“Di sini kita mendapat informasi mengenai sejarah Maluku melalui gambar dan artefak yang dipajang..”
Oleh: M. Ikhsan Tualeka
Sebagai orang Maluku rasanya belum lengkap bila ke Belanda dan tidak sempat untuk berkunjung ke Museum Maluku. Sebuah museum yang tidak saja menyimpan berbagai artefak dan dokumentasi sejarah orang Maluku tapi keberadaannya pun memiliki sejerah tersendiri.
Museum Maluku atau seringkali disingkat dengan MuMa ini adalah museum di Utrecht, Belanda. Museum yang didirikan dengan nama Moluks Historisch Museum (Museum Sejarah Maluku) pada tahun 1990 ini, dilandasi oleh memorandum kerjasama antara pemerintah Belanda dan organisasi Maluku di Belanda –Badan Persatuan. Bertujuan untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya Maluku kepada khalayak, khususnya di Belanda.
Sabtu, 05 Februari 2011, ditemani saudara perempuan saya, Idja Latuconsina yang sudah lama bermukim di Utrecht, kami dengan mobil dari rumahnya menembus dinginnya udara siang itu. Hanya 20 menit berkendara, pukul 15.30 kami tiba di Museum Maluku yang menempati sebuah gedung lumayan besar, letaknya strategis di Kruisstraat, Utrecht.
Ternyata saya sudah ditunggu oleh Mss E.M. Vermeulen, Ketua Pengurus MuMa, Wim Manuhutu dan Victor Joseph dari Yayasan Manu2u, serta Ratna Sarumpaet yang baru tiba siang itu di Utrecht usai menjadi juri festival film di Rotterdam. Setelah berbincang sejenak di ruang depan loket masuk, saya dan Ibu Ratna yang merupakan tamu undangan Manu2u (yayasan yang dikelola sejumlah orang Maluku di Belanda) ditemani oleh Bung Wim dan Bung Victor, memasuki ruangan museum.
Seperti museum kebanyakan, di ruang pameran dipajang berbagai artefak dan dokumentasi terkait Maluku dahulu maupun sekarang. Mengamati benda-benda yang dipamerkan, kita seakan dibawa kembali ke Maluku tempoe doloe. Bung Wim yang pernah bekerja di MuMa memberikan penjelasan untuk setiap koleksi yang kami jumpai, juga sejarah terkait situasi sosial, politik dan budaya yang melatarinya.
Namun yang unik, dan menjadi pengalaman pertama bagi saya adalah, ada monitor plasma ukuran layar komputer yang menyediakan tombol untuk digunakan melacak hubungan kekeluargaan berdasarkan marga-marga di Maluku. Sehingga bila pengunjung yang ingin tahu hubungan pela atau nama keluarga mana yang tergabung dalam desa yang mana, Atlas Maluku dalam website pada monitor akan memberi jawaban atas semua pertanyaan itu.
Menurut Bung Wim, hubungan antar pela sudah bisa dicari, sedangkan navigasi bagian nama-nama marga masih akan diperbaiki. Pengunjung sendiri juga dapat berkontribusi, misalnya jika tahu hubungan kekeluargaan atau marga yang belum dijelaskan dalam situs, bisa memberikan masukan.
“Website ini belum lengkap, masih terdapat nama-nama keluarga dan hubungan pela, yang belum terdaftar. Situs ini kedepannya juga akan diperluas dengan link ke foto-foto, film-film dan berbagai dokumen. Jadi jika ada yang ingin menambahkan sesuatu ke link di website, bisa memberi tahu pihak MuMa. Tentunya juga dipersilahkan untuk meneruskan, menambahkan atau mengoreksi informasi ke pengelola Museum,” jelasnya pada kami.
Berikutnya, kita memasuki ruang yang agak belok ke kiri dari arah pintu masuk utama. Di sini kita mendapat informasi mengenai sejarah Maluku melalui gambar dan artefak yang dipajang. Kita juga mendapat gambaran bagaimana pada abad ke-enambelas dan ke-tujuh belas, kedatangan Portugis dan Belanda mengakibatkan perubahan besar di kepulauan Maluku. Terdapat juga informasi atau sejarah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menguasai perdagangan rempah dan mendirikan monopoli dagang yang berlaku lebih dari dua abad, termasuk di Maluku
Bung Wim juga menceritakan, banyak hal yang terkait dengan sejarah Maluku yang ada hubungannya dengan benda-benda yang dipamerkan. Lebih dari empat abad, orang Maluku dan orang Belanda mempunyai sejarah bersama. Dalam sejarah itu, kerjasama maupun perlawanan menjadi bagian penting. Ini dapat dilihat dalam satu dinding museum, di samping gambar seorang prajurit ‘anonim’ yang setia kepada Belanda, terpampang gambar Thomas Matulessy yang memimpin pemberontakan melawan Belanda pada tahun 1817.
Diaspora Maluku di Belanda
Dalam Perang Dunia Ke-2, ada orang Maluku yang turut dalam perlawanan terhadap Jepang, sedangkan ada orang Maluku yang menentang kembalinya pemerintahan Belanda sesudah perang itu selesai. Dalam dekolonisasi Indonesia, orang Maluku berada di pihak Belanda dan di pihak Indonesia. Kedatangan lebih dari 12.500 orang Maluku ke Belanda tahun 1951 adalah salah satu bagian terakhir proses dekolonisasi itu.
Pada tanggal 21 Maret 1951, Kapal Kota Intan yang mengangkut rombongan pertama orang Maluku tiba di pelabuhan Rotterdam. Untuk kebanyakan orang Maluku, waktu itu perjalanan ke Belanda merupakan perjalanan terbesar yang dialami mereka. Saat itu, semua orang percaya mereka akan kembali ke Maluku, namun tidak ada yang menduga akan tinggal untuk waktu yang lama di Belanda.
Setelah tiba, orang Maluku disebar di seluruh Belanda. Mereka ditempatkan di tempat liburan, biara, tempat untuk penganggur dan tempat pertahanan Jerman dari zaman perang seperti Westerbork dan Vught. Mereka berdiam jauh dari masyarakat Belanda dan menunggu untuk pulang. Banyak orang Belanda menganggap orang Maluku merupakan rombongan luar negeri terbesar pertama dalam hal jumlah yang masuk ke negara mereka.
Untuk menceritakan kondisi awal-awal orang Maluku di Belanda, Museum MuMa juga menyediakan duplikat ruangan dari rumah-rumah yang mereka tinggali, lengkap dengan tempat tidur, lemari dan perkakas dapur yang pernah digunakan kala itu. Pakaian dan jas yang pernah dipakai juga masih tersimpan rapi.
Menurut Bung Wim, anak-anak lelaki dan perempuan yang tiba di Belanda pada tahun 1951, menjadi orang dewasa dalam tahun 60-an dan 70-an. Beberapa anggota generasi kedua itu memilih jalan kekerasan, minta perhatian terhadap cita-cita untuk memiliki negara sendiri dan marah terhadap nasib orangtua mereka.
“Pendudukan di Wassenaar (1970), Amsterdam (1975), Bovensmilde (1977) dan Assen (1978) dan pembajakan kereta api di Wijster (1975) dan De Punt (1977) begitu mengguncang masyarakat Belanda, maupun masyarakat Maluku sendiri. Tahun 80an dan 90an merupakan masa ‘introspeksi’ untuk orang Maluku terhadap kedudukan mereka di Belanda, termasuk soal kebudayaan dan tradisi mereka pada masa-masa transisi sebelum generasi ketiga dan keempat mulai muncul,” jelas Bung Wim.
Sambil bercerita, Bung Wim dan juga Bung Victor mengantarkan kami ke ruang pusat informasi. Di dalam ruang yang berada di dalam museum ini, pengunjung bisa mendapat informasi mengenai orang-orang Maluku di Belanda, tentang Maluku, juga cerita mengenai Maluku pada masa-masa Hindia-Belanda dan sejarah Indonesia. Ruangan ini terdiri dari sebuah perpustakaan dan sebuah ruang baca. Terdapat berbagai macam arsip beserta koleksi foto ataupun materi audiovisual yang cukup lengkap di ruang tersebut.
Sebagian besar koleksi yang terdapat di sini merupakan pemberian dari perorangan, sehingga bisa dikatakan MuMa memiliki materi-materi yang unik. Di dalam ruang baca yang terbuka bagi umum ini, pengunjung dapat melihat-lihat dan atau membaca berbagai macam buku, majalah, kliping koran atau arsip. Koleksi yang terdapat di ruang baca, sebagian besar dapat dipinjam dengan tarif 5 Euro per buku sebagai jaminan.
Ruang baca buka pada hari selasa sampai dengan hari jumat dari pukul 13.00 sampai 16.30; jika dengan janji, dapat juga disepakati untuk buka pada pagi hari atau pada akhir pekan (sabtu/minggu). Dimungkinkan untuk meminjam koleksi pameran dan memesan foto digital. Jika ingin tahu lebih lanjut tentang pusat informasi, atau ingin membuat janji, bisa hubungi nomor telepon dan email MuMa yang tersedia di situs museum.
Berikutnya yang kami sambangi adalah ruang teater. Ruangan ini dapat digunakan untuk pertunjukan, rapat, debat dan lokakarya. Oleh karena konsepnya panggung dan penonton berdekatan, ruang teater ini cocok sekali untuk pertunjukan akustik. Ruang teater berkapasitas 70-80 kursi dan juga dapat disewa. Ruang ini pula yang digunakan untuk diskusi diaspora Maluku dengan saya dan Ibu Ratna esok harinya.
Menarik pula dari museum ini adalah keberadaannya tidak terlepas dari pergolakan tahun 1970-an yang dilakukan oleh sebagian keturunan Maluku di Belanda. Mereka menuntut janji pemerintah Belanda agar diakui sebagai warga negara atau membantu mengadakan wilayah sendiri bagi mereka di Maluku.
Peledakan kereta api serta penyanderaan staf konsulat Indonesia di Den Haag adalah beberapa dari aksi yang dilakukan. Tindak kekerasan ini dapat diredam setelah dilakukan negosiasi, salah satunya Belanda bersedia mendirikan MuMa di Utrecht.
Setelah melihat-lihat dan mengitari semua ruang, kami lanjutkan dengan berdiskusi terkait agenda kami selama di Belanda, di hari pertama kunjungan. Setelah menghabiskan secangkir teh panas, tak terasa hari sudah sore mendekati pukul 17.00, MuMa juga sudah harus tutup.
Kami mesti kembali ke hotel untuk istirahat, mempersiapkan diri untuk melakoni jadwal panjang di negeri kincir angin itu. Diantar Bung Wim dan Bung Victor, kami bermobil pulang ke Hotel Ibis tempat kami nginap, meninggalkan MuMa yang sudah memberikan banyak pengetahuan penting untuk mengenal Maluku lebih dekat. Tidak disangka itu terjadi di daratan Eropa.
Utrecht, 20 Februari 2011
Catatan:
Karena alasan efisiensi, sejak Januari 2018, MuMa telah pindah dari Utrecht ke Den Haag, di gedung yang lebih kecil dan karyawan yang lebih sedikit. Untuk menyewa tempat baru itu MuMa bergabung dengan 3 organisasi lain.