Maraknya Rasisme dan Buruknya Kultur Hukum di Indonesia

0
885

Oleh: Jack Rahajaan

Rasisme telah marak terjadi di belahan dunia sejak tahun 1940 an. Rasis memiliki konotasi negatif, yaitu bentuk ujaran dan perlakuan diskriminatif yang didasari karena adanya pandangan berbeda terhadap orang lain yang berbeda suku, agama, ras, etnik, golongan, dan lain sebagainya.

Rasisme adalah sesuatu yang tidak rasional dan merupakan suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia. Dalam menentukan pencapaian budaya atau individu, bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya.

Beberapa pekan lalu kita orang Maluku dikagetkan dan dibuat geram dengan tindakan penganiayaan sesama saudara kita orang Maluku yang berprofesi sebagai Debt Collector. Bukan hanya tindakan pengeroyokan dan penganiayaan saja yang membuat gempar namun ujaran rasis dalam tindak pidana dengan locus delicti di Kota Tangerang Selatan itu yang semakin menyulut amarah orang Maluku.

Pelaku dengan penuh kebencian mengatakan kata–kata rasis terhadap korban dan ucapan rasis tersebut menstigmatisasi kita orang Ambon (Maluku) yang berada di Jabodetabek dengan label preman. Padahal korban bukan preman tapi berprofesi sebagai debt collector atau penagih hutang.

Inilah penurunan nilai dari istilah Debt Collector yang dikonotasikan atau disinonimkan dengan istilah preman. Padahal kedua istilah tersebut memiliki arti yang jauh berbeda, kesalahan pemaknaan istilah seperti ini yang terjadi dalam masyarakat akhirnya menimbulkan stereotip atau penilaian yang tidak seimbang terhadap suatu kelompok masyarakat.

Namun salut bagi warga Maluku, khususnya di wilayah Jabodetabek yang dengan penuh kesadaran dan ketaatan hukum menyerahkan dan mengawal kasus ini lewat proses hukum menurut ius constitutum Indonesia.

Memang tindakan rasisme tidak hanya menimpa orang Maluku, namun juga menimpa saudara kita dari tanah Papua dalam beberapa kasus seperti di Surabaya, bahkan jauh lebih parah lagi ujaran rasisnya sangat tidak berperikemanusiaan.

Selanjutnya yang mencengangkan sekaligus mencoreng dunia pendidikan yang terjadi di salah satu SMA di Kabupaten Jember, Jawa Timur yakni kasus seorang guru yang bertindak rasis terhadap salah satu siswa asal Papua peserta program Afirmasi Pendidikan Menengah (Adem), di dalam kelas karena siswa yang bersangkutan tidak mengerjakan tugas, sehingga guru tersebut kesal dan terlontar kata-kata yang mengarah ke rasisme.

Baca Juga  Pansel Calon Pimpinan PDAM Kabupaten Kepulauan Tanimbar Dipertanyakan

Bahkan yang cukup viral juga adalah cuitan twitter @rezkiachyana yang bercerita tentang ucapan rasis yang keluar dari mulut seorang oknum anggota Kepolisian. Berbagai kasus rasisme di atas ada yang diselesaikan secara restorative justice namun ada pula yang diselesaikan melalui upaya Penal.

Misalnya kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya beberapa waktu lalu. Namun korban menyayangkan sanksi yang terlalu ringan yang dijatuhkan kepada pelaku, yakni 5 (lima) bulan Penjara.

Meminjam Jargon klasik dari Belanda ‘Het recht hinkt achter de feiten aan,’ yang artinya hukum itu berjalan terseok-seok mengikuti fakta. Inilah yang menimbulkan norma hukum. Namun tidak semua fakta dapat dijadikan norma hukum.

Hanya fakta yang terjadi berulang–ulang dan membentuk pola yang merugikan atau melanggar hak orang lain dan memiliki kesan kuat bahwa sepantasnya terhadap pelaku patut dikenakan sanksi. Secara leksikal, ’budaya’ diartikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat, atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.

Demikianlah rasisme telah membudaya sejak dahulu dalam masyarakat dan terjadi terus – menerus sehingga manusia lantas berpikir secara kolektif untuk memerangi rasisme dengan membentuk hukum anti rasisme. Melalui pembentukan hukum anti rasisme diupayakan agar hukum mampu menjadi alat kontrol sosial dan merekayasa budaya hukum anti rasisme.

Lawrence M. Friedman (1984: 6) tentang budaya hukum, Ia menyatakan: people’s attitudes toward law and legal system―their beliefs, values, ideas, and expectations. The legal culture, in other words, is the climate of social thought and social force which determines how law is used, avoided, or abused. Without legal culture, the legal system is inert―a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea.

Baca Juga  Gubernur Maluku Hadiri HUT Bhayangkara ke-74

Menurut Friedman, budaya hukum, merupakan iklim pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak berdaya. Budaya hukum yang buruk membuat sistem hukum pincang. Sistem hukum menurut Friedman senantiasa terdiri dari 3 (tiga) elemen yakni : Struktur hukum, Substansi hukum dan Budaya hukum.

Maraknya rasisme di Indonesia akhir-akhir ini dari aspek hukum jelas mempertontonkan buruknya budaya hukum. Masyarakat menjadi suka main hakim sendiri, menjadi rasis karena kurang sadar dan taat hukum.

Padahal Struktur hukum sudah sangat lengkap misalnya Kepolisian secara hirarkis dari Mabes POLRI hingga POLSEK. Demikian pula Substansi hukum sudah cukup memadai misalnya UU Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan diskriminasi Ras dan etnis , yang dalam pasal 4, menyatakan tentang Tindakan diskriminatif ras dan etnis.

Dengan demikian ujaran rasis terhadap saudara kita korban pengeroyokan dan penganiayaan merupakan perbuatan melawan hukum dan HAM yang harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Selanjutnya Pasal 8 (1), pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilakukan oleh Komnas HAM, yang memantau dan memberikan penilaian yang kemudian menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan penegak hukum.

Ketimpangan hukum yang terbesar di Indonesia adalah buruknya budaya hukum, mulai dari yang kecil saja; membuang sampah sembarangan, sampai yang besar; korupsi, dan yang dibahas disini adalah rasisme. Apabila budaya hukum tidak segera diperhatikan oleh pemerintah maka rasisme akan kian marak dan ‘membudaya’ dalam masyarakat modern yang tidak lagi peduli dengan nilai – nilai luhur Pancasila dan norma – norma yang ada.

Memang tidak mudah dan cepat dalam membangun budaya hukum dalam masyarakat (rakyat maupun aparatur negara). Namun sebagai suatu Bangsa yang memiliki politik hukum, Pemerintah Indonesia dari Pusat hingga daerah harus memiliki strategi dan program pembangunan hukum yang jelas, tepat, dan efektif.

Baca Juga  Widya Murad: Ibu Adalah Madrasah Bagi Anak

Solusinya, membangun sistem hukum, khususnya budaya hukum dengan memperhatikan 3 (tiga) fungsi hukum, yaitu sebagai: (1) penyelesai sengketa (dispute settlement), (2) pengontrol masyarakat (social control/order), dan (3) perekayasa masyarakat (social engineering).

Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa dapat menjadi program jangka pendek yang diharapkan akan memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum bagi pencari keadilan. Misalnya dalam kasus rasisme, hukum harus menyelesaikan persoalan rasisme secara pasti dan adil serta menciptakan efek jera sehingga akan membentuk budaya hukum yang benar karena kekuatan memaksa dari hukum.

Masyarakat tidak lagi main hakim sendiri, tidak mudah terprovokasi, tidak lagi rasis dan menyerahkan setiap persoalan kepada proses hukum. Demikian juga aparatur akan bertindak profesional dan optimal untuk segera menyelesaikan perkara tersebut.

Fungsi hukum sebagai alat kontrol masyarakat dapat menjadi program jangka menengah. Rasisme dicegah melalui penguatan nilai–nilai Pancasila, anti kekerasan, masyarakat diberikan ruang untuk mengkritisi hukum dan berperan aktif dalam sistem keamanan lingkungan yang baik. Aparatur negara akti mengedukasi masyarakat.

Fungsi hukum sebagai rekayasa masyarakat menjadi program jangka Panjang dalam membangun budaya hukum. Masyarakat percaya pada penyelesaian masalah secara hukum karena kesadaran diri yang kuat. Masyarakat dan aparat menjadi agen-agen perubahan sosial yang lebih baik. Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam pembentukan hukum.

Kesimpulannya, Salah satu penyebab maraknya rasisme di Indonesia adalah budaya hukum yang buruk/timpang sehingga pemerintah perlu membangun budaya hukum yang lebih baik dan strategis, sesuai dengan nilai–nilai luhur Pancasila dan norma-norma yang berlaku.

Penulis adalah Dosen Dpk. STIA Said Perintah Masohi dan aktif di Komunitas Penulis Maluku