Mena-Muria: Sebuah Tafsir Simbol Budaya

0
15343

Oleh :  Steve Gaspersz

TABAOS.ID,- Pujian hingga kritikan dilontarkan oleh warga masyarakat Maluku tentang symbol budaya “Mena Muria”. Kebanyakan dari komentar maupun tanggapan masyarakat berujung pada tafsir yang negative yang seakan dihubungkan dengan salam kemerdekaaan dari Republik Maluku Selatan (RMS). Tentunya  budaya bertutur yang telah ada sejak ribuan tahun ini menjadi hantu dan momok bagi generasi dan masyarakat Maluku untuk mengucapkan. Dibawah ini Steve Gaspersz seorang penulis dan juga dosen menulis pada blog pribadinya tentang sapaan Mena Muria dengan judul  “Mena Muria : Sebuah Tafsir Simbol Budaya”. Diharapkan denagan tulisan ini, bisa masyarakat Umumnya, Khususnya Masyarakat Maluku bisa memahami arti dari symbol budaya yang telah turun temurun ini.  

Didalam setiap kebudayaan, manusia menciptakan, melakukan, dan terbelit dalam jejaring simbol-simbol yang senantiasa membutuhkan tafsir dan pemaknaan. Jejaring simbol-simbol yang paling rumit tetapi mengasyikkan adalah “bahasa”. Di dalam bahasa, manusia melakukan pertukaran simbol-simbol dalam suatu sistem makna yang disepakati (konsensus). Konsensus tersebut memungkinkan bahasa menjadi media komunikasi. Keberalihan atau distorsi sistem makna yang disepakati akan menimbulkan produk tafsir yang berbeda. Tafsir yang berbeda akan memengaruhi respon yang tidak diharapkan karena dianggap berada di luar kerangka konsensus simbolik. Nah, jika distorsi makna ini tidak terjembatani dalam proses translasi yang memadai maka manusia selalu berada dalam apa yang disebut Paul Ricoeur sebagai conflict of interpretation.

Dengan konstatasi tersebut, tulisan ini hendak membidik simbol “mena-muria” sebagai suatu konstruksi budaya yang mesti diarahkan pada konsensus sistem makna yang komunikatif. Fragmentasi “mena-muria” hanya pada kapling ideologis yang dicecarkan secara sepihak – dalam hal ini oleh negara – kepada komunitas tertentu – dalam hal ini orang Maluku dan hantu RMS – hanya menggiring kepada pemerkosaan “tubuh” budaya tetapi abai pada “roh” budaya dalam konstruksi identitas kemalukuan. Maksudnya, “mena-muria” hanya terpahami dalam wadag kulturalnya, sementara sistem makna dan daya simboliknya tercecer dalam episteme yang dangkal.

Baca Juga  Gubernur Maluku Jelaskan Keistimewaan Pulau Banda Naira Dalam Pembukaan Festival Hatta–Sjahrir 2021

Mena-Muria sebagai Pandangan Dunia

Menetapkan arti harfiah “mena-muria” tidaklah mudah, setidaknya bagi saya pribadi. Kesulitannya lebih terletak pada ketercerabutan diri dari khazanah budaya lokal yang terekspresi melalui bahasa “asli” (bahasa tanah). Dalam arti itu, saya merasa teralienasi dari kemalukuan yang memberi cita-rasa budayanya dalam ekspresi bahasa. Apa yang saya peroleh hanyalah penggalan “mena” yang berarti “maju/muka”, dan “muria” yang berarti “belakang”. Sementara kesatuan maknanya tak jelas. Ada yang mengartikannya “siap muka-belakang”; “maju terus jangan mundur”; “berjuang sampai mencapai tujuan di depan”; “melihat ke depan sambil belajar dari yang lalu”, dll. Sebagai hasil tafsir simbolis, arti-arti itu bisa saja diterima.

Kepelbagaian arti “mena-muria” itu pun bisa dipahami sebagai luwesnya idiom itu digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Namun demikian, dari arti-arti tersebut di atas “mena-muria” menggambarkan suatu konstruksi realitas yang dibahasakan dalam ungkapan-ungkapan tertentu. Bukan hanya untuk menyatakan suatu pesan, melainkan juga menyingkapkan suatu pandangan dunia (worldview) tertentu. Pandangan dunia adalah suatu daya konstruktif manusia untuk menyederhanakan kompleksitas realitas dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang simple and acceptable dalam suatu komunitas. Suatu model realitas yang di dalamnya manusia melibatkan eksistensinya. Model-model itu bisa kita lihat dalam mitos-mitos, cerita-cerita rakyat, idiom-idiom budaya, lagu-lagu rakyat.

Dalam kerangka pikir itu, “mena-muria” hanyalah satu dari sekian banyak idiom budaya di Maluku, seperti: sagu salempeng dipata dua, ale rasa beta rasa, potong di kuku rasa di daging, dll. Apa yang nampak dari idiom-idiom budaya tersebut, termasuk “mena-muria”, merupakan pemaknaan kreatif terhadap realitas. Dalam antropologi budaya, konstruksi realitas semacam itu disebut oposisi biner (dua yang berlawanan). Tetapi saya lebih merujuk kepada pendekatan Homi Bhabha yang melihat dekonstruksi sebagai kritik untuk menggagas kembali oposisi biner yang terlampau disederhanakan sebagai “penjajah” dan “terjajah” sekaligus untuk mempertanyakan anggapan-anggapan metodologis dari para teoritisi pascakolonial. Bhabha mengajukan model liminalitas untuk menghidupkan “ruang” persinggungan antara teori dan praktik kolonisasi – suatu ruang yang tidak memisahkan tetapi sebaliknya menjembatani hubungan resiprokal antara teori dan praktik. Dengan menyandingkan keduanya, Bhabha berusaha menemukan pertautan dan ketegangan antara keduanya yang melahirkan hibriditas.

Baca Juga  Malam Renungan Suci oleh Pemkot Ambon, Penghormatan untuk Arwah Kapitan Pattimura

Dalam Key Concepts in Post-Colonial Studies, dijelaskan bahwa liminalitas (Bhabha) menjadi penting dalam teori pascakolonial karena kesahihannya dalam mendeskripsikan suatu “ruang antara” di mana perubahan budaya dapat berlangsung. Suatu ruang antarbudaya di mana strategi-strategi kedirian personal maupun komunal dapat dielaborasi, suatu wilayah di mana terdapat proses gerak dan pertukaran status yang berbeda-beda yang terus-menerus. Identifikasi semacam itu memang bukan sekadar gerak-pindah sederhana dari satu identitas ke identitas yang lain, identifikasi ini adalah proses keterlibatan, kontestasi dan penyesuaian. Bhabha menghindari oposisi biner yang konfrontatif atau saling menaklukkan. Ia malah menawarkan suatu ruang ambang (liminal) yang mampu berperan sebagai ruang untuk interaksi simbolik. Ruang antara atau ketiga itu adalah: Teks!


Hermeneutik Teks “Mena-Muria”

Hermeneutik yang dimaksud di sini tidaklah sebatas “tafsir”, melainkan – mengikuti Ricouer – interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan secara linguistik. Di sini ditegaskan keharusan untuk mempertimbangkan bahasa sebagai peristiwa (parole), yang ditambahkan kepada bahasa sebagai sistem tanda (langue). Jika “mena-muria” ditempatkan dalam kerangka parole maka pada dirinya terkandung cetakan-cetakan memori peristiwa yang menjadikannya sebagai “sejarah”; yang dianggap pernah terjadi tanpa memastikan aktualitasnya di masa lampau. Inilah yang oleh Roland Barthes disebut sebagai “mitos” – mitos bukanlah kebohongan atau pengakuan, melainkan pembelokan. Agar mitos itu manjur maka ia harus tampak sepenuhnya alami; pesan mitos tidak perlu ditafsirkan, diuraikan atau dihilangkan.

Memahami “mena-muria” sebagai mitos mesti ditempatkan dalam kerangka interpretatif budaya bahwa konsep ini bukanlah sekadar ungkapan. “Mena-muria” lebih merupakan refleksi kesadaran sosio-historis yang membuka space (ruang) bagi pertemuan unsur-unsur kultural yang berkonflik; bukan hanya sekadar place (tempat). Pada “ruang” inilah mena-muria menjadi titik konvergensi matra-matra kultural yang hidup dan berkonflik. Suatu arena bagi perjumpaan, percakapan, keterbukaan, untuk menghadirkan (bukan sekadar menerima) “yang lain”. “Yang lain” itu berbahaya dan mengancam ketika belum menjadi bagian dari eksistensi “kita”; tetapi “yang lain” itu tidak ditolak. “Yang lain” itu diserap menjadi “kita”, sehingga ancaman itu dijinakkan. Di situlah saya melihat pemaknaan “mena-muria” ketika diejawantahkan menjadi “siap muka-belakang”. Bukan dalam arti konfrontatif, melainkan akomodatif. Inklusi bukan eksklusi.

Baca Juga  Peringati Hari Pattimura Pemkot Ambon Gelar Upacara Kehormatan dan Renungan Suci

Bahwa kemudian “mena-muria” didistorsi pada sebagai bahasa politik, ini menjadi persoalan dalam sistem tanda (langue). Ferdinand de Saussure mengatakan bahwa bahasa itu selalu berubah. Bahasa tidak berubah sesuai dengan keinginan para individu, tetapi berubah dalam waktu dengan cara yang tidak tergantung pada kehendak para penuturnya. Di situ saya melihat bahwa “mena-muria” tidak bisa dibekukan hanya pada satu kutub di antara ekstrem “hitam” dan “putih”, “nasionalis” dan “separatis”. “Mena-muria” mesti dipahami sebagai cara-mengada-dalam-bahasa yang merepresentasikan pandangan dunia orang Maluku. Pengurungan “mena-muria” dalam sangkar ideologis oposisi biner nasionalis-separatis hanyalah penundukkan kearifan lokal di bawah kekuatan “negara”. Kearifan lokal itu sendiri merupakan basis material dan ideal dari dinamika masyarakat sipil, yang pada gilirannya menjadi salah satu pilar berdiri-teguhnya suatu negara.

Jika demikian, menurut saya, kita sebaiknya memahami “mena-muria” sebagai suatu space untuk berdiskursus dengan bebas-merdeka sebagai manusia Indonesia. Kita tidak lagi terbelenggu oleh ketakutan dan pseudo-intelektualitas yang selalu menghindar karena kekuatan negara. Sebaliknya, menghayati “mena-muria” justru membuka ruang ambang bagi interaksi simbolik dalam ranah tafsir budaya di Maluku. Saya jadi berpikir, tidakkah spiritualitas budaya semacam ini yang menjadi kesepakatan kita berindonesia? Bahwa dalam keberbedaan, kita makin mengenali diri sendiri. Bahwa menerima “yang lain” adalah supaya kita semakin menjadi manusia sejati. Bahwa untuk maju (mena) tidaklah mungkin melepaskan masa lalu atau sejarah (muria). (T05)

Sumber : Tulisan ini diambil dari Blog Kabaresi milik Steve Gaspersz yang telah terbit pada tanggal 24 April 2008