Perintah Soekarno Bunuh Bangsa Maluku di Jawa: “Verkaart Oorlog Aan Indo’s Menadonezen, En Ambonezen”

0
10553
Foto dari Kiri ke kanan : Johannes Dirk de Fretes, Sekretaris Gubernur Maluku tahun 1945 dan Foto Presiden Republik Indonesia Serikat Soekarno. Foto : Istimewa
Oleh : Butje Hahury

Isu besar selalu berkaitan dengan jiwa bangsa- siapa kita ini, keinginan kita, nasib kita di masa datang, dan di mana posisi kita dalam konstelasi moral universal, kapan semua itu dipersoalkan. Semua itu selalu menjadi isu besar. (El Doctorow -Jawa Post, 6/12/95)

SEGREGASI POLITIK

Pendirian Budi Utomo Mei 1908 oleh beberapa mahasiswa Jawa kedokteran pribumi, STOVIA di Batavia, terilhami oleh semangat dan kegigihan Wahidin Sudirohusodo. Budi Utomo (disingkat BU) bercita-cita “memajukan kerja sama untuk tanah dan rakyat Jawa dan Madura saja secara harmonis”. (C.Th.van Deventer, dalam Elson,2009;16)

R.E.Elson, seorang professor Sejarah Asia Tenggara pada School of History, Philosophy, Religion, and Classics di University of Queensland , Brisbane, Australia, menulis, BU merupakan perwujudan dan kesadaran baru dan solidaritas sosial di antara sejumlah kecil orang Jawa, yang sebagian amat dipengaruhi pemikiran teosofis, yang sinkretis, terpengaruh Timur, luwes dan mistis, dan keterpecahan orang Jawa mengakibatkan mereka dijajah.

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan mereka itu, maka digunakan alat-alat modern berupa organisasi untuk menggalang dan media cetak untuk bersuara. Upaya para mahasiswa di Budi Utomo mewujud dalam latar belakang budaya Jawa yang mereka akrabi. Mereka mencari cara untuk meningkatkan kebanggan atas budaya sendiri (Jawa) dengan menempatkan kembali dan memperkuatnya melalui Budi Utomo.

Jadi keberadaan BU untuk persatukan kaum Jawa dan saling menguatkan di antara sesama mereka yang dekat dalam hal budaya dan tempat, “tidak lebih luas”.(2009;17). Karena itu, nasionalis Jawa terkemuka, Soeriokoesoema menulis, “tetangga-tetangga kita”, harus mengurus sendiri perkembangan budaya mereka. Hindia bukan satu Negara, bukan satu bangsa dengan budaya yang sama”.

Menurut Soeriokoesoemo, “nasionalisme terkait dengan bangsa, bukan dengan tanah, dan didasari pada budaya bangsa tersebut”. Lanjut Soeriokoesoemo lagi, “Ujung-ujungnya, Belanda-lah yang menciptakan Hindia atau Pribumi, sementara orang Jawa ada dengan sendirinya”.

(R.M.S. Soeriokoesoemo dalam Elson, 2009;17,23).

Maka, BU adalah organisasi orang Jawa untuk persatukan dan memajukan Jawa dan Madura saja dan sesungguhnya keberadaan BU bukanlah sebagai ‘kebangkitan nasional Indonesia dari Sabang sampai Merauke’, yang dimitoskan dalam sejarah Indonesia selama ini.

Kesadaran politik Soeriokoesoemo, adalah kesadaran atas realitas dan fakta keterpisahan dan perbedaan sesungguhnya. Sama dengan pandangan Muhlenfeld, seorang Belanda, yang mengatakan : “Orang-orang Filipina dan Melayu penduduk Selat Malaka dan Semenanjung Malaya, walau bukan orang Hindia, jelas-jelas lebih dekat dengan orang Jawa dan Sumatera daripada orang Papua, orang Alfuru (Maluku, dan orang Timor yang termasuk orang Hindia” (Muhlenfeld dalam Elson, 2009;24).

Segregasi wilayah dan kebudayaan menjadi segregasi pikiran, ekspresi perasaan social politik Jawa non Jawa, mayoritas minoritas sebagai fakta, kemudian berkembang dan berlanjut dalam kesadaran politik Indische Partij 1912 (Partai Hindia-bukan Partai Indonesia), yang dimotori oleh priyayi Jawa antara lain Tjipto Mangoenkoesoemo, seorang dokter, yang meletakan dasar-dasar filosofi untuk Negara baru nanti.

Dengan rasa supra lokalisme Jawa, Tjipto Mangoenkoesoemo, menulis : “Saya merasakan tugas suci untuk bekerja sama memulihkan tanah air dan bangsa kita yang tengah terpuruk, dan kalau mungkin mendirikan kerajaan Hindia yang merdeka dari kerajaan lain, versi baru kerajaan Majapahit…” (Elson,2009;21-22).

Segregasi antar bangsa di Hindia Belanda dan berpola pada segment kesadaran politik tumbuh pula di kalangan bangsa Maluku. Kesadaran bangsa Maluku yang terwakili melalui para pelajar mahasiswa dan intelektual Maluku antara lain Mr.J.Latuharhary, sadar bahwa Tanah Air mereka bukan di Jawa, tetapi di Maluku sana.

Maka kerinduan merdeka untuk pulang ke Maluku dan membangunanya sendiri, melekat kuat dalam jiwa setiap bangsa Maluku. Maka Alexander Jacob Patty membentuk organisasi politik Sarekat Ambon 1922 yang radikal.

Dan karena jadi tahanan politik dan dipenjarakan oleh Belanda di Flores, Bengkulu, Palembang dan akhirnya di Digul-kan, maka kepemimpinan dilanjutkan oleh Dr.Kajadoe. Dan sejak 1928, Sarekat Ambon dipimpin oleh Meester J.Latuharhary, yang ketika itu baru kembali dari studinya di Leiden Belanda, dan ditempatkan oleh Pemerintah Belanda sebagai Ketua Pengadilan di Kraksan, Jawa Timur.

Baca Juga  Kendalikan Kewel: Rajin Membaca, Menulis, dan Meneliti - Mengapa?

Dalam rapat di rumah kediaman Dr. Lodewijk Tamaela di Malang pada 1929, Sarekat Ambon membicarakan Surat Kabar Mena Muria yang digunakan sejak lama sebagai media komunikasi, dan keinginan perbaikan keadaan social ekonomi orang Maluku, pendidikan dan pengembangan kebudayaan Maluku.

Sistem pendidikan di Maluku pada waktu itu harus diperbaiki dan dirubah sehingga tidak hanya menghasilkan pegawai tingkat rendah dan soldadu saja. Untuk mencapai itu semua, Mr.J.Latuharhary berpendirian bahwa bangsa Maluku harus bersatu dan semangat anti penjajahan harus kita tanamkan kuat dan dalam pada setiap jiwa pemuda Maluku.

Sarekat Ambon ingin memperjuangkan self determination bagi Maluku. “Untuk itu, kita harus pelajari sejarah penjajahan di Maluku. Ini sangat penting. Sebab, banyak orang Maluku tidak begitu sadar mengenai petuanannya sendiri. Tidak banyak yang mengerti bahwa mereka dengan sengaja dipisahkan dari tata kehidupa dan kebudayaannnya”, demikian nasihat Mr.J,Latuharhary. (J.D.de Fretes, 1987;19-22).

Atas kesadaran politik terhadap nasib bangsa Maluku, Dr.Tehupeiory membentuk Ambonse Studiefonds (1909), yang kemudian hari diketuai pula oleh Ir.Putuhena Ambonse Studiefonds mengumpulkan uang dan membiayai pendidikan bangsa Maluku.

Sedangkan Dr.Lodewijk Tamaela dkk di Stovia mendirikan Jong Ambon. Tahun 1930, Dr.Tehupeiory seorang dokter ahli THT mendirikan Moluks Politiek Verbond (MPV) sebagai reaksi akibat bergeser haluan politik Sarekat Ambon yang semula untuk mengurus kepentingan Bangsa Maluku.

Dr.Tehupeiory tahu persis bahwa Soekarno dkk tidak menerima orang Maluku secara penuh dalam pergerakan kemerdekaan wilayah Hindia Belanda. Bukan saja karena orang Jawa bertingkah laku feodal (gila kedudukan dan gila hormat-terminologi R.E.Elson) tetapi juga “mereka tidak mempercayai kita”, kata Dr.Tehupeiory.

Mr.Dr.Chris Soumokil, yang kemudian hari mendirikan RMS, adalah salah satu anggota MPV di Surabaya (J.D.de Fretes, 1987;30,38). Pandangan Dr.Tehupeiory adalah fakta yang sesungguhnya juga dipahami oleh orang Jawa dan J.D.de Fretes dan semua bangsa Maluku.

Dalam kaitan ini J.D.de Fretes menulis : “…Apakah mungkin seorang Jawa mempercayai suatu rencana besar, begitu tinggi level-nya, dan begitu rahasia kepada seorang Ambon? Kalau anda menyangka demikian, maka sebagai orang Jawa anda tidak mengenal orang Jawa”.

Untuk peroleh dana beasiswa, Dr.Tehupeiory menyurati Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachouwer. Bahkan kadang mendatangi sendiri Gubernur Jenderal di kediamannya, yang sekarang jadi istana Presiden Indonesia.

Dr.Tehupeiory hanya focus pada kepentingan perbaikan kehidupan, nasib masa depan bangsa Maluku. Selagi Belanda masih membutuhkan orang Maluku, maka orang Maluku harus manfaatkan kekuasaan Belanda untuk kepentingan orang Maluku.

Sebab itu, Belanda harus membiayai studi orang-orang Maluku ke Belanda, dan mengijinkan minimal satu orang Maluku belajar di Akademi militer Breda, di Belanda, mempersamakan “Ambonse School” dengan sekolah-sekolah biasa, perbaikan social ekonomi masyarakat Maluku dan persamaan hak dan kedudukan orang Maluku dengan orang Belanda (J.D.de Fretes, 1987;33).

Pandangan dan kesadaran politik Dr.Tehupeiory mengenai anti pati Soekarno dkk dan kompleks mayoritas terhadap bangsa Maluku ternyata benar, dan tetap berlanjut tak terbantah sampai hari ini sebagai fakta.

Baca Juga  Cetak Penguji Kompeten, PFI Selenggarakan Training Of Trainers

Kebencian itu bukan saja di kalangan elit politik Jakarta, seperti sering diungkap Soekarno secara terang dalam pidato-pidatonya. Tapi kebencian di kalangan bangsa Jawa terhadap bangsa Maluku makin nyata dan terang-terangan. Apalagi saat Jerman menduduki Belanda 1939, keadaan politik di Hindia menjadi genting.

Intimidasi dan terror terhadap 29.000-30.0000 bangsa Maluku di seluruh Jawa makin nyata-nyata terasa sebagai fakta, setelah Soekarno bekerjasama dengan Jepang yang masuk Indonesia 1942.

Maka organisasi politik Maluku saat itu yakni Sarekat Ambon (SA) dan Moluks Politiek Verbond (MPV) lakukan rapat gabungan di Jakarta, karena bangsa Maluku diancam dan terancam di Jawa.

Rapat dihadiri Dr.Tehupeiory, Dr.Kajadoe, Dr.Latumeten yang datang dari Lawang Jawa Timur, Dr.Sitanala, Bote Anakotta, dan J.D.de Fretes. Dalam pembukaan rapat Dr.Tehupeiory menyatakan sikap bahwa, meski Jepang melarang kegiatan organisasi politik, tapi masyarakat Maluku harus mendirikan organisasi social sebagai wadah menghimpun dan membina bangsa Maluku.

Dan beta juga berbicara dengan Dr.Johanes dan sudah disetujui dari kalangan bangsa Timor akan membentuk satu organisasi social untuk mengurus para istri dan anak-anak Maluku dan Timor teristimewa dari keluarga KNIL yang sudah ditinggal mati oleh suami dan orang tua mereka”.

Sedangkan Dr.Kajadoe nyatakan bahwa : “Beta mengalami dalam Sarekat Ambon bahwa pergerakan nasional di Jawa ini tidak mendalami soal kerjasama nasional. Kebanyakan hanya mengejar persatuan berdasarkan mayoritas demi berkuasa”. Lalu disambung oleh Dr.Sitanala : “Memang, beta juga perhatikan konsep feodal mengenai kekuasaan di Jawa sini’. Dr.Tehupeiory menyela : “Bagi Beta kekuasaan Belanda adalah lebih baik daripada kekuasaan feodal Jawa”.

Selanjutnya Dr.Latumeten menambahkan : Beta pernah berbicara dengan rekan beta Dr.Soetomo di Surabaya. Kesan yang beta dapat dari pembicaraan itu, tidak beda dari kesimpulan pembicara-pembicara tadi. Orang Jawa percaya pada cerita-cerita-mitos kekuasaan raja-rajanya di masa lampau atas kepulauan Nusantara”.(J.D.de Fretes, 1987;38-39).

Maka mitos Nusantara yang oleh G.J.Resink diistilahkan dengan ‘mythusantara’ adalah cerita bohong yang dipaksakan menjadi kebenaran. Mitos Nusantara tidak lain adalah kebohongan yang didoktrin terus menerus, seperti kata Lenin, kebohongan yang diajarkan terus menerus akan diterima sebagai kebenaran.

Padahal, kata Nusantara yang diambil dari bahasa Jawa Kuno dipercaya komunitas (ahli) bahasa tidak dan bukan berarti “kepulauan”, seperti yang selama ini didoktrin penguasa Jakarta. Menurut Resink, komunitas bahasa pahami Nusantara bermakna “tanah orang lain atau “negara asing”, apabila dilihat dari perpektif orang Jawa”. (Resink,2012)

Kata Dr.Sitanala : “Benar. Beta sudah lama tinggal di Jawa Tengah. Beta tahu jalan pikiran mereka dan cara mereka berpikir tentang kekuasaan”. (J.D.de Fretes, 1987;38-39).

Apa yang dikuatirkan tokoh-tokoh Maluku ini akhirnya terbukti pula di tahun 1945. Johannes Dirk de Fretes yang kemudian menjadi Sekretaris Gubernur Maluku pertama, menulis dengan penuh penyesalan bahwa ; “mayoritas yang nampak dalam pergerakan Indonesia Merdeka adalah mayoritas kebudayaan dan agama, yang mengidentifikasikan diri dengan kekuatan politik Indonesia merdeka. (J.D.de Fretes, 1987;44).

KEMERDEKAAN YANG MENEROR DAN MEMBUNUH BANGSA MALUKU

Propaganda Soekarno dan mayoritas Jawa makin perkuat rasa anti pati terhadap bangsa Maluku di seluruh pulau Jawa. 9 September 1945 kelihatan pamflet di mana-mana, di pohon, dinding, kantor-kantor, yang bertuliskan : “Maklumat Perang Kepada Indo, Ambon dan Manado”. Isinya : kelompok-kelompok tersebut harus diboikot karena merupakan musuh bangsa Indonesia. Mereka harus dibunuh di tempat kediaman mereka, harus dilingkari kawat berduri, sumur dan air minum mereka harus diracuni, setiap pedagang dilarang menjual apapun kepada mereka. Maklumat itu ditandangani oleh pemimpin Barisan Pelopor”. (J.D.de Fretes, 1987;74).

Surat kabar Belanda Volkskrant dan Rotterdamskrant menulis “Soekarno Verklaart oorlog aan Indo’s, Menadonezen, en Ambonezen”- Soekarno menyatakan perang kepada orang-orang Indo, Menado dan Ambon”. (J.D.de Fretes, 1987;76).

Baca Juga  Respon PAN: Makian Gubernur Maluku Sebuah Candaan

Sejak bulan Juli 1945, ibu-ibu Ambon yang berbelanja mulai diancam. Pemuda-pemuda Tanjung Priok sudah harus mengamankan beberapa lelaki Ambon dari penganiayaan di pelabuhan.

Di belakang stasiun Jatinegara, orang-orang Ambon tidak berani lagi keluar masuk gang tempat tinggalnya. “Pelopor-pelopor” yang diorganisir sudah siap menyerang. Boetje Tahalele (terakhir bekerja sebagai Dokter di Jerman dan tak mau pulang ke Indonesia-sekarang sudah meninggal) dibacok oleh pelopor di Jatinegara. Boma Latuperissa (orang tua) dibunuh pelopor di Jatinegara. Keluarga Lopies di Pasar Minggu termasuk seorang pemuda dan anak kecil dianiaya oleh Pelopor. Keluarga Agus Souisa , istrinya beserta kedua saudara perempuan dan kedua anaknya satu demi satu ditikam dengan senjata tajam. Keluarga Lukas Polhaupessy juga dibunuh. Sementara Henk Wattimena dan keluarganya dapat diselamatkan oleh pemuda Maluku. (J.D.de Fretes, 1987;57-58).

Di Jawa Barat, seluruh bangsa Maluku diteror. Perempuan-perempuan dan anak-anak diburu disiksa dan dibunuh oleh Lasjkar Rakyat. Bangsa Maluku dalam kebingungan mencari perlindungan.

(84) Di Surabaya, Lasjkar membunuh perempuan dan anak bangsa Maluku serta warga sipil Belanda di (sekarang bernama) Gedung Balai Pemuda-Simpangsoos. Banjir darah di Surabaya. Seluruh “marmer vloer” di gedung tersebut terlapisi darah setinggi mata kaki orang dewasa.

Lasjkar Rakyat pemuda Jawa Timur “menarik rambut seorang ibu Ambon yang panjang, dan menyeretnya di jalanan. Sementara dua anak lelakinya berumur 7 dan 10 tahun menangis dan menjerit sambil memegang kuat sarung sang ibu, menyaksikan ibunya ditikam dengan bambu runcing (takiari) dan mencincangnya, bersama korban lain yang dibunuh secara missal di tengah alun-alun Sidoarjo (Luhulima, 2011).

Ratusan bangsa Maluku, mulai anak-anak, perempuan dan orang-orang tua yang luput dari pembantaian Lasjkar, diungsikan ke Malang. Berhari-hari dalam perjalanan pengungsian, mereka tidak makan. Bahkan ada yang makan rumput, karena kelaparan yang amat sangat. (J.D.de Fretes,1987;103-104). Yang tersisa dalam jiwa bangsa Maluku pada waktu itu, hanya mental survive : “asal tinggal hidup jua”. (J.D.de Fretes, 1987;45).

Rupanya kemerdekaan Indonesia tidak untuk membebaskan bangsa Maluku. Tapi justru jadi kemerdekaan yang mengancam dan membunuh Bangsa Maluku, sebagaimana yang terjadi nyata kemudian di tahun 1999 dalam bentuknya yang “keras” dalam konflik di Maluku.

Dan dalam bentuk “pembunuhan yang soft” telah terjadi dan akan selalu terjadi lagi atas bangsa Maluku dalam bentuk diskriminasi ekonomi, social, budaya dan hukum, dalam apa yang disebut Nono Tanasale Ketua Angkatan Muda Maluku sebagai “republik tai”. (J.D.de Fretes,1987;78)

Marcus Tullius Cicero, di dalam bukunya de Oratore (pidato) mengingatkan kita, “Historia vero testis temporum, lux veritatis, vita memoriae, magistra vitae, nuntia vetustatis”- sejarah adalah saksi zaman, sinar kebenaran, kenangan hidup, guru kehidupan, dan pesan dari masa silam.

Semoga dengan mengenal sejarah katong pung bangsa, katong bangsa Maluku, mengenal dirinya. Ya,Comte benar; “mengenal diri, adalah mengenal sejarah”.

Kepustakaan : Pada Penulis.2019