Memahami Model, Tindak Lanjut dan Faktor Tidak Dilaksanakan Putusan MK

0
416

Oleh: Paman Nurlette

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu organ Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Salah satu kewenangan yang termaktub secara eksplisit dalam rumusan Norma Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 adalah melakukan pengujian Undang-undang terhadap UUD NRI 1945 atau disebut juga Judicial Review. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Itu berarti, Putusan MK telah memiliki kekuatan hukum mengikat semenjak diucapkan dalam persidangan.

Menurut Sri Soemantri, bahwa putusan yang bersifat final harus juga mengikat dan tidak bisa dianulir oleh organ Negara apa pun. Dalam bahasa Inggris, pengertian yuridis final dan mengikat itu selalu bersatu atau menjadi satu kesatuan, yaitu “final and binding”. Dengan demikian, jika bersifat final harus diikuti dengan mengikat sehingga sah memiliki kepastian hukum.

Kewenangan MK untuk membatalkan norma Pasal tertentu dalam sebuah Undang-undang, maka menjadikan MK disebut sebagai negative legislator, yakni organ Negara yang berwenang membatalkan norma dalam Undang-undang yang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Tetapi menurut Jimly Asshiddiqie, MK tidak berwenang untuk membentuk norma baru, karena hal tersebut menjadi kewenangan organ legislatif sebagai positive legislator. Meskipun dalam prakteknya sudah beberapa putusan MK membentuk Norma baru sebagai terobosan hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatu pokok permohonan para pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Dan dalam amarnya, MK menyatakan tidak menerima permohonan provisi para pemohon, serta menyatakan Norma Pasal tertentu dalam Undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Maka Norma Pasal atau Ayat itu tidak memiliki daya guna (efficacy) tapi tetap berlaku.

Menurut Maria Farida Indrati S, dalam hal putusan Judicial Review dikabulkan oleh MK, maka bagian Pasal atau Ayat yang bertentangan dengan UUD 1945 masih memiliki daya laku (validity) sampai dinyatakan dicabut oleh organ Negara yang berwenang, tetapi tidak memiliki daya guna (efficacy). Tidak memiliki daya guna dapat diartikan norma Pasal tersebut tidak lagi efektif digunakan. Sehingga Norma Pasal yang bertentangan dapat diabaikan dengan mengacu pada putusan MK.

Sementara menurut Muchamad Ali Safa’at bahwa pelaksanaan putusan MK dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu, pertama, putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat sebuah peraturan baru atau perubahan. Kedua, putusan yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.

Model Dan Tindak Lanjut Putusan MK

Lazimnya kita mengenal Model putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dari tahun 2003 hingga sekarang di antaranya adalah : (1) model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku (Legally Null and Void), (2) model putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), (3) model putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), (4) model putusan yang menunda pemberlakuan putusannya (limited constitutional) dan (5) model putusan yang merumuskan norma baru. Sedangkan implementasi sebuah putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat dari model putusannya.

Penulis bersebrangan pemikiran dengan pandangan salah satu pakar hukum tata Negara terkait putusan MK Inkonstitusional bersyarat masa jabatan 7 kepala daerah, tapi di sisi lain menyatakan self executing. Sebab, yang dimaksud “self executing” adalah implementasi model putusan yang secara hukum membatalkan dan menyatakan tidak berlaku, serta model putusan yang merumuskan norma sehingga langsung dapat dieksekusi. Sedangkan baik model putusan Konstitusional bersyarat maupun model putusan Inkonstitusional bersyarat ialah tidak dapat secara langsung dieksekusi atau disebut dengan “non-self executing”

Baca Juga  Penumpang KM. Tidar Jatuh Ke Laut, 1 Tewas, 1 Hilang

Putusan Mahkamah Konstitusi meskipun mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan, namun perlu dipahami tidak semua putusan MK yang mengabulkan permohonan Pemohon dapat langsung dilaksanakan (self-implementing/self-executing). Karena untuk pelaksanaan putusan tersebut, masih memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan Undang-undang baru atau aturan perubahan. Itulah putusan yang disebut dengan (non-self implementing/executing). Dikatakan demikian karena putusan tersebut mempengaruhi norma lain, dan memerlukan revisi atau pembentukan Undang-undang baru atau peraturan yang lebih operasional dalam pelaksanannya.

Secara umum putusan-putusan yang bersifat self-executing/self-implementing dapat dilacak dari sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi baik amarnya menyatakan batal (null and void) dan tidak berlaku lagi ataupun amarnya terdapat perumusan norma. Misalnya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/200321 yang mengembalikan hak pilih mantan anggota PKI dengan membatalkan ketentuan Norma Pasal 60 huruf g, yang terkandung pada Undang-undang Nomor 12 tahun 2003. Sejak putusan itu diucapkan, maka hak pilih mantan anggota PKI telah dipulihkan.

Kemudian, putusan lain yang langsung dapat dilaksanakan adalah Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang membatalkan Pasal Pasal tentang penghinaan Presiden dalam KUHP, yaitu Norma Pasal 134, 136, dan 137. Sejak putusan ini diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, maka tidak seorangpun dapat dipidana berdasarkan ketentuan Pasal Pasal tersebut. Pihak Kepolisian tidak dapat menjadikan Pasal Pasal itu sebagai dasar penyelidikan dan penyidikan. Demikian pula penuntutan oleh Kejaksaan. Putusan MK semacam ini berlaku serta merta, meskipun belum ada perubahan terhadap KUHP, karena bersifat membatalkan norma dan perumusan norma.

Namun, hal itu berbeda dengan putusan konstitusional bersyarat dan Inkonstitusional bersyarat. Inkonstitusional bersyarat berarti Pasal yang dimohonkan diuji dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI 1945. Artinya, Pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah Inkonstitusional, jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Pasal yang dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional, dan akan menjadi Konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan MK dipenuhi oleh addresaat Putusan MK.

Bentuk putusan semacam ini harus menunggu perubahan atas sebuah Undang-undang, yang telah dibatalkan jika addressat putusan tersebut berkaitan dengan organ Negara legislatif. Sedangkan putusan yang menjadikan organ Negara eksekutif sebagai addressat putusannya, dibutuhkan prosedur-prosedur birokratis, agar putusan tersebut dapat dilaksanakan secara konsekuen.

Sebagai contoh, putusan Konstitusional bersyarat yang memerlukan tindak lanjut, antara lain putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 tentang Penetapan kursi tahap ke II dalam pemilu legislatif tahun 2009, terkait uji materiil terhadap norma Pasal 205 Ayat (4) dan Pasal 212 Aya (3) Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 terkait penetapan kursi tahap dua, yang dilakukan oleh partai Hanura, PPP, Gerindra dan PKS. Dalam implementasinya, putusan ini masih memerlukan instrumen hukum yang bersifat operasional. Atas permohonan itu MK memutuskan ketentuan Pasal dan ayat dimaksud konstitusional bersyarat, bahwa ketentuan tersebut konstitusional sepanjang dimaknai sebagaimana tafsir MK dalam putusan tersebut.

Baca Juga  Prabowo Menang de-Facto, Jokowi Menang de-Survai

Sementara putusan Inkonstitusional bersyarat terdapat pada perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-undang Cipta Kerja). MK dalam amar putusannya menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan diucapkan”.

MK menyatakan, Undang-undang Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan itu. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Mahkamah juga melarang pemerintah menerbitkan seluruh Peraturan pelaksana yang terkait beleid tersebut. Sayangnya, hal ini tidak dipatuhi oleh Pemerintah yang terkesan menjadikan Putusan tersebut tak dihormati.

Faktor Tidak Dilaksanakannya Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebenarnya penerapan atau pelaksanaan putusan MK yang berlarut-larut tidak semestinya terjadi. Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum dan mengikat para pihak sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan berlaku sesuai dengan asas “erga omnes”. Secara konstitusional, mematuhi putusan MK adalah kewajiban mutlak, bukan hanya bagi organ Negara DPR dan pemerintah sebagai “law making power”, tetapi untuk seluruh pihak terkait dan setiap warga Negara Indonesia.

Tetapi pada faktanya belakangan ini, muncul adanya putusan MK yang tidak ditindaklanjuti oleh organ Negara pembentuk Undang-undang (DPR dan presiden) atau dari addressat putusan. Hal ini, senada dengan yang di sampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, yang menyatakan kondisi sistem peradilan Konstitusi di Indonesia masih mengkhawatirkan. Sebab menurutnya, sejauh ini kurang lebih masih ada 24 putusan MK yang tidak dipatuhi. Merujuk pada hasil penelitian yang ditulis oleh tiga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti pada tahun 2019 dengan judul “Constitutional Compliance Atas Putusan Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi oleh Adressat Putusan”.

Penelitian itu, mencari kebenaran ilmiah terkait dengan tingkat kepatuhan adressat putusan terhadap 109 Putusan MK pada kurun waktu 2013 hingga 2018. Meskipun hasil penelitian itu mencatat tingkat putusan yang mayoritas dipatuhi seluruhnya yaitu sebanyak 59 putusan atau sebesar 54,12 %, sebanyak 6 atau 5,50% dipatuhi sebagian, tapi kenyataannya sebanyak 24 atau 22,01% yang tidak dipatuhi, sisanya 20 putusan atau 18,34% belum dapat diidentifikasi secara jelas dengan berbagai alasan.

Oleh sebab itulah, kekuasaan kehakiman khususnya MK dapat dipandang sebagai cabang kekuasaan Negara yang paling lemah (the least dangerous power, with no purse nor sword). Adanya putusan MK yang tidak dilaksanakan meskipun sudah bersifat final dan mengikat dikarenakan secara normatif, eksekutabilitas putusan MK dalam pengujian Undang-undang tidak diatur di peraturan perundang-undangan, dan secara kelembagaan tidak ada yang berwenang menjadi eksekutornya, karena sifat putusan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah “declaratoir constitutief”.

Baca Juga  Pendidikan yang Memerdekakan

Putusan MK sebagai hasil politik hukum yudisial selama ini, belum sepenuhnya ditransformasikan dan diimplementasikan oleh pembentuk Undang-undang sebagai bagian dalam politik hukum legislasi. Kelemahan dalam hal kekuatan eksekutorial tersebut, jika tidak segera ditindaklanjuti oleh addressat putusan akan merugikan pencari keadilan. Selain itu, akan menghambat agenda ketatanegaraan, merusak ekosistem pemilu dan proses kelangsungan demokrasi.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan beberapa putusan MK tidak implementatif adalah karena pelaksanaan putusan-putusan MK sangat tergantung pada kesadaran etis, dan ketaatan para pihak terkait serta adanya arogansi dari masing-masing organ Negara yang menjadi addressat putusan. Atau ada kepentingan dan agenda politik besar yang dipaksakan. Dalam artian, secara politik putusan MK yang berseberangan dengan kepentingan penunjukan penjabat kepala daerah di tahun ritual politik mendapatkan tantangan tersendiri.

Harus diakui faktor lain yang mempengaruhi putusan MK tidak dilaksanakan adalah Mahkamah Konstitusi tidak memiliki aparat, dan kelengkapan apapun untuk menjamin penegakan putusannya. Tidak ada organ penegak hukum seperti polisi atau juru sita pengadilan atau instrumen hukum lain untuk melaksanakan apapun, yang diputuskan MK atau yang menurut putusan tersebut harus dilaksanakan.

Selain itu alasan-alasan yuridis yang membuat putusan MK tidak dipatuhi. Misalnya dalam konteks sekarang putusan MK terkait masa jabatan 7 kepala daerah, jika tidak akan dipatuhi oleh pemerintah karena kemungkinan dinilai bertentangan dengan asas retroaktif, yaitu hukum tidak boleh berlaku surut. Mengingat mekanisme Pengusulan calon Penjabat gubernur Maluku telah berjalan, sehingga dengan adanya putusan tersebut tidak serta merta menganulir tahapan Pengusulan nama penjabat Gubernur dan Bupati/Walikota yang tengah berlangsung.

Contohnya, Putusan MK pada tanggal 22 November 2012 terkait norma Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) tidak berlaku surut. Sebab, selain asas retroaktif ketentuan Norma Pasal 58 Undang-undang MK mengindikasikan bahwa putusan MK berlaku ke depan atau prospektif. Meskipun secara teoritis dan yuridis, putusan retroaktif sebenarnya dilarang, namun pada faktanya juga MK pernah implementasikan putusan MK Nomor 110-111-112-113/PUUVII/ 2009, secara retroaktif atau memberlakukan putusan tersebut ke belakang.

Jadi, terlepas dari putusan inkonstitusional bersyarat terkait dengan masa jabatan 7 kepala daerah, langsung dapat dikatakan berlaku secara langsung (self-implementing/self-executing) atau tidak langsung berlaku (nonself-implementing/self-executing).

Maka, untuk memastikan kebenaran yuridisnya kita menunggu repson Mendagri sebelum tanggal 31 Desember 2023. Apakah Pemerintah dapat mematuhi putusan tersebut, dengan menunda proses dan penetapan penjabat kepala daerah, hingga menunggu sampai berakhir masa jabatan atau tidak patuhi putusan tersebut, dengan alasan-alasan sebagaimana yang disebutkan diatas.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia