Perang Alaka: Heroisme Rakyat Uli Hatuhaha Melawan Penjajah Eropa

0
7389

Kedatangan Bangsa Barat di Maluku

Bangsa Portugis merupakan orang barat pertama yang dilihat oleh orang Maluku adalah sekelompok pedagang dan tentara yang kedinginan yang terdampar di pulau Penyu tak jauh dari pantai Hitu. Hal ini terjadi pada tahun 1512. Rombongan yang celaka ini dipimpin oleh Fransisco Serrao yang sebenarnya merupakan sebagian utusan Panglima Portugis Alfonso d’Albuquerque yang pada tahun 1511 telah menduduki Malaka.

Para penguasa di Hitu menerima mereka dengan ramah setelah mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang datang dari dunia barat untuk berdagang. Berita kedatangan ini diteruskan pula ke raja-raja Maluku. Sultan Bayanullah dari Ternate melihat suatu kesempatan untuk meluaskan perdagangan wilayahnya. Adiknya, Kaicili (Prince) Darwis, segera dikirim ke Hitu untuk membawa orang-orang Portugis ke Ternate. Dengan demikian sampai juga rombongan Serrao di kepulauan cengkeh itu.

Sultan Tidore juga mencoba mengambil keuntungan dengan kedatangan orang-orang Portugis tapi terlambat mengirim utusannya. Dengan demikian kerajaan Ternate berhasil memajukan perdagangannya. Tapi hal ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1522, orang-orang Tidore dapat mengadakan hubungan dagang dengan orang-orang Spanyol yang datang melalui Philipina.

Keretakan Hubungan Ternate dan Portugis sebenarnya telah dapat dilihat sejak semula. Ini disebabkan karena hubungan itu tidak serasi, tidak seimbang. Selain itu juga disebabkan karena perbedaan pandangan hidup antara orang Portugis yang Kristen dan orang-orang Ternate yang Islam. Pada saat itu perbedaan antara kedua agama ini tajam sekali. Mereka berada di Ternate sampai tahun 1575, kemudian diusir oleh Sultan Babullah.

Mereka kemudian pergi ke Ambon dan Malaka. Kemudian datang armada dagang Belanda ke Ambon, pada tahun 1599 yang dipimpin oleh Admiral Warwijck, kemudian pada tahun 1601 datang lagi suatu armada lain yang dipimpin oleh Admiral Steven van der Haghen yang disusul dengan armada van Heemskerck. Penduduk Hitu sangat ramah menyambut armada ini karena sikap permusuhan orang-orang Belanda terhadap Portugis.

Salah satu usaha orang-orang Hitu untuk bersekutu dengan orang-orang Belanda adalah untuk mempertahan-kan kerajaan mereka. Sayangnya persekutuan yang di mulai sejak tahun 1599 itu berakhir dengan perang sejak tahun 1634. Perlu diketahui sejak Admiral van der Haghen berhasil menakluk-kan orang-orang Portugis dan merebut benteng mereka di Leitimur, maka selanjutnya VOC menganggap dirinya penguasa di Leitimur, Haruku, Saparua dan Nusalaut.

Perang Alaka l

Pada saat terjadi pembunuhan terhadap Sultan Hairun, maka sejak Tanggal 28 Februari 1570 sampai tahun 1575 terjadi perang antara kerajaan Ternate dengan Portugis. Yang memaklumat perang tersebut adalah Sultan Babullah, putera Sultan Hairun yang diangkat menjadi Sultan Ternate.

Pada saat itu Babullah bersumpah tidak akan menghentikan perang sebelum semua orang Portugis terusir dari Ternate. Setelah pengepungan benteng Portugis di Ternate selama 5 tahun. Akhirnya orang-orang Portugis menyerah setelah persediaan makanan mereka habis. Mereka kemudian pergi ke Ambon dan Malaka.

Perang selama 5 tahun itu berkobar juga di pulau Ambon dan sekitarnya. Pasukan Hitu dengan diam-diam mendekati benteng Portugis di Ambon kemudian membakarnya. Ini merupakan kekalahan besar yang dialami oleh Portugis.

Kepala Portugis di Ambon da Sylva mengambil keputusan untuk melarikan diri ke Malaka. Salah seorang Portugis yang bernama Sancho Vasconcellos memutuskan untuk tidak lari. Kemudian ia membuat suatu benteng baru di Leitimur di tempat yang bernama Urtetu.

Dari benteng inilah Portugis merencanakan penyerangan ke daerah yang penduduknya beragama Islam. Mula-mula Kerajaan Hatuhaha akan diserang sebagai balasan terhadap serangan orang-orang Hatuhaha terhadap koloni Portugis di jazirah Uli Hatuhaha.

Hal ini terjadi pada tahun 1571. Dengan adanya informasi tersebut, maka Kapitan-Kapitan dari Amarima Lounusa mengadakan Mosonipi (musyawarah) di Amahatu, lalu mereka mengutus Kapitan Moni dan Kapitan Payer dari Sameth untuk mengecek kegiatan Portugis di Ambon.

Ternyata Portugis sedang mengadakan persiapan-persiapan untuk menyerang Kerajaan Islam Hatuhaha, kedua Kapitan tersebut kepada pimpinan-pimpinan Hatuhaha mengadakan persiapan-persiapan untuk menghadapi serangan dari pihak Portugis. Perempuan dan anak-anak diungsikan ke tempat yang aman, karena kota Alaka akan dijadikan benteng pertahanan termasuk daerah Hatu Alasia, Huamalelei, pos depan di Matasiri sampai Perigi lima dan Gunung Kita Kutu sampai Aumail, dimana daerah-daerah tersebut harus dijaga ketat.

Sedangkan di daerah Asupu sampai di Gunung Aha, Noni, Air Risya dan Lana diserahkan kepada kelompok Monia Tihusela. Tidak lama kemudian terlihat 2 buah kapal dari Tanjung Hutumuri menuju Tanjung Oma (Haturelen) dan menurunkan sebagian pasukan di Oma. Pasukan ini akan bergerak ke benteng Alaka melalui Gunung Noni, dalam perjalanan orang-orang Portugis bertemu dengan seorang tua yang bernama Pattinama Latu dan menanyakan kepada orang tua tersebut, perihal jalan menuju benteng Alaka. Pattinama Latu mengatakan bahwa tidak ada jalan di sini selain jalan setapak tapi sukar dilalui, sesuai pepatah berikut :

Portugis irowa lala teu-teu’o
Samaninia lalano unania’ei
Ipatania Pattinama Latua
Taha lalan suwetine

Ternyata Pattinama Latu menunjukan jalan yang salah, akhirnya orang-orang Portugis terpaksa kembali ke pantai dan naik ke kapal. Selanjutnya mereka berlayar dari tanjung Oma menuju pesisir pantai jazirah Uli Hatuhaha melintasi Waerusia Haruku sampai di Totu.

Ketika mereka sampai di Tapuraloi arah ke utara dari Totu, saat itu juga keluarlah seekor ular naga dari lubang batu dan menenggelamkan kapal Portugis tersebut, semua orang Portugis yang berada di kapal tersebut meninggal dunia. Sehingga masyarakat Uli Hatuhaha menamakan lubang batu tersebut dengan nama Goa Ular (Nia Owanyi), yang hingga sekarang ular masih tetap keluar dari lubang batu tersebut.

Kejadian tersebut membuat orang-orang Portugis menganggap pelayaran melalui pesisir pantai sangat berbahaya, seminggu kemudian Sancho Vasconcellos mengirim dua buah kapal lagi dengan pasukan yang tangguh. Satu kapal menuju Saparua (Kerajaan Islam Iha Ulupalu) dan satu lagi menuju jazirah Uli Hatuhaha, dan mendarat di pelabuhan Haita namalatu (Matasiri/Pelauw).

Mereka kemudian membuat sebuah benteng di Namalatu (Matasiri) untuk melindungi mereka dari serangan orang-orang Hatuhaha, namun pihak Portugis selalu hidup dalam keadaan takut karena pasukan Hatuhaha seringkali mengadakan serangan-serangan secara tiba-tiba kemudian menghilang. Ketika Portugis mengadakan patroli di sekitar Matasiri, mereka bertemu dengan beberapa wanita yang turun dari benteng Alaka untuk mencari bia (siput).

Wanita-wanita tersebut dikejar oleh pihak Portugis dan mereka berhasil menangkap seorang, lalu wanita tersebut dibawa ke benteng Namalatu, saat pemeriksaan wanita tersebut tidak dapat menjawab satu pertanyaan pun, terpaksa wanita itu disuruh kembali ke tempat asalnya (benteng Alaka) dengan diberikan bahan-bahan makanan seperti kue-kue dan sekarung beras yang telah dilobangi. Orang-orang Portugis mengikuti wanita tersebut dari belakang sesuai dengan beras yang tercecer sepanjang jalan dan mereka sampai di Louwi, dimana jarak dari Louwi ke benteng Alaka kira-kira 1 km.

Orang-orang Portugis kemudian kembali ke benteng Namalatu guna mengadakan persiapan-persiapan untuk menyerang benteng Alaka. Sebelum melakukan penyerangan ke benteng alaka, pimpinan Portugis mengirim satu pasukan untuk mengintai suasana di sekitar benteng Alaka, tiba-tiba mereka diserang oleh pasukan Hatuhaha menyebabkan mereka kembali ke benteng Namalatu dan memberitahu-kan kepada pimpinan mereka, bahwa orang-orang Hatuhaha telah mengadakan persiapan-persiapan guna menghadapi pasukan Portugis.

Dengan kondisi yang demikian, Portugis kemudian membuat benteng-benteng pertahanan seperti benteng Haita Huniase di Kabauw, benteng Haita Pesy di Rohomoni dan benteng di Haruku/Sameth, agar dengan mudah dapat melakukan penyerangan ke benteng Alaka. Keadaan ini telah sampai kepada pimpinan Kerajaan Islam Hatuhaha. Pimpinan Hatuhaha kemudian memerintah-kan semua Kapitan untuk mempertahan-kan benteng Alaka sampai titik daerah penghabisan.

Pertahanan Hatuhaha di bagi menjadi dua sektor, sektor pertama meliputi daerah Hatuamen, Auwael-Waelapia dan sekitarnya dipimpin langsung oleh Panglima Perang Hatuhaha Kapitan Akipai dan Kapitan Henai Marabali, sektor kedua meliputi daerah Amatomu, Gunung Noni sampai daerah Kita Kutu dipimpin oleh Kapitan Monia Tihusela, Kapitan Resi Tomalane dan Kapitan Patti kasim, serta dibantu oleh Kapitan Pattipeilohy dan anak buahnya dari Kerajaan Islam Iha Ulu Palu di jazirah Hatawano (Saparua). Hal ini disebabkan, karena Kerajaan Islam Hatuhaha dan Kerajaan Islam Iha Ulu Palu saling bantu membantu dalam menghadapi Portugis. Sedangkan sektor Gunung Asupu dibiarkan terbuka, karena Portugis sukar melintasi gunung tersebut.

Saat fajar menyingsing, mulai kelihatan pasukan Portugis yang bergerak melalui Wae Irae, kedua pasukan ini akan ketemu di Wae Usiyuei kemudian bergerak ke Kita Kutu. Tiba-tiba daerah Kita Kutu ditutupi oleh kabut disertai dengan angin topan sehingga daerah tersebut menjadi gelap, akibatnya Gunung Alaka hilang dari pandangan orang Portugis. Orang-orang Portugis sangat takut sekali dengan keadaan ini pasukan Hatuhaha melakukan taktik sergapan, serangan-serangan dilangsungkan dengan sangat tiba-tiba dan diam-diam dari semua jurusan.

Hampir seluruh pasukan Portugis dibunuh, hanya tinggal beberapa orang yang berhasil meloloskan diri dan kembali ke benteng Namalatu Matasiri. Pasukan Hatuhaha kembali mengambil posisi di benteng Alaka untuk menjaga jangan sampai ada serangan balasan.

Dalam perang Alaka I inilah timbul satu semboyan untuk masyarakat Uli Hatuhaha:

Baca Juga  Akhirnya Loppies Ditetapkan Sebagai Mata Rumah Parenta Di Negeri Hatalai

Hatuhahai
Hahale pela hahale toma hatirisa lotomena roti lounusa
Kala nusa Hitu, taha kala nusa Hatuhahai barakate
Barakate Hatuhaha Naga Yarimau.

Semboyan ini melambangkan suatu keyakinan yang teguh untuk masyarakat Uli Hatuhaha, yang berwatak keras, sehingga dalam setiap peperangan mereka pantang mundur. Dengan kekalahan ini orang-orang Portugis mulai menyusun kekuatan kembali dengan jalan meminta bantuan dari pimpinan Portugis di Malaka, menyiapkan beberapa buah kapal yang dilengkapi dengan meriam, serta pada setiap benteng ditempatkan meriam seperti benteng Namalatu Matasiri, benteng Huniyasi Samasuru, benteng Haruku Sameth.

Rencana Portugis ini cepat diketahui oleh masyarakat Uli Hatuhaha, sehingga untuk menghadapi serangan-serangan dari Portugis. Panglima perang Hatuhaha Kapitan Akipai paria memerintah-kan Kapitan Henai Marabali agar mengumumkan kepada masyarakat Amaria Lounusa, untuk menghadiri musunipi yang akan di-laksanakan di benteng Alaka. Dalam musunipi tersebut salah seorang yang bernama Kapitan Leisina Noya dari Haturesi Rakanyawa (Hulaliu) mengusulkan agar mempersiapkan kayu-kayu besar di bukit benteng Alaka, sehingga bila pasukan Portugis mendaki bukit benteng Alaka, sehingga bila pasukan Portugis mendaki gunung Alaka maka kayu-kayu tersebut dilepaskan dan menindih mereka.

Berita ini tersebar di beberapa daerah, sehingga bala bantuan pun datang, dari Kerajaan Iha Ulu Palu dipimpin oleh Kapitan Pattipelohi, Kapahaha (Leitimur) Ambon, Nunusaku Seram (Haitala) dan sebagainya. Pertempuran-pertempuran berjalan sengit, tembakan bertubi-tubi dilepaskan dari armada-armada maupun dari benteng-benteng Portugis namun tidak mencapai sasaran.

Bersamaan dengan itu pasukan Portugis pun mulai melangsungkan perang darat, mereka mulai mendaki gunung Alaka, pada saat itu juga pasukan Hatuhaha melepaskan kayu-kayu besar yang telah dipersiapkan, sehingga banyak pasukan mati tertindis. Serangan-serangan dengan taktik ini demikian berhasil sehingga pasukan Portugis terpaksa mengakui kekalahan.

Portugis kemudian memberi kebebasan kepada masyarakat Uli Hatuhaha dan keadaan jazirah Hatuhaha mulai tenang kembali. Dalam perang ini banyak juga korban dari pihak Hatuhaha seperti Kapitan Pattipelohi dan anak buahnya, dari pihak Uli Hatuhaha sendiri maupun dari Nunusaku.

Setelah berakhirnya perang Alaka I ini, datanglah ke jazirah Uli Hatuhaha Kapitan Aipassa menanyakan tentang Kapitan Pattipelohi dan anak buahnya, ternyata mereka telah gugur sebagai pahlawan. Kemudian Kapitan Aipassa ingin bertemu dengan Kapitan-Kapitan, Tua-Tua adat dan pemuka masyarakat Uli Hatuhaha guna membicara-kan persahabatan antara jazirah Hatawano dengan jazirah Hatuhaha Amarima Lounusa.

Dalam pertemuan tersebut lahirlah suatu keputusan bersama yang menegaskan bahwa jazirah tersebut merupakan kakak beradik, yang dikenal dengan nama wari-wa’a. pada tahun 1599 berakhir-lah segala permusuhan antara Kerajaan Islam Hatuhaha dengan orang-orang Portugis, kemudian muncul-lah bangsa Belanda pada tahun 1599.

Perang Alaka II 

Baca Juga  Pemkot Ambon Dukung Perhelatan ‘Football for Peace’ oleh Beta Sport

Kedatangan orang-orang Belanda (VOC) pada 1599 ke Maluku, dengan ekspedisi I yang dipimpin oleh Admiral Warwick, kemudian pada tahun 1601 datang lagi satu armada lain yang dipimpin oleh Admiral Steven van der Haghen yang disusul dengan armada van Heemskerck. Dinama pada saat itu Portugis masih menguasai 4 daerah, antara lain jazirah Leitimur (Ambon), jazirah Uli Hatuhaha (Haruku), jazirah Hatawano (Saparua) dan Nusalaut. Setelah Admiral van der Haghen berhasil mengalahkan orang-orang Portugis dan merebut benteng mereka di Leitimur, pada saat itu juga Belanda (VOC) menganggap dirinya penguasa di 4 daerah tersebut di atas.

Pada 1637, Kompeni Belanda mulai melancarkan penekanan-penekanan dalam bentuk monopoli hasil-hasil rempah seperti cengkeh dan pala. Di nama masyarakat Uli Hatuhaha dipaksa dan diharuskan hanya menjual cengkeh dan pala-nya kepada kompeni Belanda dengan ketentuan harga yang amat rendah.

Selain itu juga ada persyaratan-persyaratan lain seperti pala dan cengkeh harus diseleksi. Misalnya jika terdapat sedikit kotoran atau hal-hal yang tidak sesuai dengan seleksi kompeni Belanda (VOC), maka cengkih dan pala tersebut tidak dibayar, tetapi disita ataupun kalau jadi dibeli, maka Kompeni Belanda tidak membayarnya dengan uang tunai, tapi diberi semacam bon dari kulit kayu.

Selain itu Kompeni Belanda (VOC), menganggap masyarakat Uli Hatuhaha adalah masyarakat belum beradab sebab mereka masih beragama Islam. Ternyata dari 5 negeri yang tergabung dalam Uli Hatuhaha, hanya negeri Haturesi (Hulaliu) yang berhasil dikristenkan pada saat berakhirnya perang Alaka II.

Oleh karena itu, usaha-usaha untuk mengkristenkan masyarakat Uli Hatuhaha inilah semakin mempertebal rasa dendam umat Islam terhadap Belanda (VOC), serta rencana pembunuhan terhadap Kapitan Rumbesi Matakauw oleh Belanda (VOC). Hal ini disebabkan kisah cinta antara Kapitan Rumbesi Matakauw dengan putri Raja Waai, dimana puteri Raja Waai dipaksakan oleh orang tuanya, untuk kawin dengan putera Raja Hila yang bernama Mustafi Hasan dan ibunya berasal dari Sahapori (Kailolo).

Karena rasa cintanya yang tulus kepada Kapitan Rumbesi Matakauw, maka puteri Raja Waai nekad bunuh diri daripada harus kawin dengan Mustafi Hasan. Sebelum Puteri Raja Waai tersebut melaksana-kan niatnya, dia menulis sepucuk surat kepada kekasihnya (Rumbesi Matakauw), agar jenazahnya dimakamkan di Jazirah Uli Hatuhaha.

Raja Waai tidak bisa menerima perlakuan ini, Beliau kemudian melaporkan peristiwa ini kepada Kompeni Belanda (VOC). Kompeni Belanda kemudian memerintahkan penangkapan terhadap Kapitan Rumbesi Matakauw hidup atau mati. Hal ini disebabkan pada saat itu Raja Hila adalah orang yang sangat dipercayai oleh Kompeni Belanda (VOC), sehingga Raja Hila diangkat menjadi Contuler (Camat).

Pada awal 1638, masyarakat Uli Hatuhaha mengumumkan perang kepada Kompeni Belanda (VOC). Tampil-lah Kapitan-kapitan yang gagah perkasa, yang berulang kali mematahkan gelombang-gelombang serangan Kompeni Belanda (VOC). Pertempuran pantai di-semua sektor berkobar, berulang kali pasukan Hatuhaha menghancurkan inti pasukan Belanda, sehingga pihak Belanda dibawah pimpinan Anthony van Diemmen memberi julukan sinis terhadap pasukan Hatuhaha itu sebagai “de stridj tegen de Moorse rebellen van Alaka”.

Sementara itu, pimpinan Belanda (VOC) di Ambon secepatnya mengakhiri peperangan dengan Kerajaan Islam Hatuhaha sebab di Leitimur ada timbul perang baru yang dipimpin oleh Kapitan Achmad Telukabessy (1643). Untuk itu Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya untuk merebut benteng Alaka, namun selalu gagal. Barisan-barisan pertahanan pasukan Hatuhaha di-sektor Sahapori (Kailolo) yang dipimpin oleh Kapitan Halapiri (Upu Anta) berhasil menghancurkan serangan Belanda di sektor Samasuru (Kabauw) dan Mandelisa (Rohomoni) di bawah pimpinan Kapitan Rumbesi Matakauw, pertempuran semakin hebat dengan datangnya bala bantuan dari Kerajaan Islam Iha Ulu Palu Saparua dibawah pimpinan Kapitan Aipassa (Tuhaha) sebab bantuan inilah yang menjadi dasar timbulnya hubungan pela antara negeri Amarima Lounusa dengan Tuhaha.

Dengan kehancuran total pasukan Belanda di sektor Sahapori (Kailolo) serta kuat dan tangguhnya pertahanan pantai di sektor Samasuru (Kabauw) dan Mandelisa (Rohomoni). Belanda semakin banyak mendatangkan bantuan reguler yang masih segar dari Ambon. Serangan dari laut dilipatgandakan sementara pasukan tempur didaratkan dengan tujuan menghancurkan kekuatan pasukan Hatuhaha di semua sektor pantai karena Belanda (VOC) ingin secepat mungkin mengakhiri Perang Alaka II.

Hal ini disebabkan oleh dua alasan, antara lain : 1) Di Jazirah Leitimur (Ambon), Achmad Telukabessy mulai mengadakan serangan-serangan terhadap pos-pos Kompeni Belanda di berbagai tempat. Ini berarti apabila pasukan Hatuhaha tidak dapat ditundukkan dalam waktu dekat maka eksistensi Belanda (VOC) berada dalam posisi sulit. 2) Di Eropa, badai peperangan antara Belanda dan Spanyol (1568-1648), dimana arus pertentangan antara umat Protestan dan Katolik secara politis turut mempengaruhi hubungan Spanyol dan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu pihak Belanda (VOC) amat gusar jika tidak secepatnya mengakhiri Perang Alaka II yang telah banyak menelan biaya maupun personil angkatan bersenjatanya, tentulah akan turut menggoncangkan sendi-sendi kekuasaan Belanda di Maluku bahkan di Indonesia umumnya.

Baca Juga  Fatlolon: Tanimbar itu Ada Nilai Budaya, Sebutan KKT Harus Dihilangkan

Ketakutan itu semakin menjadi dengan serangan-serangan lain terhadap Belanda (VOC) di Hila oleh Kapitan Kakiali dan Kapitan Telukabessy. Menjelang akhir tahun kelima (1642) setelah meletusnya Perang Alaka II, Admiral Anthony van Diemmen dengan segala kekuatannya, mulai dipusatkan menghancurkan kekuatan pasukan Hatuhaha. Segenap kekuatan Belanda (VOC), baik darat maupun laut di Haruku, Ambon dan Saparua, dikerahkan untuk merebut benteng Alaka.

Di pagi subuh, pada Jumat, 28 November 1642, mulai penyerangan besar-besaran dilakukan oleh kompeni Belanda (VOC). Tembakan-tembakan yang beruntun dilancarkan dari kapal-kapal perang Belanda (VOC), diarahkan ke pusat-pusat pertahanan pasukan Hatuhaha, diiringi dengan pendaratan pasukan-pasukan darat. Bumi Hatuhaha bermandikan cahaya api peperangan. Pasukan-pasukan Hatuhaha yang telah siap tanpa keraguan menyerang pasukan darat Belanda (VOC). Di sini hanya berlaku satu pilihan membunuh atau dibunuh.

Anthony van Diemmen menyadari, bahwa apabila pasukannya tidak maju terus maka kekalahan pasti dialami oleh pasukannya. Oleh karena itu tembakan-tembakan meriam terus di-tingkatkan, untuk memberi peluang kepada pasukan darat terus maju ke pusat-pusat pertahanan pasukan Hatuhaha. Dalam sekejap saja, garis pertahanan pantai pasukan Hatuhaha di sektor Sahapori maupun di sektor Samasuru dan Mandelisa hancur total.

Akibatnya semua basis pertahanan pantai dikuasai oleh Belanda (VOC), maka pasukan Hatuhaha mengundur-kan diri ke pusat pertahanan di benteng Alaka. Di saat-saat yang amat genting tersebut, di pusat pertahanan benteng Alaka, timbullah gejala-gejala yang mengkhawatirkan, karena walaupun pasukan Hatuhaha masih kuat, akan tetapi akibat blokade darat dan laut serta serangan terus menerus, mengakibat-kan supply kebutuhan makanan praktis terputus.

Untuk menghadapi kondisi ini, maka semua Kapitan Uli Hatuhaha mengadakan Mosonipi (musyawarah). Dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa peperangan tidak mungkin dilanjutkan, menyerah pun tidak, tidak peduli apakah masyarakat Amarima Lounusa masih ingin melanjutkan peperangan atau tidak.

Dalam keadaan kritis tersebut, tiba-tiba muncul-lah puteri Hatuhaha yang bernama Monia Latuarima. Sosok yang muncul di bumi Hatuhaha bagaikan guntur dari langit di siang yang cerah, tatkala semangat dan harapan rakyat sudah patah, beliau menginjeksi ke dalam rohani pengikutnya semangat baru, bahwa penindasan manusia atas manusia adalah suatu kejahatan yang nyata. Monia Latuarima langsung mengambil alih kepemimpinan perang, dengan pedang di tangan kanan meyakinkan rakyat Amarima Lounusa bahwa perang harus dilanjutkan sampai titik darah penghabisan.

Bumi Hatuhaha yang tadinya mulai lesu, tiba-tiba bangkit kembali semangatnya. Masyarakat Amarima Lounusa diperintahkan membuat jebakan-jebakan maut, berupa batu-batu besar dan batang-batang pohon besar pada segenap sisi dan lereng bukit ditahan dengan tali. Apabila pasukan Belanda (VOC) sudah mencapai lereng benteng, tali-tali kemudian diputuskan, batu-batu besar dan batang-batang kayu raksasa akan meluncur ke arah sasaran. Inilah taktik perang kuno yang paling mendatangkan kerugian pada pihak Belanda (VOC) sepanjang sejarah perang Alaka.

Tampilnya Monia Latuarima sebagai pimpinan perang Alaka II, dengan siasatnya perangnya yang lebih banyak mendatangkan kerugian pada pihak Belanda (VOC), membuat rakyat lebih bersemangat. Kelihatannya pihak Belanda mulai mengalami kemelut baru, pemerintah kompeni Belanda di Ambon mengambil tindakan tegas, yakni perang Alaka II segera ditumpas dan perintah penangkapan terhadap Monia Latuarima hidup atau mati.

Anthony van Diemmen, kali ini harus meyakinkan pasukannya bahwa kehormatan Belanda (VOC) di jazirah ini sedang teruji, apabila perang Alaka II ini tidak cepat diselesaikan, maka kekuasaan Belanda (VOC) akan terancam untuk selama-lamanya. Atas dasar ini Anthony van Diemmen mengambil resiko paling berbahaya, tidak peduli berapa kerugian material maupun personal nanti, seluruh kekuatan bersenjata dari Haruku, Saparua dan Ambon kembali dihimpun dan dikerahkan. Pasukan Belanda (VOC) melancarkan serangan-serangan yang mematikan.

Walaupun Monia Latuarima dengan para Kapitannya, berusaha bertahan, tetapi pada akhirnya mereka harus mengakui keunggulan dan kelebihan pihak Belanda (VOC), terutama dalam hal persenjataan dan perbekalan. Benteng Alaka yang tangguh dapat dikuasai pada akhir 1644, bertepatan dengan meletusnya perang Kapahaha di Leitimur (Hitu) di bawah pimpinan Kapitan Achmad Telukabessy. Sang Srikandi Monia Latuarima, bersama pengikutnya masuk ke hutan dan melakukan perang gerilya, namun kekuatan mereka telah lumpuh. Dengan kemenangan ini, Belanda (VOC) mulai melakukan praktik-praktik lamanya, menghisap rakyat dan menghina agama umat yang dijajahnya.

Sang Srikandi Monia Latuarima, hilang dalam kabut misteri sejarah dan kisahnya maupun kepahlawanannya, tetap diperdengar oleh masyarakat Amarima Lounusa. Terutama pada saat perayaan adat, dalam bahasa lania dan syair-syair sejarah yang indah dan mengharukan.

Sesungguhnya perang Alaka adalah juga sebuah perang besar yang pernah terjadi di Maluku, yakni pada 1571, perang melawan bangsa Portugis yang dikenal dengan nama Perang Alaka I, sedangkan pada 1638 perang melawan kompeni Belanda (VOC) yang dikenal dengan nama Perang Alaka II. Bukti-bukti historisnya masih dapat diperoleh sampai saat ini di negeri-negeri Amarima Lounusa di pulau Haruku. Bukti-bukti benteng, meja musyawarah serta bukti-bukti sejarah lainnya masih tetap utuh dan dipelihara dengan rapi oleh anak cucunya.

Sumber: Blog pribadi Matt Tuankotta http://matttuankotta.blogspot.com