Menyoal Keharmonisan Murad – Orno

0
2990

Mestinya setelah dilantik pimpinan eksekutif harus duduk bersama, membuat roadmap, dan melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai yang diamanatkan Undang-Undang. Begitu pula jika ada persoalan antara kepala daerah dengan wakilnya, seharusnya dapat diselesaikan secara internal, tak perlu diumbar ke publik.

Oleh: Ikhsan Tualeka

Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno protes keras. Protes itu terkait namanya tidak ada dalam daftar pejabat yang harus disebutkan oleh Gubernur Maluku Murad Ismail dalam sambutan saat peresmian nama RSUP dr.J.Leimena yang juga dihadiri oleh Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek, pada tanggal 16 Oktober 2019.

Orno merasa tidak dihargai. Karena hal seperti ini sudah sering terjadi. Ia menuding Biro Humas dan Protokoler Pemerintah Provinsi Maluku gagal menjalankan tugas. Menurutnya, hal tersebut dapat menyebabkan keretakan hubungannya dengan Gubernur.

Tidak ada dalam daftar yang harus disebut dalam sambutan Gubernur menjadi pertanda ada yang kurang beres di humas dan protokol. Mereka bisa saja lelet atau ada persoalan lain, itu harus ditelusuri apa penyebabnya.

Jika benar ada kesalahan di internal, maka mereka harus dievaluasi. Namun tak perlu hingga diungkap ke publik. Karena publik akan cenderung membaca situasi ini sebagai sinyal bahwa ada yang kurang beres di internal pemerintahan

Sebenarnya bukan saja soal penyebutan nama dalam sambutan gubernur. Meski baru seumur jagung, Murad dan Orno sudah kerap terlihat kurang ‘senyawa’. Perbedaan pandangan mereka yang tajam juga mengemuka ke publik.

Misalnya soal legalisasi Sopi, adalah salah satu adegan yang bisa direkam publik. Masyarakat bisa menganggap kalau mereka berdua kerap berada pada perspektif yang berbeda dalam melihat satu persoalan. Sejumlah rumor lain turut mempertegas dan mengkonfirmasi adanya disharmoni itu.

Baca Juga  Bursa Efek Diminta Hentikan Perdagangan Saham Tambang Nikel, Korbankan Lingkungan, Masyarakat Adat dan Pulau Kecil

Sebenarnya situasi yang tak begitu mengagetkan. Bila mau dibandingkan atau melihat trend hubungan relasi kepala daerah di berbagai tempat. Umumnya hubungan Kepala Daerah dan Wakilnya sudah tidak harmonis di awal-awal masa jabatan.

Berdasarkan data dari Kementrian Dalam Negeri RI (2015), tercatat sekitar 75 persen pasangan kepala daerah (Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota ataupun Gubernur dan Wakil Gubernur) di Indonesia hubungan kerjanya tidak harmonis sehingga mempengaruhi kinerja pembangunan di daerah tersebut.

Bila hubungan kedua kepala daerah harmonis, kinerja pemerintahan akan maksimal, daerah tentu akan semakin maju. Mengantisipasi hal seperti ini, sebenarnya pemerintah telah berupaya dengan menyodorkan pilihan pada draf awal UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Dalam RUU itu, hanya Walikota/Bupati dan Gubernur saja yang dipilih dalam pilkada. Sedangkan wakilnya adalah dari birokrat. Namun tawaran itu kandas, karena ditolak oleh kalangan DPR RI.

Pengalaman di sejumlah daerah membuktikan keharmonisan antara Bupati/Walikota dan Gubernur dengan Wakil Gubernur hanya bertahan antara enam bulan hingga satu tahun pemerintahan. Sesudah itu, mulai muncul konflik. Hubungan diantara mereka menjadi tidak harmonis. Biasanya diakibatkan karena kurangnya komunikasi, konflik kepentingan, dan tidak memahami tugas masing-masing.

Namun dari semua itu, masalah paling krusial biasanya adalah karena sejumlah Wakil Bupati/Wakil Walikota ataupun Wakil Gubernur tidak bisa menahan diri. Selain itu tidak menyadari akan tugasnya sebagai seorang wakil. Sebaliknya, seorang Bupati/Walikota ataupun Gubernur tidak memiliki leadership yang baik untuk dapat memobilisasi dan mengakomodir potensi pasangannya.

Berikutnya adalah soal komunikasi yang kurang bagus antara keduanya. Kondisi ini berakibat pada hubungan di antara mereka yang tidak baik pula. Selanjutnya berdampak pada pengambilan kebijakan pembangunan di daerah tersebut.

Baca Juga  Mencermati Dinamika Politik: Mencari Pemimpin Kota Ambon

Situasi ini makin diperparah oleh pengaruh orang-orang di lingkaran kekuasaan mereka. Baik itu yang di lingkaran formal, seperti jajaran birokrasi, maupun yang informal seperti bekas tim sukses. Mereka inilah yang menjadi ‘pembisik’ utama atau ‘orang dekat’.

Situasi seperti ini kalau dibiarkan, akan menyebabkan pembelahan birokrasi dan masyarakat. Akan muncul kubu-kubu di tubuh birokrasi. Dalam banyak hal, dampak dari hubungan tidak harmonis ini tentu akan memunculkan perpecahan pada kalangan birokrasi. Karena akan membentuk birokrasi terbelah atau split loyalis.

Memanasnya hubungan dua pejabat ini akan turut memanaskan suasana batin di jajaran birokrat. Pengalaman membuktikan, polarisasi politik akan makin kentara jelang pemilihan periode berikutnya. Karena masing-masing kubu akan berupaya berebut pengaruh. Kalau sudah begini lagi-lagi pelayanan publik akan dikorbankan.

Mestinya setelah dilantik pimpinan eksekutif harus duduk bersama. Membuat roadmap bersama. Setelah itu melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan yang dijanjikan dan diamanatkan Undang-Undang.

Begitu pula jika ada persoalan antara kepala daerah dengan wakilnya, seharusnya dapat diselesaikan secara internal. Tidak perlu untuk diumbar ke publik. Ibarat pasangan ‘suami-istri’, bila ada masalah cukup diselesaikan di kamar atau di atas ranjang. Anak-anak tak perlu tahu, apalagi tetangga.

Pasangan kepala daerah juga harus memperbanyak sabar dan menahan diri. Kalau tidak sabar, apalagi semua ingin maju dan tampil, tanpa ada koordinasi, bisa runyam. Masing-masing harus bekerja sesuai porsinya. Saling menghargai dan menjaga komunikasi di antara mereka.

Kalau komunikasinya intensif, maka hubungan kepala daerah dengan wakilnya akan baik pula. Intinya, keharmonisan hubungan kepala daerah mesti terjaga guna menjamin kinerja pembangunan di daerah dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Semuanya untuk kemaslahatan bagi masyarakat dan kemajuan daerah tersebut.

Baca Juga  Peringati 58 Tahun Perjanjian New York, Ini 20 Tuntutan Mahasiswa Papua, Salah Satunya Penentuan Nasib Sendiri

Masyarakat juga mesti lebih proaktif mengontrol pemerintahan. Caranya, dengan kembali melihat janji-janji kampanye pasangan kepala daerah ketika mencalonkan diri. Janji-janji yang belum dilaksanakan, supaya ditagih agar bisa segera dituntaskan.

Masyarakat harus lebih bersuara dan kritis. Tujuannya agar kedua pemimpin ini dapat memastikan pelayanan publik berjalan optimal. Selain itu, mereka juga dapat menuntaskan janji-janji saat kampanye dulu. Jangan sampai pemimpinnya tidak fokus. Warganya juga kehilangan daya kritis. Tentu akan menjadi alamat buruk bagi daerah.

Penulis adalah Direktur IndoEast Network