapatan desa meningkat menjadi Rp 120 juta per tahun, bahkan di tahun 2017 sudah mencapai Rp 12 miliar. Pendapatan itu terutama dari sektor pariwisata yang memang dijadikan prioritas,

Sungguh satu pencapaian luar biasa, yang patut diapresiasi dan bila perlu diduplikasi. Meski ada saja pihak yang akan mencari alasan untuk mengelak dari kegagalan dan ketidakmampuan, dengan mengatakan kalau mengurus satu desa berbeda dengan mengelola satu kabupaten, kota atau provinsi. Tapi belajar dari jurus sang kepala desa, sepertinya relevan, tinggal skala atau cakupannya diperluas sesuai wilayah ‘kekuasaan’.

Karena untuk menjadi maju, daerah-daerah di Maluku, butuh tata ruang perencanaan yang matang dan komprehensif, adanya skala prioritas pembangunan yang didukung oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang berkelas, inovatif dan mampu mengelola potensi daerah untuk menambah PAD, bukan justru jadi beban daerah. Termasuk pula dengan meningkatkan kualitas SDM guna menjawab tantangan dan peluang yang dihadapi daerah.

Rumus dari Junaedi memang terlihat sederhana, namun nyatanya berdampak signifikan terutama dalam pengentasan kemiskinan di desanya. Semua itu dapat terjadi asalkan ada kemauan atau komitmen yang kuat disertai konsistensi dari para pemimpin di daerah dalam membangun daerahnya.

Setiap pemimpin harus mau berfikir cerdas, bekerja keras dengan ikhlas dan tuntas untuk kepentingan rakyat, bukan malah mengumpul kan pundi-pundi kekayaan untuk diri dan kelompoknya. Perlu diingat, sesungguhnya setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban, di dunia, apalagi di akhirat. Sapa bale batu, batu bale dia.

Ambon, 22 Februari 2021

Penulis adalah Founder IndoEast Network