Di Indonesia, istilah “ujaran kebencian” seringkali disalahpahami sebatas sebagai penghinaan, atau bahkan dipakai untuk membungkam kritik. Sebenarnya, apa itu ujaran kebencian dan bagaimana mengenalinya?
Oleh Faris Dzaki
Satu hal tentang ujaran kebencian yang selalu mengganggu pikiran saya (dan mungkin Anda juga), adalah betapa mudahnya konsep ini disalahpahami serta disalahgunakan. Konsep ini mulanya muncul untuk menghalau ekspresi berbahaya yang dapat merusak kebebasan berpendapat. Namun dalam praktiknya di Indonesia, ujaran kebencian seringkali disalahgunakan untuk membatasi pendapat.
Ternyata, tidak hanya saya yang merasa terganggu. UMATI, sebuah lembaga pemantauan ujaran kebencian dari Kenya, bahkan merekomendasikan masyarakatnya untuk terus menggelar diskusi publik yang membahas definisi ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat. UMATI menyadari, mayoritas dari masyarakat Kenya belum bisa membedakan ujaran kebencian dengan hinaan terhadap individu, propaganda, hingga komentar negatif terhadap politisi tertentu.
Susan Benesch dalam Dangerous Speech Project merumuskan lima variabel yang bisa membantu dalam mendefinisikan “ujaran berbahaya”, ujaran yang berpotensi memobilisasi diskriminasi dan kekerasan. Formulasi Benesch ini dijadikan rujukan oleh UMATI dalam memetakan persebaran ujaran kebencian. Lima variabel ini dapat menjadi panduan kita untuk membedakan apa itu ujaran kebencian yang berbahaya dan apa itu kritik yang perlu dilindungi.
1. Pesan
Sebuah ujaran dapat dikategorikan sebagai berbahaya jika dapat secara langsung dimaknai sebagai ajakan pada khalayak untuk melakukan tindak kekerasan.
Setidaknya ada tiga penting yang perlu diperhatikan untuk mengidentifikasi apakah sebuah ujaran mengandung pesan yang berbahaya. Pertama, apabila ujaran tersebut ditujukan pada sekelompok orang, dan bukan pada individu. Seperti halnya ujaran kebencian, ujaran berbahaya merendahkan manusia dengan landasan identitas kelompok, seperti agama, ras, identitas gender, atau kondisi tubuh.
Poin berikutnya adalah, ujaran berbahaya dapat mengandung tiga pilar genosida. Tiga pilar ini antara lain, menyamakan sebuah kelompok sebagai binatang atau hama, meyakinkan khalayak bahwa ia berada dalam sebuah ancaman kekerasan, dan meyakinkan khalayak bahwa kelompok lain dapat merusak kemurnian dan integritas kelompok si pembicara.
Poin ketiga, terdapat ajakan untuk melakukan kekerasan pada kelompok lain. Ajakan ini bisa berupa ajakan untuk mendiskriminasi, menjarah, membuat kerusuhan, memukuli, mengusir paksa, dan bahkan membunuh.
Ketiga hal ini dapat kita temukan misalnya dalam wacana anti LGBT seperti dalam berita ini. Syamsul Yusuf, seorang dengan titel profesor yang tak dapat ditemukan jejak digitalnya, mengatakan bahwa LGBT adalah hama perusak moral bangsa. Ia juga menganjurkan penerapan hukum yang diskriminatif di dunia pendidikan kepada komunitas LGBT.
2. Figur
Figur yang menyerukan ujaran berbahaya juga perlu diperhatikan. Pengaruh atau otoritas yang dimiliki seorang tokoh terhadap masyarakat bisa menjadi salah satu faktor penting yang mengubah ujaran berbahaya menjadi tindak kekerasan. Pengaruh dan otoritas seseorang bisa berasal dari berbagai hal, dari karisma pribadi, status sosial dan ekonomi, hingga jabatan. Figur berpengaruh ini pun tak terbatas pada figur publik seperti tokoh politik, agama, budaya, seni, dan selebritis. Keluarga dan teman dekat pun kadangkala lebih berpengaruh bagi kita dibanding tokoh populer.
Dalam tragedi kekerasan terhadap etnis Rohingya, ujaran berbahaya disampaikan oleh seorang politisi yang tidak terlalu populer, Nay Myo Wai (Stick and Stones, 41/62). Meskipun partainya tidak mengisi bangku parlemen, Ia memiliki kedekatan dengan masyarakat korban penggusuran, terutama kelompok yang telah memiliki sentimen anti-Muslim. Pada Mei 2015, Ia mengunggah gambar-gambar bambu runcing sebagai pendamping pesan dalam caption “untuk menghadapi mereka (Rohingya) secara langsung”.
Unggahan ini merupakan bentuk ujaran berbahaya yang berasal dari figur berpengaruh. Popularitas May Myo Wai memang tidak signifikan, namun kedekatannya dengan khalayak mampu membuat ujaran berbahaya ini berubah menjadi kekerasan yang nyata.
3. Khalayak
Variabel ketiga adalah khalayak. Dalam menganalisis khalayak, kita perlu memperhatikan bahwa ujaran berbahaya menawarkan kekerasan sebagai jawaban dari keresahan khalayak. Maka dari itu, pemantauan dapat dilakukan dengan memerhatikan keresahan yang dialami khalayaknya. Pertanyaan kuncinya adalah: apakah keresahan tersebut dapat digunakan sebagai celah bagi pembicara untuk menanam kebencian?
Perlu diingat, beberapa ujaran kebencian menggunakan pesan yang implisit, menggunakan bahasa yang hanya dipahami antara si pembicara dan khalayaknya. Untuk memahami pesan-pesan implisit ini, kita perlu melihat hubungan pesan dengan variabel pemantauan lainnya.
Pada kasus terorisme Chirstchurch misalnya, Brendon Tarrant si pelaku, menyebarkan sebuah manifesto bertajuk “The Great Replacement” melalui Twitter. Meski ada ujaran berbahaya yang eksplisit dalam manifesto tersebut (dengan menyebut muslim sebagai “penjajah” misalnya), ujaran-ujaran yang secara langsung ditujukan pada khalayak sebenarnya adalah shitposting melalui forum 8chan.
Dalam budaya internet, shitposting dikenal sebagai tindakan mengunggah konten dalam jumlah yang banyak dan bernada ironis, untuk memicu reaksi emosional. Tarrant menggunakan shitposting sebagai distraksi untuk menghindari terjadinya diskusi yang produktif dengan khalayak luar kelompok, sembari memicu reaksi emosional dari kelompoknya sendiri.
4. Konteks
Ketegangan antar kelompok yang dilatari konteks sejarah maupun sosial maerupakan variabel penting dalam mendeteksi ujaran berbahaya. Seseorang dapat mengambil peristiwa sejarah sebagai acuan untuk mengenang dan mengulang kekerasan pada kelompok tertentu.
Acuan sejarah sebagai bentuk ujaran berbahaya dapat terlihat dalam kolom komentar video bertajuk “Parah, ORANG CINA Menghancurkan Rumah Pribumi”. Video tersebut berisi footage seorang pria beretnis Tionghoa yang terlihat marah dan mencaci warga dalam sebuah peristiwa penggusuran. Namun, tidak ada narasi maupun konteks lebih lanjut yang menemani video tersebut selain kalimat provokasi dalam judul.
Komentar teratas yang terdapat dalam video tersebut berbunyi “Gw berharap tahun 98 terulang lagi… NKRI harga mati!!!!!”. Komentar ini disukai oleh 47 akun, dan dikomentari oleh setidaknya 7 balasan. Melihat hubungan antara pesan di judul video, dapat disimpulkan “tahun 98” yang dimaksud pembicara adalah kekerasan terhadap etnis Tionghoa yang terjadi sepanjang 1998-1999. Hubungan teks dan konteks menunjukkan komentar ini sebagai bentuk ujaran berbahaya.
5. Medium
Medium adalah variabel penting yang mempengaruhi seberapa cepat, luas, Dan efektif persebaran ujaran berbahaya. Hasil pemantauan UMATI menunjukkan, kanal seperti grup facebook cenderung lebih banyak digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian dibandingkan Twitter. Hal ini dikarenakan sistem algoritma Facebook dapat menciptakan ruang gema, di mana pengguna lebih jarang bersinggungan dengan pandangan yang berbeda memngenai suatu isu. Kurangnya dialog antar pandangan dapat mempermudah ujaran kebencian untuk tumbuh menjadi kekerasan.
Dalam kasus kekerasan pada etnis Rohingya di Myanmar misalnya, grup-grup Facebook menjadi medium berpengaruh pada persebaran seruan untuk mendiskriminasi, mengusir dan membakar tempat tinggal penduduk Rohingya.
Di Indonesia, Youtube juga menjadi salah satu medium penyebaran kebencian yang populer. Misalnya dalam sentimen kebencian terhadap warga Tionghoa, pelaku kerap mengungkit tragedi-tragedi kemanusiaan dalam sejarah Indonesia yang menelan banyak korban. Sebuah kanal youtube bernama Cokin Cipit misalnya, mengunggah potongan-potongan gambar dengan judul-judul seperti “1998 – Cina Menangis Toko Dibakar” atau “Pribumi Usir Cina 1965-1967”. Pada akun tersebut, konteks sejarah kekerasan pada kelompok etnis Tionghoa digunakan sebagai acuan untuk mendukung narasi anti-Cina yang dijelaskan dalam narasi-narasi di video lain dalam kanal tersebut.