Paradoks Bintang Kejora, Bulan Sabit dan Benang Raja di Indonesia

0
10762

“Aktivis hati nurani tidak seharusnya dihukum sejak awal karena mereka hanya menjalankan haknya untuk berpendapat, berekspresi dan berkumpul secara damai.”

Oleh: Ikhsan Tualeka

Bukan sekali, bahkan kerap kali, di depan istana, asrama mahasiswa, di jalan-jalan, kampus hingga di hutan belantara, anak-anak muda, mahasiswa, kaum intelektual Papua dengan bangga mengibarkan Bendera Bintang Kejora. Simbol Papua merdeka.

Tidak saja oleh orang Papua, rakyat Aceh juga demikian. Mereka dengan terbuka dalam berbagai kesempatan mengibarkan Bendera Bulan Bintang sebagai simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Seperti saat Milad ke-44 GAM, 4 Desember 2020, Bendera Bulan Bintang dikibarkan di Masjid Baiturrahman Aceh, masjid megah yang menjadi kebanggaan Negeri Serambi Mekah itu.

Meski begitu, parade ekspresi atau sikap politik yang vulgar semacam itu, kerap pula tak mendapat respon hukum yang berarti dari aparat penegak hukum. Menjadi berbeda bila melihat dan membandingkannya dengan sikap aparat negara terhadap ekspresi politik serupa yang dilakukan oleh aktivis atau pejuang hati nurani dari Maluku.

Hal ini tentu saja memperlihatkan ada semacam standar ganda dalam proses penegakan hukum. Sekalipun pada Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945 telah menegaskan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, namun dalam praktiknya jauh dari harapan.

Meski memiliki pasal yang menegaskan Equality Before the Law dalam konstitusi, dan merupakan norma yang melindungi hak asasi setiap warga negara Indonesia, namun penerapannya masih melihat pada siapa atau dari kelompok dan daerah mana pelaku pelanggaran hukum itu. Dari Aceh dan Papua boleh bebas mengibarkan bendera simbol kemerdekaan, dari Maluku siap-siap masuk jeruji besi.

Dalam konteks itu pula, rasanya tidak harus menjadi tahanan hati nurani dari Maluku untuk dapat mengkritik praktek ketidakadilan hukum seperti ini. Cukup menjadi manusia sejati untuk turut merasakan kepiluan dan kesakitan akibat pemenjaraan serta penyiksaan yang kerap dialami oleh mereka yang menyatakan sikap politik tanpa senjata dan kekerasan itu.

Nestapa itu akan makin terasa jika membandingkan kenyataan bahwa tindakan yang dianggap ‘makar’ dengan mengibarkan bendera sambil berteriak minta referendum ternyata tidak punya konsekuensi hukum bagi orang Aceh dan Papua. Sebaliknya bagi orang Maluku akan menjadi satu pelanggaran yang berat.

Menandakan bahwa meski sebagai daerah atau wilayah yang sama-sama memiliki latar sejarah perlawanan politik dan belum mendapat atau merasakan keadilan dalam konteks pembangunan nasional, tapi soal penanganan dan penegakan hukum, Melanesia Maluku ternyata tidak seberuntung saudara serumpunnya Melanesia Papua atau atau saudara senasibnya di Aceh.

Keadilan dan komitmen negara dalam penegakan hukum patut dipertanyakan. Sebab bagi aktivis dari Maluku, jangankan di depan umum, hanya menggantung atau menempelkan Bendera Benang Raja di dalam rumah, bisa langsung ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara, seperti yang dialami oleh Izack Siahaya, pensiunan guru berusia 80 tahun dan rekan-rekannya dari Negeri Hulaliu, Kabupaten Maluku Tengah, pada 29 Juni 2019.

Setidaknya saat ini ada lebih dari 10 orang tahanan hati nurani dari Maluku yang sedang ditahan atau menjalani proses hukum. Dalam berbagai laporan pun menyatakan ada tahanan hati nurani dari Maluku saat diinterogasi aparat keamanan harus menghadapi kekerasan dan penyiksaan yang tentu masuk ranah pelanggaran HAM. Sehingga mengkritisi situasi ini bukan hanya soal bendera, atau berpihak pada separatisme, namun ini soal keadilan dalam penegakan hukum. 

Mestinya dalam logika hukum, jika pengibaran satu bendera yang dinilai melanggar atau masuk tindakan ‘makar’ kemudian pelakunya dihukum, maka semua yang melakukan tindakan yang sama harus pula dihukum. Sebaliknya jika ada kelompok yang dibiarkan atau dibebaskan, hal yang sama juga mesti dilakukan pada kelompok lain, sebagai konsekuensi sebuah yurisprudensi.

Selain memang paradoks, realitas praktik standar ganda semacam ini justru dapat memperbesar kekecewaan rakyat Maluku terhadap pemerintah Indonesia atas perlakuan hukum yang tidak sama itu. Termasuk karena praktik ketidakadilan lainnya yang turut berkelindan. 

Untuk itu atas nama keadilan dan kemanusiaan. Sudah sepatutnya semua tahanan hati nurani yang terkait pengibaran Benang Raja dari Maluku, baik yang telah divonis, maupun yang sementara menjalani proses hukum harus dibebaskan. Pembebasan semua tahanan politik Maluku juga untuk memastikan Pemerintah Indonesia dalam menjalankan hukum, menempatkan dan memperlakukan setiap warga negara sama atau setara.

Baca Juga  Catatan untuk Generasi Maluku Tercerahkan

Amnesty International Indonesia juga pernah menyurati Presiden Jokowi agar tahanan hati nurani dari Maluku bisa segera dibebaskan. Menurut organisasi itu, aparat penegak hukum di Indonesia kerap menerapkan pasal-pasal makar tersebut di luar yang diizinkan hukum hak asasi manusia internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

Sehingga merujuk kaidah tersebut, aktivis hati nurani tidak seharusnya dihukum sejak awal karena mereka hanya menjalankan haknya untuk berpendapat, berekspresi dan berkumpul secara damai. Bahkan di masa lalu, pemerintah Indonesia telah memberikan amnesti, berupa pembebasan tanpa syarat, kepada mereka yang dihukum atas tuduhan serupa.

Tahanan hati nurani atau yang sering disebut prisoners of conscience, adalah individu yang ditahan hanya karena menjalankan hak mereka secara damai. Sehingga mereka tak pantas dihukum, dan yang tengah menjalani proses hukum semestinya juga dapat dibebaskan. 

Sebagai akhir dari catatan ini, perlu ditegaskan bahwa saya tidak memiliki afiliasi politik dengan pihak manapun, termasuk yang sedang diadvokasi. Hanya mengharapkan kedepan jangan lagi ada standar ganda dalam penegakan hukum yang justru memperbesar kekecewaan politik warga negara terhadap pemerintah atau negara. Keadilan bagi orang Maluku, sesungguhnya adalah keadilan bagi semua bangsa!

Ambon, 10 Desember 2020

Penulis adalah Direktur Maluku Crisis Center (MCC)