Oleh: Hariman A. Pattianakotta
Pattimura dulu angkat parang untuk berperang. Musuhnya jelas: kolonialisme bangsa asing! Karena sayang saudara (saudara), sayang tanah air dan anak cucu, Thomas Matulessy alias Kapitan Pattimura angkat parang usir penjajah dari tanah raja-raja.
Banjir darah! Musuh maju dapa lipa (musuh maju dihajar). Biar senjata tidak berimbang, namun Pattimura pantang menyerah. Pele putus, malintang patah, sampai akhirnya ia pun meregang nyawa.
Itulah pahlawan! Bukan baku malawang (bukan berdebat merasa diri paling benar). Bukan pula mau unju kapala dan topu dada (bukan mau memperlihatkan bahwa dirinya yang paling jagoan).
Pahlawan serahkan kapala (kepala) demi saudara (fraternity), untuk kebebasan (liberte) dan kesetaraan (egaliter). Bangsa Maluku harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan bangsa lain. Karena itu, Pattimura kurbankan (sacrifice) diri, bukan korbankan (victimize) saudaranya.
Setelah Thomas Matulessy, banyak Pattimura muda yang angkat senjata. Namun, bukan lagi parang atau kalewang, tetapi buku dan pena. Sebut saja beberapa nama seperti Leimena, Kayadoe, A.Y. Patti, dll. Kini nama-nama itu mengharum sebagai nama jalan atau rumah sakit, walaupun kisah kepahlawanan mereka tak tercetak di buku-buku sejarah.
Namun, ada yang sama dari orang-orang ini. Mereka memakai intelektualitas mereka untuk kebaikan sesama. Dong biking bae, bukan biking diri (mereka berbuat baik, bukan sok-sokan).
Kini, di zaman milenial, Pattimura-Pattimura jaman now pandai bersolek di media sosial. Banyak atraksi dan diskusi, tersaji di pamflet dan ruang-ruang virtual.
Namun, sayang seribu sayang, banyak pula yang tak jeli membaca pesan adu-domba. Mungkin karena jempol lebih berperan ketimbang otak. Karena itu, semua pesan diteruskan, tanpa lebih dahulu dicerna.
Alhasil, mereka asik berdebat, baku malawang, yang tak membawa untung. Apalagi, kalau sudah terkait simbol-simbol sakral, bisa tegang urat leher. Banyak yang tidak lagi memakai nalar.
Mestinya katong (kita) belajar dari sejarah. Carita 99 menjadi saksi. Jang paskali diulangi (jangan sekali-kali diulangi). Mestinya katong sepakati ini: semua yang tidak membuat katong semakin manusiawi dan bersaudara harus dibuang dan dilawan. Bahkan, jika itu dibungkus dengan simbol-simbol suci sekalipun.
Keadilan, perdamaian, dan alam yang lestari demi anak cucu tersayang itulah spirit perjuangan yang harus dihidupi. Jang baku malawang. Jang baku kuku! Mari katong baku sayang! Mari katong baku keku!
Selamat Hari Pattimura!!
Bandung, 15 Mei 2021