Perempuan Sebagai Arah Pembangunan

0
1472

Oleh : Armia Tuhuteru

Karakteristik yang sengaja dilekatkan pada kaum perempuan sebagai lambang liabilitas dan stigma makhluk yang lemah harus segera dihapuskan. 

Paradigma egaliter yang tidak bias gender ini bukan saja harus diadopsi oleh laki-laki tetapi juga harus diadaptasi pada kaum perempuan. 

Karena sudah semestinya perempuan bukan lagi dilihat sebagai makhluk yang selalu terdiskriminasi. Lelaki pun demikian, ia tidak bisa terus melihat perempuan sebagai objek eksploitasi. 

Berdasarkan data Komnas Perempuan pada tahun 2022, tercatat sebanyak 3014 kasus kekerasan seksual berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kekerasan seksual di ranah publik atau komunitas.

Belum lagi berita yang sengaja tidak di ‘blow up’ di media. Sangat miris, bila hal semacam ini terus dibiarkan tanpa ada upaya penanganan yang maksimal dari para pemangku kebijakan serta pihak-pihak terkait. 

Perempuan sebagai entitas insani yang penting untuk potensi pembangunan menjadi terdegradasi eksistensinya, walhasil perempuan masih terpuruk dalam konstruksi sosial yang kian ambruk nilai-nilai kesusilaan. 

Hal ini tentu tidak sehat dalam lajur peradaban suatu bangsa. Perpaduan dua jenis manusia, yakni laki-laki dan perempuan haruslah tercipta, agar peradaban yang berkeadaban juga bisa direalisasikan secara mutlak. 

Dalam kaitannya dengan segi kekeluargaan, perempuan juga punya peran yang sangat penting. Kita ketahui bersama bahwa sebagai makhluk insani, perempuan merupakan entitas multitasking serta multitalenta. 

Bukan tanpa bukti bahwa perempuan bisa mengurus persoalan domestik sekaligus pekerjaan non-domestik secara simultan. Ini menjadi fakta keseharian kita, di lingkungan terdekat kita.

Walaupun secara fisik perempuan kerap kali mengalami diskriminasi sosial oleh kaum laki-laki, tetapi pada realitanya, perempuan adalah penyanggah ekonomi dan ekosistem rumah tangga yang sering dilupakan. 

Perempuan dan laki-laki diharapkan untuk saling melengkapi satu sama lainnya tanpa adanya tendensi objektifikasi eksploitatif dari laki-laki atau subjektivitas diskriminatif dari perempuan sendiri. 

Merupakan sebuah kemajuan dan progresifitas bila dalam sebuah konstruksi sosial tidak ada algoritma khusus yang berat sebelah. Sesuatu yang timpani alias tidak adil.

Ini bukan berarti menghasratkan sebuah masyarakat liberal yang liar dan mengalami demoralisasi, akan tetapi masyarakat tercerahkan (enlightenment) yang memancarkan kesetaraan, hak asasi, dan persaudaraan, serta rambu-rambu etika. 

Dan semua ini hanya dapat terjadi apabila keadaan perempuan di suatu negeri sama majunya dengan keadaan laki-lakinya. Hubungan relasi yang seimbang inilah yang akan menghasilkan kesetaraan gender.

Hal ini menjadi tantangan kita juga di Maluku. Pembangunan juga mesti diarahkan untuk lebih menempatkan perempuan secara objektif dan proporsional, atau adil dan setara.

Karena bagaimanapun, kita ada dan hidup di kultur yang patriarki. Itu artinya upaya membangun kesadaran kolektif tentang pemosisian perempuan secara lebih adil dan seimbang harus terus dilakukan. Oleh kita, perempuan dan laki-laki Maluku yang tercerahkan.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Darussalam Ambon, dan aktif di Komunitas Penulis Maluku (KOPI Maluku)