“Pola relasi yang keliru seperti memberi uang dan hadiah perlu ditinggalkan, diganti dengan pendidikan politik yang berorientasi pada gagasan bagaimana memperjuangkan aspirasi dan kepentingan konstituen.”
Oleh: M. Ikhsan Tualeka
Kecemasan politik publik di Maluku belum benar-benar terhapus, setelah melalui proses pemilihan kepala daerah (pilkada) yang terasa menegangkan. Kini publik kembali disibukan dengan hiruk-pikuk pelaksanaan kampanye pemilu legislatif yang akan berjalan hingga jelang hari pemilihan.
Di Maluku, seperti juga di daerah lain, partai politik (parpol) kontestan pemilu sudah pasang kuda-kuda. Sosialisasi daftar dan nomor urut calon legislator (caleg) dilakukan. Menjadikan caleg tak kalah sibuknya. Bagi yang memiliki kemampuan, kapasitas dan integritas untuk menjadi wakil rakyat, bukan masalah diusung oleh parpol manapun.
Akan menjadi masalah jika caleg yang maju adalah politisi takajo (kaget) alias politisi karbitan, atau politisi kutu loncat, termasuk juga mereka yang memiliki jejak rekam atau track record buruk yang sering diistilahkan politisi busuk. Menjadi masalah karena terbuka peluang lembaga legislatif baik di level lokal maupun nasional diisi kembali oleh politisi gagap.
Inilah yang mesti diwaspadai. Sebab proses dan siklus politik negeri ini masih membuka peluang bagi politisi takajo, maju dalam pemilu. Sistem politik ikut memberikan kontribusi besar bagi perilaku politisi dan parpol.
Tak lain karena sistem yang ada sekarang cenderung tambal-sulam, memberikan insentif terhadap stagnasi dan dekadensi parpol. Mudahnya pembentukan parpol dan longgarnya aturan yang mendukung pelembagaan dan pendewasaan parpol menjadi penyebab utama.
Munculnya sejumlah parpol baru yang belum memiliki tradisi dan rekrutmen caleg yang jelas, memungkinkan siapa saja bisa menjadi caleg. Memang ada keinginan sejumlah kalangan agar dibuat aturan bahwa parpol hanya boleh mencalonkan orang-orang yang memiliki kartu anggota dan telah menjadi anggota partai sekurang-kurangnya dua tahun. Tapi gagasan semacam itu sulit diwujudkan bila parpol kontestan pemilu justru baru berdiri satu tahun menjelang kampanye pemilu.
Padahal dengan mencalonkan caleg yang sekurang-kurangnya telah dua tahun menjadi kader partai, sangat diperlukan untuk mendorong penataan sistem kaderisasi dan akuntabilitas rekrutmen kepemimpinan politik. Dengan cara itu partai akan dipaksa untuk berbenah dan tidak sekadar menjadi batu loncatan bagi para pemburu kekuasaan.
Selain sistem politik yang perlu dibenahi, diperlukan upaya reformasi dalam diri parpol. Misalnya, dalam penyusunan daftar caleg perlu pembagian yang seimbang antara pilihan partai (party vote) dengan keinginan rakyat (popular vote).
Hal ini diharapkan mampu mendorong transparansi, akuntabilitas dan demokrasi internal dalam parpol. Karena sistem ini dapat ’memaksa’ politisi dan partainya untuk semakin dekat dan akuntabel terhadap konstituen.
Kemudian upaya mengurangi ongkos politik (political cost) penting juga dilakukan. Proses politik memang membutuhkan ongkos yang tidak sedikit, tapi bukannya tidak bisa dikurangi. Politisi dan parpol dapat mengurangi ongkos politik dengan lebih mengedepankan kemampuan intelektual dan gagasan cerdas dalam menghimpun pemilih atau mempengaruhi konstituen.
Pola relasi yang keliru seperti memberi uang dan hadiah perlu ditinggalkan, diganti dengan pendidikan politik yang berorientasi pada gagasan bagaimana memperjuangkan aspirasi dan kepentingan konstituen. Dengan demikian persaingan antara politisi-partai dapat digeser pada persaingan gagasan dan wacana, bukan lagi materi.
Selain faktor internal yang disebutkan diatas, faktor eksternal juga mujarab mendorong reformasi parpol. Sebab upaya internal yang bertumpu dari dalam kerap hanya menghasilkan dandanan atau lipstick untuk mempercantik diri partai. Contohnya menolak mahar politik, tapi parpol masih sering mengabaikan mekanisme internal yang demokratis oleh elit partai.
Sejumlah partai justru tampil begitu sentralistik dalam pengambilan kebijakan internal dan mengabaikan arus bawah. Dalam kenyataannya, demokrasi yang didorong dari luar cenderung lebih lugas mengubah paradigma kepartaian secara menyeluruh, sebab taruhannya adalah hidup mati partai itu. Sedangkan reformasi internal cenderung hanya berkutat pada urusan hidup mati elit partai saja.
Dorongan dari luar dapat dilakukan oleh media massa dan konstituen. Media massa dengan pemberitaan yang kritis dan berimbang tentang kiprah politisi dan parpol dapat menjadi alat kontrol yang kuat agar partai lebih mengedepankan kepentingan konstituen jika tak mau ditinggalkan.
Keterlibatan konstituen dalam parpol dan proses-proses politik juga sangat besar pengaruhnya dalam mendorong reformasi parpol. Semakin dalam dan luas partisipasi publik akan semakin mendorong parpol untuk berbenah. Dengan demikian partai akan lebih dipaksa untuk terbuka dan relevan dengan keinginan pemilihnya.
Inilah yang diharapkan. Dengan pembenahan parpol, baik oleh faktor internal maupun eksternal, peluang caleg takajo semakin dipersempit. Peluang politisi seperti ini harus diperkecil. Politisi takajo dalam berebut kedudukan seringkali hanya bermodal ‘tampang’, mudah obral janji dan sibuk tebar pesona kesana-kemari.
Getol bicara visi dan misi tapi sering kedodoran jika ditanya soal program kongkrit yang bisa ditawarkan dan diperjuangkan untuk masyarakat. Dalam meraih simpati rakyat, politisi takajo kerap hanya mengandalkan poster, spanduk dan stiker ketimbang turun di basis massa dan bicara substantif tentang upaya perbaikan nasib rakyat.
Nah, pertanyaannya adalah, apakah hal yang sama masih efektif dipakai oleh caleg takajo dalam pemilu 2019 ini, di tengah belum tuntasnya reformasi parpol? Tentu tidak bisa buru-buru menjawab ya. Sebab, sejak beberapa episode pemilu sebelumnya sebagian publik sudah semakin pintar.
Publik juga telah mencatat apa saja yang dulu telah dijanjikan kaum politik, terutama legislator-partai yang gagal menjadi jembatan aspirasi. Publik tahu apa yang lantas benar-benar diperbuat oleh partai dan wakil mereka di parlemen –tak sesuai janji.
Jadi kalau para pengincar jabatan tahun ini mulai obral janji, tebar pesona, dan buat slogan –dalam psikologi hal itu disebut jalur periferal guna meyakinkan pihak lain– siap-siap saja mendapat respon lain. Publik muak dengan cara pinggiran (periferal) itu.
Publik menuntut yang lurus-lurus saja; yang benar-benar masuk akal. Ekspresi tuntutan dan sikap publik yang mendambakan wakil rakyat ’baru atau lain’ dari model-model yang sekarang ada. Boleh jadi yang baru itu –baru dalam arti tidak tercemar ’kotoran’ politik kini dan lalu.
Demokrasi memungkinkan rakyat membuat perubahan itu. Namun demokrasi juga bisa membuat rakyat mendapat pemimpin atau legislator yang tak seindah kemasannya. Janji tegas ternyata memble. katanya adil ternyata pilih kasih. Mengaku bersih ternyata korup. Bilang aspiratif ternyata punya interes. Katanya mau kerja keras demi rakyat ternyata sering tebar pesona –datang, duduk, diam, duit.
Ya, itulah legislator takajo yang juga bisa dihasilkan oleh demokrasi. Sebaliknya demokrasi pula yang dapat mencegah politisi model ini bertahta lagi –diganti oleh mereka yang berpengalaman dan dapat menjadi jembatan aspirasi publik.
Semoga siklus politik (baca:pemilu) kali ini lebih bermakna, dengan senantiasa memantau, menimbang, menghitung, dan mengevaluasi kerja mereka yang sekarang menjadi wakil rakyat. Bagi yang tidak memperjuangkan kepentingan publik secara konsisten, jangan dipilih lagi. Sama halnya bagi caleg yang hanya bermodalkan finansial dan tanpa ada peran yang kuat di masyarakat (takajo), juga jangan dipilih.
Pilihlah mereka-mereka yang selama ini telah dan mau memperjuangkan kepentingan publik tanpa pamrih, yakni para aktivis, intelektual, profesional, pekerja sosial dan politisi otentik. Hanya melalui cara inilah, kita bisa membangun parlemen, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkualitas dan berkiblat pada kepentingan publik.(*)
Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC)