Oleh: Tammat R. Talaohu
Sebagian dari tulisan ini telah terpublikasikan di salah satu media cetak beberapa waktu lalu, begitu juga dengan materi tulisan ini yang menjadi bagian dari buku saya: “Garis Perjuangan Partai Golkar” (2019).
Meski begitu, saya merasa perlu untuk memproduksi tulisan itu kembali mengingat Maluku saat ini, sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia, sedang mempersiapkan infrastruktur sosial, ekonomi dan politiknya guna menyelenggarakan Pemilu serentak pada 2024 yang akan datang.
Agenda nasional ini begitu krusial dalam menentukan perjalanan bangsa, maka membicarakannya sejak dini menjadi mendesak. Demikian halnya dengan daerah seperti Maluku. Daerah dengan ciri kepulauan terbesar di Indonesia ini mesti menggunakan momentum 2024 dimaksud sebagai titik pijak untuk berlari mengejar ketertinggalannya.
Salah satunya dengan menempatkan para politisi yang berkemampuan dan bersih dalam mengisi jabatan-jabatan publik seperti kepala daerah atau anggota DPRD. Dalam pengantar buku “Erdogan; Muadzin Istanbul, Penakluk Sekularisme Turki”, politik dijelaskan sebagai seni menjalankan kekuasaan dan mengatur rakyat yang dipimpinnya.
Politik juga berarti menjalankan strategi yang jitu dan gemilang untuk kemaslahatan masyarakat. Karenanya, untuk tujuan itu, terkadang seorang politisi atau pemimpin harus pintar-pintar bersiasat, lihai menggunakan sarana yang tersedia dalam gelanggang politik, untuk kemudian meraih apa yang dicita-citakannya.
Pragmatisme terkadang memang sulit dihindari, namun bukan berarti tak bisa disiasati. Yang terpenting, pragmatisme tidak menjadi identitas, melainkan siasat untuk meraih kemenangan. Politisi yang menjadikan pragmatisme sebagai identitas politik, ia akan terjerembab dalam kepentingan sesaat, melacur pada kekuasaan, dan larut dalam euforia demokrasi yang sejatinya adalah alat, bukan tujuan.
Ketika kekuasaan sudah di tangan, maka identitas harus lebih ditegaskan. Penjelasan serupa disampaikan oleh seorang profesor politik dari Universitas Cambridge, Inggris, Danis Runciman. Ia membedakan apa yang terjadi di Suriah dengan di Denmark (Kompas, 21 Februari 2016).
Menurutnya, perbedaaan antara Suriah – yang sekarang dikuasai perang, yang dibanjiri darah rakyatnya, yang menjadi korban perang, yang dicemari oleh sepak terjang dan keganasan kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang ditinggalkan jutaan rakyatnya untuk mengungsi, dan yang tak mampu memberi makan rakyatnya – dan Denmark yang makmur, rakyatnya hidup aman, nyaman dan damai, yang melindungi rakyatnya, yang beradab, dan tentu yang maju dan modern – adalah politik.
Politik telah membantu Denmark menjadi seperti sekarang ini. Politik juga telah memberikan andil pada Suriah menjadi seperti sekarang ini. Akan tetapi, itu bukan berarti bahwa politik yang bertanggung jawab atas segala sesuatu menjadi baik atau menjadi buruk di suatu tempat.
Politik, menurut Plato, adalah seni merawat jiwa. Karena itu, tugas politisi adalah menanamkan nilai-nilai kebajikan pada para warganya. Ini berarti, politik mendasarkan pada komitmen terhadap nilai-nilai kebajikan. Dalam penjelasan yang lain, dapat dikemukakan bahwa aktivitas politik merupakan sebuah kegiatan yang melibatkan ilmu, seni dan keterampilan.
Ilmu dibutuhkan untuk menyesuaikan tujuan-tujuan dengan alokasi sumber daya yang terbatas, seni dibutuhkan untuk mengelola perbedaan, dan keterampilan dibutuhkan untuk membuat skala prioritas. Penerapan dan pengelolaan politik dengan pemahaman seperti ini akan menghindarkan kita dari sikap arogan, korup, mau menang sendiri dan kerap mengabaikan tanggung jawab utamanya pada upaya mewujudkan kemakmuran bersama.
Dengan menganut sistem politik yang semakin terbuka dan demokratis dimana penentuan pemimpin di semua level telah dilakukan secara langsung, maka maju tidaknya negara atau suatu daerah akan lebih banyak ditentukan oleh seberapa baik kualitas pemimpinnya dan seberapa baik lembaga-lembaga demokrasi yang dimiliki bekerja.
Dalam kasus di atas, Suriah jelas merupakan negara gagal, karena kualitas pemimpinnya yang bermasalah, begitu pula dengan lembaga-lembaga demokrasinya. Suriah, dan beberapa negara Timur Tengah yang sedang bergejolak, merupakan contoh dimana pemimpin merupakan faktor determinasi bagi maju tidaknya negara.
Kita dapat menghubungkan penjelasan ini dengan situasi rumit saat ini dalam perang Rusia-Ukraina, atau mengajukan pertanyaan menggugat; “Apakah ketertinggalan Maluku saat ini disebabkan oleh para politisinya yang tidak kredibel? atau maju tidaknya kebanyakan daerah di Indonesia pasca reformasi linier dengan kualitas pemimpin daerah dan sikap para politisinya?
Bagaimanapun, momentum pemilihan umum serentak 2024 nanti selalu menjadi media yang tepat untuk mendapatkan politisi sekaligus pemimpin dengan kualifikasi sebagaimana didefinisikan oleh Plato di atas. Setelah Pilkada serentak tahapan pertama selesai beberapa tahun lalu masyarakat Indonesia, termasuk Maluku, akan kembali mempersiapkan diri untuk mengikuti Pemilu, Pilpres dan Pilkada pada 2024 nanti.
Bagi para positivis, Pemilu semacam ini tak lebih dari rutinitas demokrasi lima tahunan yang tak punya efek berarti bagi perbaikan nasib warga kebanyakan. Terlebih ketika hal ini dihubungkan dengan silih bergantinya para kepala daerah yang telah terjadi beberapa kali sejak pemilihan kepala daerah langsung diperkenalkan sebagai buah dari reformasi 1998.
Nasib masyarakat Maluku memang secara bertahap sedang mengalami perbaikan, tetapi itu berlangsung dengan sangat lambat. Butuh kerja keras untuk menjadikan Maluku menjadi lebih baik lagi. Ini penting untuk menjadikan demokrasi bekerja secara paralel dengan upaya untuk menciptakan kemakmuran bersama.
Umumnya, daerah-daerah di Maluku masih tertinggal dalam banyak hal. Beberapa diantaranya bahkan berstatus sebagai daerah dengan kemiskinan ekstrim. Situasi ini tidak mengenakkan karena sudah begitu lama kondisi ini berlangsung dan pemerintah pun diperhadapkan dengan keterbatasan fiskal untuk membebaskan daerah-daerah itu dari ketertinggalannya.
Tetapi bagi para ideolog dan para agen perubahan, tahapan Pemilu serentak 2024 tetap menyimpan asa untuk dilakukannya perbaikan, sekecil apapun itu. Setiap tahapan demokrasi tetap harus dimaknai sebagai celah untuk memperbaiki nasib bersama, dimulai dengan secara bertanggung jawab dalam memilih para politisi sebagai anggota DPRD secara tepat.
Yakni politisi yang visinya mampu menghimpun energi konstituennya untuk bergerak secara bersama melangkah maju. Politisi yang selalu turun ke bawah untuk menyerap aspirasi rakyatnya sekaligus menawarkan solusi secara tepat dan berhasil guna.
Politisi yang antara ucapan dan perbuatannya adalah segaris, yakni politisi yang ketika berbicara maka semua penghuni langit dan penduduk bumi akan berhenti sejenak untuk menyimak getar suaranya.
Meski politisi dengan kategori ini terlalu ideal dan sulit untuk ditemukan di tengah-tengah hiruk pikuk praktek politik yang transaksional, tetapi jika DKI Jakarta bisa menghasilkan kepala daerah sekelas Anies Baswedan, atau Maluku yang pernah menelorkan aktivis politik Maluku zaman pergerakan seperti A.M. Sangadji, MR. J. Latuharhary, Dr. J. Leimena, dll.
Itu artinya daerah-daerah di Maluku seharusnya juga memenuhi syarat untuk melahirkan pemimpin dengan kualitas yang menyamai para negarawan itu. Masyarakat di kepulauan Maluku tidak butuh politisi yang saat kampanye paling banyak berjanji, paling banyak menebar slogan melalui poster dan gambar yang dipaku di pepohonan, atau yang paling bisa membayar untuk “membeli” suara rakyat.
Mereka itu adalah para politisi penunggu pohon, yang mata dan telinganya tidak terlatih untuk mendengar rintihan rakyatnya. Mereka itulah politisi yang akan sibuk mengembalikan biaya kampanyenya ketimbang membuat asap mengepul di dapur rakyatnya.
Tentu pemimpin yang kita kehendaki adalah pemimpin yang memiliki komitmen kuat terhadap nilai-nilai kebajikan, yakni mereka yang memiliki seni dalam merawat jiwa. Semoga Pemilu 2024 nanti menjadi berkah bagi Maluku dan orang-orangnya. Itulah pendapat saya. Apakah anda setuju?
Penulis adalah Wakil Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Maluku