Menjaga, Merawat dan Melindungi Laut Maluku

0
2228

“Sudah waktunya berbenah. Sebagai daerah kepulauan, probabilitas terbuangnya sampah di laut makin besar, perlu ada upaya pencegahan atau antisipasi yang lebih masif dan terukur, karena kalau sampah sudah di laut siapa dan bagaimana membersihkan, pasti akan sulit dan mahal.”

Oleh: M. Ikhsan Tualeka

Laut bagi orang Maluku Raya itu ibarat halaman luas yang membentang. Karunia Tuhan yang wajib disyukuri dan dijaga kelestariannya, bukan hanya untuk kepentingan hari ini, tapi untuk generasi yang akan datang.

Sayangnya dewasa ini, sejumlah aktivitas telah memberi dampak pada rusaknya ekosistem dan kelestarian laut. Kita akan dengan mudah menyaksikan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir, saban hari tanpa rasa bersalah membuang sampah ke laut. 

Sampah-sampah itu sebagian tenggelam dan tersangkut di karang, merusak dan mengotori dasar laut. Bahkan baru-baru ini, seperti diberikan koran Kompas, sampah plastik berukuran 18 cm ditemukan di dalam perut Ikan Cakalang yang ditangkap nelayan di Laut Banda, fenomena yang tentu saja menjadi peringatan keras.

Banyak pula sampah yang mengapung, tentu saja mengganggu pemandangan dan jalur transportasi laut. Sekarang ini bila bepergian menggunakan speed boat, alat transportasi yang umum digunakan antar pulau di Maluku, khususnya di perairan Pulau Ambon, Seram dan Lease, akan sering mengalami masalah mesin mati karena baling-baling penggeraknya terlilit sampah.

Menjadi pertanda bahwa sampah di laut Maluku sudah dalam sebaran dan volume yang mengkhawatirkan. Padahal sampah-sampah yang dibuang ke laut butuh waktu sangat lama untuk bisa diurai oleh alam. Dalam banyak publikasi ilmiah menyebutkan, untuk botol plastik, sedotan plastik hingga tas plastik yang digunakan sehari-hari membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 1.000 tahun baru dapat terurai.

Baca Juga  Waspada! Alga Berbahaya di Teluk Ambon

Begitu pula dengan popok bayi dan pembalut wanita. Benda-benda yang seringkali ditemukan oleh para penyelam karena kerap tersangkut di terumbu karang ini, butuh beratus-ratus tahun untuk terurai, antara 250 hingga 800 tahun.

Sedangkan bekas minuman kaleng atau soft drink membutuhkan waktu 200 tahun untuk bisa terurai. Ini belum termasuk berbagai jenis sampah lainnya seperti styrofoam, pakaian bekas, sol sepatu hingga puntung rokok yang juga memerlukan waktu yang lama agar bisa terurai.

Aktivitas lainnya yang merusak ekosistem laut adalah masih maraknya penangkapan ikan oleh warga dengan menggunakan bom ikan. Warga biasanya memakai bahan peledak dari pupuk, belerang korek api, serta bubuk mesiu dari peluru atau bom sisa perang dunia kedua.

Dampaknya jelas. tidak hanya ikan-ikan kecil yang belum waktunya diambil ikut mati, namun biota-biota yang ada di zona intertidal, seperti terumbu karang hidup, terumbu karang mati, lamur atau rumput laut, makroalga dan kerang-kerangan ikut rusak.

Ironisnya, mengembalikan kondisi seperti semula tidaklah mudah. Oleh para ahli disebutkan, untuk karang misalnya, dalam waktu satu tahun, rata-rata karang hanya dapat menghasilkan batu karang setinggi 1 cm saja. Sehingga selama 100 tahun karang batu itu hanya dapat tumbuh 100 cm.

Itu artinya, jika karang yang tingginya 5 meter dirusak oleh para pencari ikan dengan cara yang tak bertanggung jawab itu, maka diperlukan waktu hingga 500 tahun agar dapat kembali seperti semula. Hal ini yang belum dipahami dan disadari oleh banyak masyarakat pesisir, orang-orang kepulauan.

Selain rusaknya alam, habitat dan ekosistem laut, dan juga merupakan potensi ekonomi, perilaku buruk ini juga berdampak ke sektor pariwisata bahari yang merupakan keunggulan komparatif dari wilayah atau daerah kepulauan. Belum banyak yang menyadarinya.

Baca Juga  Membaca Fenomena Fashion Street Ala Anak Muda SCBD

Padahal, pesona alam bawah laut yang indah adalah potensi besar pariwisata yang menjanjikan bila dikelola dengan optimal. Orang-orang Maluku memang jarang yang menikmatinya, sekalipun ada di depan mata, karena memerlukan peralatan untuk melakukan penyelaman yang harganya tentu tidak murah.

Tapi bagi pecinta underwater diving, menikmati keindahan bawah laut di kawasan timur Indonesia, termasuk di Maluku adalah impian. Mereka bahkan perlu merogoh kocek yang tidak sedikit untuk sampai di spot diving. Apalagi untuk para wisatawan asing, butuh effort atau usaha yang lebih besar.

Namun dengan kondisi atau realitas yang ada, kerusakan alam dan ekosistem laut bila terus terjadi, maka laut Maluku yang menyimpan kekayaan hayati, lumbung ikan dan destinasi wisata, primadona bagi para penyelam ini perlahan akan pudar, bahkan hilang potensi dan keunggulannya.

Sudah waktunya berbenah. Sebagai daerah kepulauan, probabilitas terbuangnya sampah di laut makin besar, perlu ada upaya pencegahan atau antisipasi yang lebih masif dan terukur, karena kalau sampah sudah di laut siapa dan bagaimana membersihkan, pasti akan sulit dan mahal.

Berbeda dengan wilayah kontinental atau daratan, yang bila sampah berserakan masih bisa dijangkau dan dibersihkan dengan mudah. Itu berarti orang-orang kepulauan mestinya jauh lebih peduli atau awareness dan antisipatif terhadap persoalan sampah yang dibuang ke laut.

Kita semua —individu, kaum intelektual, tokoh masyarakat, dan tentu saja pemerintah, wajib memiliki kesadaran penuh dan saling bekerja sama mengatasi masalah yang ada. Mesti ada mekanisme yang tepat untuk mencegah dan menanggulangi habitus atau perilaku buruk ini.

Selain perlu ada kesadaran untuk memilah-milah dan buang sampah sejak dari rumah, hotel, restoran, kantor, sekolah, pasar dan tempat-tempat penghasil sampah lainnya untuk kemudian dibuang pada tempatnya. Pemerintah di Maluku juga harus memiliki sistem terpadu untuk menampung serta mendaur ulang sampah sesuai jenisnya.

Baca Juga  Tabrakan Beruntun Terjadi di Negeri Liang, Tiga Warga Tewas di Tempat

Termasuk dengan membuat regulasi yang ketat dan relevan, belajar dari daerah lain yang mampu menekan penggunaan plastik dan mengarahkan ketaatan warga untuk membuang sampah pada tempatnya. Seperti yang sejauh ini relatif sukses dilakukan di Pulau  Bali.

Selain itu, karena merupakan daerah kepulauan, perlu ada semacam mekanisme pengumpulan sampah plastik di masing-masing gugus pulau. Kemudian dengan menggunakan kapal khusus, sampah diangkut dan tempatkan di lokasi atau Pulau Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) untuk didaur ulang.

Sosialisasi dan edukasi juga penting untuk terus dilakukan. Termasuk sanksi yang tegas kepada mereka yang masih bandel membuang sampah ke laut, apalagi bagi pengebom ikan hukumannya harus lebih diperberat.

Upaya yang dilakukan mesti serius, sungguh-sungguh dan segera. Kesadaran akan pentingnya merawat, melindungi dan menjaga kelestarian laut dan pulau wajib menjadi paradigma atau cara pandang orang-orang kepulauan, terutama para pemangku kewajiban. Jika tidak kita semua bakal menjadi generasi yang gagal secara kolektif.

Penulis adalah inisiator Beta Green, salah satu program IndoEast Network