Peringati 58 Tahun Perjanjian New York, Ini 20 Tuntutan Mahasiswa Papua, Salah Satunya Penentuan Nasib Sendiri

0
1422
Peringatan 58 tahun Penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) juga digelar oleh pemuda dan mahasiswa papua di Ambon, Maluku, sabtu 15 agustus 2020 di pelataran gong perdamaian dunia ambon. Foto : Istimewa

TABAOS.ID,- Sabtu, 15 Agustus 2020, secara serentak masyarakat Papua di seluruh dunia turun ke jalan melakukan aksi unjuk rasa memperingati  58 tahun Penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) antara Indonesia dan Belanda yang melibatkan Amerika Serikat sebagai pihak penengah terkait sengketa wilayah West Papua (West Nieuw-Guinea).

Peringatan 58 tahun Penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) juga digelar oleh pemuda dan mahasiswa papua di Ambon, Maluku, sabtu 15 agustus 2020 di pelataran gong perdamaian dunia ambon.

Aksi unjuk rasa ini melibatkan gabungan organisasi mahasiswa papua di Ambon antara lain Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)dan Individu Pro Demokrasi kota Ambon.

Andi Kossay, Koordinator  aksi unjuk rasa dalam orasinya mengatakan penandatanganan Perjanjian New York adalah peristiwa yang sarat kepentingan imperialis dan kolonial (kolonial Belanda maupun Indonesia yang kemudian menjadi kolonial baru). Perjanjian itu bermasalah karena dilakukan tanpa melibatkan rakyat West Papua. Padahal, perjanjian tersebut berhubungan dengan keberlangsungan hidup dan masa depan rakyat dan bangsa West Papua.

“Perjanjian yang mengatur masa depan wilayah West Papua ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur sedikitnya 3 macam hal, di mana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) yang didasarkan pada praktik internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Sementara pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia,” kata Kossay adalam orasinya.

Menurut Kossay, Pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi wilayah West Papua pada pemerintah Indonesia. Setelah transfer administrasi, Indonesia bertanggung jawab mempersiapkan pelaksanaan pembangunan di West Papua dan terutama penentuan nasib melalui referendum sesuai amanah kesepakatan dalam Perjanjian New York. Celakanya, Indonesia malah melakukan pengondisian wilayah melalui berbagai operasi militer untuk menumpas gerakan pro kemerdekaan rakyat West Papua yang menghendaki West Papua untuk mendirikan pemerintahan sendiri.

Baca Juga  Presiden MFC Bertemu Tokoh Maluku Soendeson Tandra, Gagas Kolaborasi Majukan Usia Dini

Celakanya lagi lanjut Kossay, klaim terhadap wilayah West Papua oleh Indonesia dilakukan sebelum proses penentuan nasib dilaksanakan.

“Pada 7 April 1967, Freeport sebagai perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani kontrak pertamanya dengan pemerintah Indonesia. Sementara PEPERA sebagai pengejawantahan referendum yang juga bermasalah itu baru digelar dua tahun setelahnya,” ujar Kossay.

Untuk itu bagi Kossay, Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dilakukan secara tidak demokratis, di mana hanya 1.026 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dibawa tekanan todongan senjata, intimidasi dan teror untuk memilih integrasi ke NKRI. Sehingga cuma 175 orang yang memberikan pendapat dari kurang lebih 800.000 orang Papua yang memiliki hak suara saat itu.

Dalam aksi unjuk rasa ini, mahasiswa yang menamakan diri Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) bersama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) ini membacakan dua puluh tuntutan mereka  diantaranya: Memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat Papua; Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Sebagai Syarat Damai; Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, dan yang Lainnya, yang Merupakan Dalang Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua; Amerika Serikat Harus Bertanggung Jawab atas Penjajahan dan pelanggaran HAM yang Terjadi terhadap Bangsa West Papua; Demiliterisasi Zona Nduga, West Papua. Cabut Peraturan Presiden No. 40/2013 yang melegalkan keterlibatan militer dalam proyek pembangunan jalan Trans-Papua; Buka akses Jurnalis Internasional dan Nasional ke West Papua; Kebebasan Berkumpul, Berpendapat dan Berekspresi bagi rakyat West Papua; Bebaskan seluruh tahanan politik West Papua tanpa syarat; Tolak Otsus Jilid II ; Cabut SK Drop Out sepihak 4 mahasiswa Universitas Khairun Ternate ; Dadien Makarim Segera Pecat Rektor Unkhair Ternate ; BebaskanTapol Maluku Tanpa Syarat ; Bebaskan Jakop Skzypski; Tolak Omnibus Laow ; Sahkan RUU PKS ; Stop Perampasan Tanah Adat di Maluku; Stop Kriminalisasi Advokat Veronika Koman; Gratiskan Biaya Pendidikan di Masa Pandemik Covid 19; Stop jadikan Danau Rana di Pulau Buru Sebagai distinasi Wisata Dunia; dan Tuntaskan Pelanggaran HAM di Indonesia.(T-01)