Oleh: Tammat R. Talaohu
Sepertinya bukan kebetulan, dimana beberapa artikel saya yang telah dipublikasikan sebelumnya masih menemukan relevansinya saat ini.
Itulah salah satu alasan, mengapa artikel saya kali ini masih mengusung tema yang sama, meskipun idenya berulang, tetapi karena momentumnya adalah tahun politik dimana begitu banyak gagasan yang dipertaruhkan dan diuji, maka saya terpaksa harus mereproduksi artikel ini.
Terutama karena kita menghendaki demokrasi ini makin bergizi dan tidak sekedar rutinitas konstitusional dalam memilih wakil rakyat atau para pemimpin di pusat-pusat kekuasaan. Semoga saja, pembaca bisa memahami pertimbangan semacam ini.
Azyumardi Azra, dalam analisis politiknya di Kompas 18 Februari 2021, menguraikan, bahwa kebutuhan untuk menjadikan demokrasi menjadi lebih substantif, maka partai politik dapat memainkan peran lebih signifikan untuk penguatan demokrasi, bukan sekedar alat agregasi kekuasaan.
Tetapi, di tengah dinamika demokrasi Indonesia, budaya politik yang dominan dalam parpol bukan budaya demokrasi. Sebaliknya, parpol secara kronis dihinggapi masalah internal, seperti faksionalisme, penguatan klientelisme, dan patronase dengan rezim penguasa.
Hasilnya, budaya politik parpol tidak mencerminkan demokrasi, tetapi cenderung oligarkis-dinastik. Dengan begitu, parpol turut menyumbang kemerosotan Indeks Demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa peran partai politik begitu dominan dalam menentukan gerak maju negara-bangsa, tidak saja di tingkat pusat tetapi hingga ke daerah.
Kesimpulan semacam ini memang sulit dihindari mengingat distribusi kepemimpinan kekuasaan pemerintahan (nasional dan lokal) umumnya berbasis parpol. Jadi, jika proses kaderisasi, hingga promosi dan perekrutan kepemimpinan dalam sebuah parpol mengalami distorsi, maka demikianlah akhirnya outcome (manfaat) yang diterima publik juga akan mengalami distorsi.
Dalam pengertian tersebut, kiranya berbagai langkah pembenahan secara berkelanjutan terhadap parpol menjadi kebutuhan dalam semua tingkatan. Dalam hal ini, dengan tidak membiarkan partai politik absen dari para politisi. Ini memang pernyataan yang agak aneh.
Tetapi mari kita ikuti alur pikir berikut ini. M. Alfan Alfian, dalam Wawasan Kepemimpinan Politik (2018), mengulas bahwa partai politik itu butuh politisi. Ini analog dengan pandangan Daniel Dhakidae (2007), tatkala menyindir bahwa perguruan tinggi semakin jauh meninggalkan cita-cita jadi pusat semua keunggulan; media elektronik hanya melahirkan kaum pendengar dan penonton. Lembaga wakil rakyat-pun telah demikian berwajah capitulo-parliamentarism.
Alfian melanjutkan alasannya, bahwa kita patut mencemaskan partai politik tanpa politisi oleh beberapa alasan. Pertama, partai akan kehilangan “aktor yang sesungguhnya” atau politisi substansial alias pemain intinya. Politisi adalah sebutan bagi orang yang bergerak di bidang politik, terkhusus para aktivis partai politik, tetapi ia bukanlah sebuah profesi, karena terkait dengan “panggilan untuk mengabdi” bukan “panggilan memperkaya diri”.
Kedua, dominannya aktor-aktor figuran alias politisi-artifisial, yang memandang partai adalah suatu “bisnis politik besar” yang tidak saja bersifat protektif atas aktivitas-aktivitas bisnis para pengurusnya, tetapi juga bak “kapal keruk kapital” yang efektif. Tatkala logika untung rugi ala bisnis ekonomi telah merambah ke wilayah politik, maka partai menjadi identik dengan perusahaan yang berorientasi profit. Negosiasi politik direduksi secara substansial bahwa yang ada adalah “membeli” atau “dibeli”.
Ketiga, partai dimanfaatkan sekedar sebagai tempat numpang lewat, dan menjadi sarang kaum oportunis. Ketika magnet politik partai adalah pragmatisme, tidak ada idealisme sama sekali, maka seberapa kuat daya integrasinya? Ketika pembangunan kelembagaan partai ditopang oleh para aktor yang tidak otentik, lalu, dimana lagi letak kemenarikannya? Partai politik tanpa politisi bak kolam ikan tanpa ikan, karena ikan telah terdesak oleh kecebong, kodok, belut dan ular, yang ramai-ramai hendak “bancakan kekuasaan”.
Ketika politisi terdesak dari habitatnya, maka keseimbangan ekosistem politik secara makro tentu akan terganggu. Kualitas politik akan minus, karena sering dilangkahinya fatsun politik.
Bandingkan kondisi ini dengan situasi partai-partai politik kita di Maluku. Pertanyaan utama dari tulisan ini sebenarnya adalah mengapa Maluku begitu lama terjebak dalam lingkaran kemiskinan akut yang menempatkannya menjadi salah satu daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi Indonesia.
Jika dirunut dari landasan pikir di awal tulisan ini, maka bukankah partai politik yang harus dimintai pertanggungjawaban? Mengapa partai politik? Karena lembaga inilah yang telah memproduksi para politisi, para pemimpin daerah dari kepala daerah hingga pejabat publik lainnya yang cacat dan tidak punya kompetensi teknis dan moral tetapi memiliki syahwat akan kuasa yang over dosis.
Merekalah awal mula Maluku menjadi terus tertinggal dari daerah-daerah lain. Sebagaimana dikemukakan Azyumardi Azra bahwa partai politik telah memerosotkan Indeks Demokrasi di Indonesia, dalam logika yang linier partai politik juga telah memerosotkan Maluku dalam lembah kemiskinan dan ketertinggalan.
Ini dilakukan melalui proses yang melingkar dan perlahan, berupa; membentuk kepengurusan partai yang diisi oleh pengurus yang bukan politisi, yakni mereka yang tidak memiliki kapabilitas sekaligus mengabaikan sistem merit, kegagalan dalam melakukan proses perkaderan secara berjenjang, terpadu dan terarah.
Dalam hal ini gelombang kader ‘kutu loncat’ seolah telah menjadi fenomena umum; melakukan promosi kader yang tidak berdasarkan PDLT (prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak tercela), menerapkan sistem seleksi kepala daerah yang terlalu kompromis, longgar, penuh transaksi dan manipulasi serta hanya berbasis kapital. Seakan-akan yang paling siap dan mampu memajukan daerah adalah mereka yang memiliki basis kapital kuat, meski berlatar pendidikan formil yang terbatas.
Akumulasi dari proses melingkar ini melahirkan para elit daerah, laksana para raja yang anti perbedaan, alergi terhadap kritik, bangga pada diri sendiri secara berlebihan, kering motivasi dan stagnasi pada semua sektor. Jika ada kemajuan maka itu lebih prosedural, sangat lambat dan tidak memiliki efek berganda.
Di akhir tulisan ini perkenankan saya mengingatkan kita semua, utamanya basis massa rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sebenarnya, bahwa Pemilu 2024 bukanlah sekedar memilih wakil rakyat. Ini tentang bagaimana memajukan daerah ini, bagaimana menjadikan Maluku dan orang-orangnya menjadi semakin bermartabat.
Karena itu, jangan menganggap remeh satu suara yang dimiliki dengan menggunakannya secara “asal pilih” dan tidak selektif. Berhentilah menyerah pada tindakan beberapa aktor yang hendak “membeli suara” anda dan pilihlah wakil rakyat yang benar-benar kredibel serta bisa menjadi corong yang efektif bagi peradaban Maluku yang berkemajuan. Hanya dengan begini, ketertinggalan Maluku bisa kita perbaiki secara bertahap. Inilah pendapat saya. Apakah anda setuju?
Penulis adalah politisi Partai Golkar dan penulis buku “Garis Perjuangan Partai Golkar”