Memanusiakan Kaum Buruh dan Tanggung Jawab Negara

0
1886

Oleh: Gilang Kelyombar

Peringatan Hari Buruh Sedunia tentu saja perlu menjadi bahan refleksi kita bersama sebagai sebuah bangsa, terutama dalam memperlakukan kaum buruh.

Selama ini buruh kerap diperlakukan kurang manusiawi. Ada banyak kasus yang memperlihatkan pada kita betapa menjadi buruh itu ibarat menjadi warga kelas dua, atau di-level bawah.

Padahal buruh bukan kerbau yang selalu salah, dan pemerintah termasuk pengusaha bukan dewa yang selalu benar. Semuanya bernaung di bawah negara.

Keberadaan dan peran buruh selaku warga negara Indonesia, sama dan setara dengan profesi lainnya. Untuk itu sudah sepatutnya kaum buruh jangan terus dipandang dengan “sebelah mata”.

Gaya marjinalisasi terhadap warga negara, terutama kepada kaum buruh sesungguhnya adalah sikap pembangkangan sekaligus perlawanan terhadap eksistensi sebuah negara demokrasi.

Padahal, kehadiran negara demokrasi itu muaranya adalah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan terhadap seluruh warga negaranya, tanpa terkecuali.

Namun pada kenyataannya, Indonesia sebagai negara demokrasi, tetapi dalam perjalanan praktiknya justru para elite di negara, termasuk di Maluku ini belum sepenuhnya mengaktualisasikan tujuan dari demokrasi itu sendiri.

Misalnya eksistensi dan peran buruh. Aneka masalah kerap muncul dan menimpa (mengorbankan) kaum buruh. Para buruh sering jadi korban akibat lahirnya regulasi dan kebijakan pemerintah yang sering melemahkan eksistensi kaum buruh itu sendiri.

Selain oleh negara atau pemerintah, upaya pengebirian dan tindakan kesewenang-wenangan itu pun mudah dilakukan oleh oknum pengusaha (perusahaan) terhadap kaum buruh.

Pelanggaran terhadap hak-hak buruh bukan merupakan ihwal baru. Masalah ini sudah lama berlangsung dari orde ke orde hingga sekarang.

Pratiknya masif, terstruktur dan sistematis. Buruh sering jadi korban kesewenang-wenangan pemerintah maupun oknum pengusaha.

Bentuknya mulai PHK sepihak, pemberangusan serikat pekerja, sistem perbudakan modern (outsourcing), dan upah murah termasuk pengabaian jaminan sosial, adalah kompleksitas masalah yang dialami para buruh di Indonesia termasuk di wilayah Maluku.

Padahal kaum buruh juga memberi andil dan pendapatan bagi negara atau daerah, terutama dari segi pembayaran pajak dan lainnya. Hak-hak buruh tak seharusnya diabaikan begitu saja.

Baca Juga  LIN dan ANP Belum Jelas Realisasinya, Perlu Ada Pengembangan Industri Lain Berbasis SDA Maluku

Banyak laporan tentang pelanggaran hak normatif buruh, faktanya masih kerap diabaikan oleh lembaga hukum di Republik ini. Misalnya pemberian upah murah dan jam kerja yang tidak sesuai ketentuan.

Saat ini masih ada perusahaan yang memberikan upah buruh antara Rp 700.000 hingga Rp 1.000.000, atau paling tinggi Rp 1.500.000. Padahal, nilai yang seharusnya, minimal sebesar sesuai UMP dan UMK adalah di atas Rp 2.000.000,-

Begitu pula PHK terhadap pekerja (buruh). Mereka kadang harus mencari perlindungan ke instansi pemerintah seperti Dinas Tenaga Kerja Provinsi maupun Kabupaten dan Kota. Namun ada saja konspirasi, sehingga buruh maupun organisasi serikat buruh harus pontang-panting dalam advokasi.

Deretan peristiwa terhadap kaum buruh yang pernah muncul di hadapan publik menjadi sebuah tanda tanya besar akan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia, termasuk di Maluku.

Refleksi Peringatan Hari Buruh

Setiap 1 Mei, diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia yang dikenal juga dengan istilah “May Day”. Dari sejarahnya “May Day” berasal dari aksi buruh di Kanada pada 1872 untuk menuntut diberlakukannya delapan jam kerja sehari.

Kemudian sejak 1886, 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Sedunia oleh Federation of Organized Trade and Labor Unions.

Secara umum, urgensi dari May Day diperingati sebagai momentum bagi kaum buruh untuk memperjuangkan nasibnya dengan menyuarakan aspirasi terhadap kebijakan di bidang ketenagakerjaan yang ditetapkan pemerintah.

Salah satu isu yang mencuat pada 2006 adalah rencana revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Disusul lagi pembuatan UU Cipta Kerja yang kontroversial.

Gelombang protes di mana-mana, di berbagai pelosok Tanah Air menolak pemberlakuan produk atau aturan tersebut karena dinilai sangat mengabaikan kaum buruh.

Sampai-sampai pemerintah meminta pakar hukum perburuhan dari lima perguruan tinggi ternama di Indonesia untuk mengkaji ulang UU, meski sampai kini tidak jelas kelanjutan dari rencana tersebut.

Baca Juga  Referendum Untuk Nusantara: Menemukan Kembali Fakta Sejarah yang Dihilangkan dan Dilupakan

Sejumlah aturan dibuat terkait ketenagakerjaan. Diantaranya UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Begitu pula UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang bertujuan meningkatkan perlindungan hukum kepada pekerja. Dan terbaru adalah UU Cipta Kerja.

Standar perlindungan hukum sampai sekarang masih menjadi “tanda tanya” bagi kaum buruh, karena terjadi multiinterpretasi.

Buruh dan apalagi penganggur atau lost job terus mengalami kesulitan dalam mengarungi kehidupan karena tingkat upah dan keterampilan rendah.

Penganggur masih menghadapi berbagai kendala untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kehidupannya.

Nelayan tradisional kalah akibat perkembangan teknologi, mereka justru menjadi penonton dan bahkan korban kemajuan teknologi tersebut. Itu karena tingkat penguasaan akan cara tangkap dan lain sebagainya masih minim.

Kelompok marginal di perkotaan atau urban pun mengalami kesulitan guna bertahan hidup. Bahkan sering menjadi persoalan bagi pemerintah hingga bisa diketahui oleh dunia luar.

Refleksi peringatan Hari Buruh kali ini sebaiknya dapat jadikan sebagai momentum kebangkitan transformasi Indonesia ke arah yang lebih baik dengan pandangan yang arif dan lebih menyeluruh.

Tuntutan buruh kelihatannya perlu dipandang dan dikaji dengan kecerdasan, bukan melalui tawar menawar di bawah meja (under table). Jangan hanya dari sisi revisi UU Ketenagakerjaan.

Sebab diketahui bersama setiap produk UU yang dibuat dan diberlakukan di negara ini ada saja kelemahan dari sisi penerapan. Terutama ketika aturan dimaksud diberlakukan.

Regulasi yang dibuat dari sisi kepentingan patut mengakomodir (tidak boleh mengebiri) hak-hak buruh, pengusaha, pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya.

Perlu digaris bawahi, setiap pembuatan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di samping peralihan perundang-undangan lainnya harus mengikuti hirarki yang ada atau dianut oleh negara ini.

Artinya, dalam membuat regulasi khususnya di dunia ketenagakerjaan, sudah seharusnya dilakukan secara komprehensif dan objektif serta memiliki nilai intelektual dan mempertimbangkan kondisi daerah masing-masing.

Baca Juga  Politik Dinasti, Hasilkan Ketidaksetaraan Hak Politik, Serta Ancaman Eksistensi Demokrasi

Produk UU hingga peraturan di bawahnya jangan saling tabrak satu sama lain. Relevansi aturan harus dikedepankan. Sebab itu bagian dari antisipasi terhadap perubahan yang sering muncul begitu cepat.

Pemerintah perlu menginventarisir serta mengkaji dan merumuskan secara matang ketentuan yang ada, sehingga bisa meningkatkan kesempatan kerja, kesejahteraan buruh dan iklim berusaha yang kondusif di negeri ini.

Dalam memperjuangkan nasib kaum buruh, pengangguran, petani, nelayan dan kaum marginal di perkotaan dapat ditempuh melalui berbagai upaya. Misalnya; membangun sistem jaminan sosial nasional yang memiliki liputan yang lebih luas.

Khusus Badan Jaminan Sosial Nasional sebagai lembaga penyelenggara yang bersifat nirlaba sudah seyogyanya dikelola secara profesional.

Sebab melalui lembaga ini berbagai kegiatan pembangunan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi untuk menciptakan lapangan kerja, sekaligus penyebaran penduduk dan usaha secara rinci. Konsepsi untuk ini perlu dipersiapkan secara baik.

Kaitannya dengan itu, penataan dan pembangunan dunia birokrasi pemerintahan harus lebih baik. Dalam sistem pembiayaan perlu ditransformasi bersama aparatur, agar bisa berperan efektif dan efisien.

Termasuk melakukan inventarisasi aset perusahaan swasta, BUMN/BUMD dan unit usaha lainnya agar dapat bersinergi satu dengan yang lain seperti amanat Pasal 33 UUD 1945.

Pelaksanaan sistem manajemen pemerintahan harus berjalan sesuai koridor (ketentuan) yang sebenarnya. Apalagi semangat kehadiran otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

Pembagian kewajiban dan kewenangan yang berkeadilan melakukan kajian sistem ketatanegaraan di tingkat daerah harus benar-benar menjiwai semangat Pancasila dan UUD 1945. Karena buruh bukan babu yang harus diberlakukan secara tidak wajar. Sudah saatnya pemerintah mengangkat harkat dan martabat kaum buruh.

Penulis adalah Ketua DPC KSBSI Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), aktif di Komunitas Penulis Maluku