Oleh: Olivia Chadidjah Salampessy/L
Membincangkan masyarakat adat berarti pula membincangkan perempuan masyarakat adat yang memiliki keteguhan dalam berjuang di garda terdepan merawat bumi dan menjaga kehidupan nusantara yang bhinneka. Tanah, sawah/ladang, kerajinan tangan lokal bahkan ritual adalah bagian dari identitas perempuan adat.
Termasuk pula dengan penyemaian bibit, pengolahan serta perawatan sawah/ladang hingga panen dan pengolahan konsumsi pasca panen menjadi bagian dari siklus hidup perempuan. Oleh karena itulah, siklus kehidupan perempuan adat kuat melekat berelasi dengan perawatan alam, termasuk menjalankan spiritualitas dan budaya yang bertumpu pada tanah.
Perempuan adat berperan penting menjaga nilai-nilai budaya dan merawat kearifan lokal. Dalam catatan Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2020 hingga paruhan kedua 2022, Komnas Perempuan telah menerima 13 laporan pengaduan tentang kondisi perempuan masyarakat adat dalam pusaran konflik sumber daya alam (SDA) di berbagai wilayah nusantara.
Di dalam laporan-laporan tersebut maupun hasil pantauan di lapangan, Komnas Perempuan mengenali kerentanan perempuan masyarakat adat pada kekerasan dan diskriminasi berbasis gender, lenyapnya lingkungan yang aman dan sehat, menghadapi polusi udara dan rusaknya tanah, sumber-sumber pertanian dan perkebunan sehingga kesulitan air bersih, kehilangan sumber penghidupan, berkurang istirahat berkualitas, terpapar penyakit seperti ispa, kulit gatal-gatal, depresi, dan lainnya.
Kondisi ini menguatkan temuan inkuiri nasional oleh Komnas HAM dan Komnas Perempuan (2016) berdasarkan pendalaman 40 kasus yang tersebar di tujuh wilayah di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua. Pola-pola kekerasan/pelanggaran hak asasi perempuan masyarakat adat yang ditemukan dalam inkuiri tersebut terus berulang hingga saat ini, antara lain:
Pertama, Perampasan wilayah adat yang berkaitan erat dengan siklus kehidupan dan spiritualitas perempuan adat. Perampasan ini antara lain ditemukan dalam bentuk ketiadaan pengakuan atas hutan adat akibat pengaburan tapal batas maupun perubahan fungsi hutan adat menjadi Taman Nasional, Cagar Alam, konsesi Hak Perambahan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), Areal Penggunaan Lain (APL), atau wilayah pertambangan tanpa konsultasi (consent) terlebih dahulu dengan Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang hidupnya subsisten terhadap hutan.
Kedua, Perempuan masyarakat adat mengalami beban berlapis ketika terjadi konflik SDA, termasuk beban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pangan keluarga ketika kehilangan sumber penghidupannya. Salah satu pola khas penghidupan perempuan adat adalah bertumpu pada ‘memungut’ hasil hutan yang tidak dapat lagi mereka lakukan ketika kehilangan hutan adat.
Perempuan pun mengalami pelanggaran hak atas rasa aman akibat ancaman, pelecehan, stigma, pengusiran, penganiayaan, kriminalisasi, serta kehilangan hak atas informasi dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, kehilangan hak atas pekerjaan yang layak karena terpaksa beralih profesi menjadi buruh harian atau musiman dan menambang batu dan menjadi breadwinner atau pencari nafkah utama.
Ketiga, Dampak berlapis penguasaan wilayah hutan oleh pihak pemegang hak konsesi untuk mengeksploitasi SDA juga dirasakan oleh MHA dalam aspek kesehatan masyarakat terkait kerusakan lingkungan dan pencemaran yang cukup serius.
Ini terlebih pada kondisi kesehatan reproduksi perempuan saat melahirkan, asupan gizi yang kurang, potensi terpapar bahan kimia yang digunakan dalam pengelolaan tambang emas dan perkebunan sawit, juga musnahnya sumber kehidupan dan makanan dari hutan.
Hilangnya mata pencaharian para orang tua masyarakat hukum adat telah mengakibatkan anak-anak kehilangan haknya atas pendidikan karena putus sekolah, berhenti sekolah untuk sementara, atau terpaksa bekerja di luar kampung untuk membantu orang tuanya.
Keempat, Selain itu, para perempuan pembela HAM (PPHAM) yang berjuang untuk masyarakat adat juga rentan mengalami kriminalisasi. Dalam rentang 2005-2022, dalam catatan Komnas Perempuan terdapat lebih dari 50 kasus yang melibatkan PPHAM yang menghadapi ancaman pidana hingga pembunuhan atas perjuangannya bersama masyarakat adat.
Quo Vadis RUU Masyarakat Hukum Adat
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki payung hukum yang secara khusus untuk melindungi masyarakat adat, padahal sesuai amanat UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan Undang-undang; dan pasal 28 ayat (3) UUD 1945 bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Hak Konstitusional perempuan masyarakat adat mencakup aspek hidup yang luas, diantaranya hak-hak dasar seperti air bersih dan sanitasi (Pasal 28A UUD NRI 1945) dan lingkungan yang baik dan sehat (Pasal 28H Ayat (1)). Hak atas air merupakan bagian dari pemenuhan dan perlindungan hak atas hidup sebab air merupakan unsur penting dalam melindungi hidup seseorang.
Instrumen HAM Internasional yakni Rekomendasi Umum CEDAW No. 34 juga memandatkan penghapusan diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan pada hak atas tanah dan SDA dan pada kebijakan pertanian maupun pertahanan. Juga ada hak atas identitas budaya, sebagaimana juga diamanatkan dalam Pasal 28I Ayat (3) UUD NRI 1945.
Perjuangan untuk pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi Undang-Undang seperti menemui jalan buntu. Ada kekhawatiran RUU Masyarakat Hukum Adat akan menjadi hambatan bagi pembangunan dan investasi meskipun pengakuan terhadap masyarakat adat adalah mandat Konstitusi.
Perjuangan masyarakat sipil untuk pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat didasari atas kepastian jaminan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Juga, sebagai momentum untuk penataan hubungan negara dan masyarakat adat dalam bingkai masa depan yang berpegang pada prinsip keadilan, termasuk di dalamnya keadilan gender, menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, perlakuan tanpa diskriminasi dan berpihak kepada lingkungan hidup guna memastikan jaminan keadilan antar generasi.
Pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi penting untuk mengatasi berbagai persoalan sektoralisme di berbagai lembaga negara yang berhubungan dengan masyarakat adat, termasuk perizinan dan konflik lahan adat.
Juga sebagai bentuk regulasi afirmatif untuk memastikan masyarakat adat sebagai subyek hukum dapat diakui oleh negara secara mudah dan cepat selain juga menjadi payung hukum untuk memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan bagi hak-hak perempuan adat secara utuh, baik sebagai individu maupun kolektif, yang menjadi kekhasan atau kekhususan yang melekat pada identitas perempuan adat.
Pengaturan spesifik hak perempuan adat dalam Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat juga nantinya berfungsi untuk menegaskan pengakuan pada peran dan andil perempuan masyarakat adat sebagai pemilik kekayaan pengetahuan tradisi dan spiritualisme yang dapat menjadi salah satu modalitas sosial, ekonomi dan budaya bangsa. Juga, menguatkan proses transformasi masyarakat patriarkis dalam memastikan penyelesaian adat untuk menghadirkan keadilan dan pemulihan perempuan korban kekerasan.
Penulis adalah Wakil Ketua Komnas Perempuan RI dan aktif di Komunitas Penulis Maluku