Oleh: Adhy Fadhly/AF
Asas hukum ialah keadilan, ini telah gagal dijalankan oleh negara kesatuan republik indonesia melalui pemerintah. Belakangan hukum dan keadilan seperti bertolak belakang.
Hukum negara seperti berjemawa meninggalkan keadilan, terutama pada kelompok kelompok kecil, lihat saja kerasnya hukum pada ekspresi politik dari para simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS) yang selalu ditangkap dan diadili dengan delik makar, yang sebenaranya sangat jauh dari substansi makar itu sendiri.
Lantas bagaimana dengan sikap negara melalui hukumnya terhadap para aktivis maupun simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tentu kita semua tidak lupa dengan apa yang terjadi pada 4 Desember 2018 yang lalu, saat perayaan HUT GAM ke 42.
Di mana hampir di setiap kabupaten kota di lakukan upacara serta pengibaran bendera bulan bintang. Bahkan turut dihadiri unsur pemerintah melalui para kepala daerah maupun para legislatif, namun dibiarkan oleh Negara.
Jika tidak salah, bendera bulan bintang beserta lambang tersebut telah disahkan DPRD dalam Perda Nomor 13 tahun 2013. Namun ini dibiarkan, tanpa ada sedikitpun sentuhan hukum dengan delik Makar seperti yang sering ditunjukan pemerintah terhadap rakyat di Maluku melalui ekspersi politik dari Republik Maluku Selatan.
Secara tidak sadar dengan adanya proses pembiaran di aceh yang bisa juga dikenakan pasal seperti yang di sangkakan terhadap para aktivis RMS, maka sebenarnya ini menjadi sebuah catatan penting, bahwa sangat nyata telah terjadi diskriminatif hukum terhadap warga negara, dalam hal ini para aktivis dan simpatisan Republik Maluku Selatan (RMS) dan kalau ini di kategorikan Makar, maka pemerintah mempunyai andil besar atas gerakan Makar yang terjadi di aceh.
Kejadian yang kesekian kalinya menimpa para simpatisan RMS, yang mana 5 orang aktivis simpatisan RMS ditangkap didaerah Maluku tengah, ini bisa dikatan jumawa dan tendensius hukum yang di terapakan negara terhadap rakyat maluku.
Seluruh kejadian di Maluku yang dilabeli RMS selalu di katakan Makar, maka sesungguhnya kita harus pahami bersama substansi makar dan pengertian dari Makar itu sendiri, berikut yang perlu menjadi bahan introspeksi bagi pemerintah adalah kenapa muncul gerakan gerakan seperti itu.
Jangan hanya menegakan hukum yang subjektif kebenarannya, tanpa melihat causalitasnya. Diskriminasi penerapan hukum terlalu nampak diterapkan oleh negara, dan ini harus disikapi dengan bijak oleh aparat penegak hukum, tanpa mengesampingkan persoalan kemanusiaan, dimana berdsarkan data yang kita miliki, para simpatisan RMS yang ditangkap pada 29 juni 2019 kemarin ada yang sudah berumur 50 bahkan 80 tahun.
Berangkat dari kasus-kasus yang terjadi saya menilai perlu adanya, koreksi terhadap realitas proses hukum yang begitu sangat tajam dan mudah menetapkan deliknya. Boleh jadi hanya disikapi sebatas respons dan simpatik.
Memang ada muncul sikap keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan hak asasi manusia, tetapi penerapan asas “semua orang sama di hadapan hukum” lebih banyak dianggap angin lalu oleh otoritas penegakan hukum.ini yang menjadi persoalan.
Sebenarnya sudah tak henti-hentinya digelorakan agar wajah penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa keadilan masyarakat (keadilan substantif), serta persoalan kemanusiaa. Namun realitas hari ini sungguh lain, banyak elite kekuasaan dan petinggi penegak hukum bersikap defensif, tidak berani berpihak pada rakyat dan asas keadilan itu sendiri. Seolah-olah rakyat kecil hanyalah sekadar objek penegakan hukum seperti pada hukum rimba.
Penerapan Hukum seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang melakukan kriminal kecil dengan berbalut menuntut adanya sebuah keadilan negara, adanya perlakuan yang sama atas setiap warga negara.
Tetapi anehnya, justru akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran jika kelas elite yang bermasalah.
Perlu saya sampaikan bahwa Realitas yang terjadi di Maluku terkait penangkapan para simpatisan RMS tersebut menunjukkan penerapan hukum di tanah air ini ada diskriminasi dan cenderung “tajam ke bawah, tumpul ke atas” tidak harus mengalahkan penegakan hukum sesorang dalam mencari sebuah keadilan.
Tuduhan makar yang di alamatkan pada kelima orang tersebut rasanya perlu di tinjau lagi, jika melihat dari substansi dari pengertian makar itu sendiri, muncul pertanyaan, apakah dengan selembar kain yang dikondisikan sebagai sebuah bendera mampu menggulingkan pemerintahan? mampukah selembar kain itu mengambil alih sebagian wilayah Negara ?
Apakah pemerintah sadar, penyebab terjadinya gerakan gerakan seperti itu, yang menurut saya itu bagian dari ekspresi politik dimana rakyat merasa tidak adanya sebuah keadilan yang merata dari negara.
Perlu saya ingatkan, bahwa ketidakadilan adalah sumber dari perpecahan, dan akar dari disintegrasi bangsa, ini yang harus disadari negara dalam hal ini pemerintah.
Mampukah negara menjawab, dibawa kemana seluruh kekayaan alam Maluku yang sangat berlimpah sehingga Maluku masuk zona provinsi termiskin di negara ini ?
Ini yang harus dijawab negara, sehingga persoalan-persoalan seperti ini, tidak serta merta dengan mudah menafsirkan sebagai perbuatan makar, seharusnya pemerintah mau membuka diri, dengan memberikan ruang melalui komunikasi komunikasi politik yang manusiawi.
Untuk itu atas kejadian penagkapan akitivis atau simpatisan RMS di Maluku, beberapa waktu lalu, kami meminta dan mendesak pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowidodo serta Kapolri jenderal Tito Karnavian untuk bisa melihat persoalan ini sebagai persoalan bersama yang terindikasi ada dikarenakan sikap dan perlakuan pemerintah sendiri.
Segera bebaskan mereka, dan hilangkan bahwa mereka pelaku makar,mereka hanya adalah warga negara yang menuntut sebuah keadilan dengan beragam ekspresi atas pribadi mereka dan bangsanya (rakyat Maluku).
Jika ini yang selalu diterapkan di Maluku, maka yang saya takutkan, akan benar-benar muncul sebuah gerakan besar atas nama keadilan untuk Maluku.
Penulis adalah Koordinator,Paparisa Perjuangan Maluku PPM_95DJAKARTA