Oleh: Fajrin Rumalutur
Aspirasi dan tuntutan untuk dilakukan pemekaran daerah terus disampaikan. Kendati pemerintah pusat masih menerapkan kebijakan moratorium atau penundaan sementara terhadap pemekaran daerah.
Pasalnya kapasitas keuangan negara saat ini belum mampu untuk menopang seluruh pembiayaan DOB, disamping APBN lebih diprioritaskan pada program strategis nasional seperti infrastruktur, kesehatan, pendidikan serta upaya pemulihan ekonomi nasional pasca covid.
Tentu kebijakan moratorium tersebut mementahkan harapan banyak pihak yang selama ini berupaya keras memperjuangkan pemekaran di daerahnya masing-masing, termasuk harapan atas usulan pemekaran 13 DOB di provinsi maluku.
Padahal usulan 13 DOB tersebut telah masuk dalam rancangan grand design penataan daerah (DESARTADA) 2015 – 2025, yang disusun oleh pemerintah bersama DPR RI sebagai roadmap penataan daerah otonom di indonesia.
Ketigabelas usulan DOB tersebut antara lain; Kepulauan Kei Besar, Gorom-Wakate, Kota Bula-Werinama Kepulauan Terselatan, Aru Perbatasan, Tanimbar Utara, Seram Utara Raya, Jazirah Leihitu, Talabatai, Buru Kayeli, Kepulauan Huamual, Lease dan Kawasan Khusus Kepulauan Banda.
Arti Penting Pemekaran Daerah
Pelaksanaan desentralisasi atau pemekaran daerah memiliki maksud membawa kebijakan pembangunan agar lebih dekat dengan masyarakat. Tujuan utamanya adalah menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat di daerah.
Rondinelli dan Cheema, dalam karya mereka (decentralization and development: policy implementation in developing countries) mengelompokan desentralisasi dalam 3 aspek penting antara lain; desentralisasi politik, berkaitan dengan demokratisasi di daerah. desentralisasi administratif (dekonsentrasi), berupa transfer tanggungjawab dan kewenangan pemerintah pusat ke daerah. dan desentralisasi fiskal, berkaitan dengan transfer keuangan oleh pusat ke daerah. yang terakhir ini sangat penting dan menentukan.
Artinya, dengan adanya pemekaran setiap daerah dapat mengatur dirinya sendiri dalam segala aspek pembangunan. Mulai dari peningkatan pelayanan publik, penentuan arah kebijakan pembangunan secara mandiri berdasarkan kebutuhan domestik.
Termasuk mengatur anggaran belanja daerah sendiri, menciptakan pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja baru, investasi, serta manfaat positif lainnya yang bisa dipetik dari hasil pemekaran daerah. tentu dengan tidak menafikkan aspek negatif dari pemekaran daerah seperti, menambah beban APBN, praktik rent-seeking dan munculnya raja-raja kecil di daerah.
Problem Maluku dan Kebutuhan atas Pemekaran Daerah
Provinsi Maluku merupakan provinsi berciri kepulauan dengan luas wilayah 712.479 Km2 terdiri dari daratan 54.185 Km2 (7,6%) dan lautan 658.294 Km2 (92,4%). dan secara Administratif Provinsi Maluku terbagi menjadi 2 Kotamadya dan 9 Kabupaten. Dengan jumlah penduduk sebesar 1.831.880 jiwa (data: BPS 2018).
Sebagai provinsi berciri kepulauan kita diperhadapkan pada fakta geografis sebagai tantangan utama pembangunan. Rentang kendali pemerintahan yang sangat besar menyebabkan pelayanan publik tidak berjalan efektif dan efisien. wilayah geografis yang luas juga berkonsekuensi pada pelayanan publik biaya tinggi (high-cost public services).
Di sisi berbeda, paradigma politik anggaran negara yang diatur dalam ketentuan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah tidak memberi ruang fiskal yang cukup untuk memastikan konsolidasi pembangunan berjalan dengan baik. Formula redistribusi fiskal terlalu berorientasi daratan (continental centris), dengan hanya memasukan wilayah darat dan jumlah penduduk dalam mekanisme perhitungan besaran-kecilnya transfer anggaran ke daerah.
Itu artinya, Maluku hanya mendapat sedikit jatah anggaran dari pusat, karena wilayah darat dan jumlah penduduknya yang kecil. Sebagai ilustrasi, APBD Provinsi Maluku tahun 2023 kurang lebih sebesar Rp. 3,02 triliun, jumlah ini bahkan lebih kecil dibandingkan dengan APBD kabupaten indramayu di Jawa Barat yang memiliki APBD sebesar Rp. 3,3 triliun walau luas wilayah mereka hanya 2.099 km2.
Problema berikut menyangkut disparitas atau ketimpangan pembangunan antar wilayah di Maluku, ini berkelindan dengan faktor geografis di atas. Selama ini pertumbuhan ekonomi tersentralisasi di pusat kota pemerintahan, sementara di daerah-daerah yang jauh tidak mendapatkan impact apa-apa karena kurangnya mobilitas barang dan jasa, keterbatasan konektivitas, serta faktor teknis menyangkut pola alokasi anggaran yang tidak proporsional. Kesenjangan pula terpotret dalam hal infrastruktur, pendidikan, kesehatan.
Jika moratorium dicabut dan proses pemekaran 13 usulan DOB terlaksana, maka akan memberi efek besar terhadap lanskap pembangunan di Maluku. Pemekaran yang diikuti dengan peningkatan volume transfer anggaran ke daerah memicu percepatan pembangunan di berbagai aspek, memperpendek span of control, dan menciptakan sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru di Pulau Seram, Pulau Buru kepulauan Maluku Tenggara dan Pulau-pulau Lease.
Penulis adalah intelektual muda Maluku dan aktif di Komunitas Penulis Maluku