Perkebunan Sawit di Pulau Seram Menuai Konflik, Nusaina Grup Ingkar Janji

0
2875

TABAOS.ID,- Protes warga tak terelakan, aksi yang terjadi  karena mereka menilai Nusaina Group, induk lima perusahaan pengelola sawit di kawasan itu yang dimiliki Sihar, tak membayar hak masyarakat atas tanah yang dikelola menjadi perkebunan sawit.

Konflik atau perseteruan antara warga dengan perusahaan ini pernah diulas oleh Tempo edisi 13 Juni 2020. Karena isu ini masih terus mengemuka, tabaos.id mengetengahkannya kembali.

Seperti yang diberitakan, warga yang kecewa terhadap perusahaan Kepala Sawit hingga menutup akses jalan. “Penutupan jalan akan terus kami lakukan sampai perusahaan melunasi hak-hak pemilik tanah,” kata Jakaria Fabanyo, koordinator masyarakat adat, April lalu, dikutip dari Tempo.

Jakaria bercerita, sejak panen perdana pada 2013 hingga Mei tahun ini, perusahaan belum pernah membayar dana kemitraan untuk sekitar 4.000 hektar tanah masyarakat. Tanah kemitraan ini tersebar di Desa Kobi Mukti, Aketernate, Maneu, dan Kabuhari. 

Ia mengetahui angka itu karena sebagian pemilik tanah memberikan kuasa kepadanya untuk menuntut hak-hak dana kemitraan kepada perusahaan. Jakaria menduga masih banyak pemilik tanah yang juga belum menerima dana mitra dari Nusaina Group.

Menurut dia, perusahaan belum membayar dana tersebut dengan alasan tanah itu tumpang-tindih dan belum ditanami sawit. “Alasan itu mengada-ada karena sebagian besar tanah-tanah tersebut sudah ditanami sawit dan telah dipanen,” ujarnya. Akhir 2019, Tempo menyaksikan di Desa Kobi Mukti dan sekitarnya terhampar ribuan pohon sawit setinggi 3-5 meter yang tengah berbuah. Terlihat bekas panen pada pohon-pohon sawit tersebut. 

Anggota staf pengukuran Nusaina Group, Soleman Datsun, juga membenarkan kabar bahwa sebagian pemilik tanah memang belum menerima dana kemitraan. “Sebagian berada di Desa Siliha,” kata Soleman.

Masih dikutip dari Tempo, perkebunan sawit di Maluku Tengah, Nusa Ina Group menerapkan pola kemitraan dengan penduduk lokal. Pola kemitraan ini diikat melalui akta notaris. Perusahaan mendapat bagian keuntungan 70 persen per hektar tiap bulan. Sisanya untuk pemilik tanah sebesar 30 persen setiap hektar per bulan. Bagi hasil ini berlaku sejak perusahaan memanen kelapa sawit.

Koordinator masyarakat adat, Jakaria Fabanyo, mengatakan masyarakat ikut pola kemitraan ini secara bertahap, mulai 2009 hingga 2015. “Masa kontrak kemitraan ini selama 30 tahun,” ucap Jakaria.

Sesuai dengan dokumen Nusaina Group, luas tanah masyarakat yang dimitrakan mencapai 15 ribu hektare. Tanah ini berada di luar area izin perkebunan sawit milik Nusaina Group, yang memiliki lima perusahaan perkebunan sawit di Maluku Tengah, yaitu PT Nusaina Aketernate Manise, PT Nusaina Agro Kobi Manise, PT Nusaina Agro Huaulu Manise, PT Nusaina Tanah Merah Manise, dan PT Nusaina Agro Manusela Manise. Saham perusahaan-perusahaan itu dimiliki oleh Sihar Sitorus. Area kebun sawit kelima perusahaan sesuai dengan izin mereka seluas 40.796 hektar.

Tanah mitra seluas 15 ribu hektare itu milik ratusan keluarga. Ada juga atas nama marga atau kelompok kekerabatan masyarakat, gereja, dan tanah adat. Tanah milik Gereja Protestan Maluku di Dusun Wahakaim, Aketernate, seluas 1.206 hektar menjadi yang paling awal dikelola Nusaina sebagai area pembibitan sawit. Di luar itu, ada lokasi transmigrasi seluas 705 hektare yang dimitrakan dengan perusahaan. Lahan transmigrasi tersebut tersebar di Desa Tanah Merah, Waiasih, Seti Sumah, Waimusi, Namton, Waimusal, Kobi Mukti, dan Marasahua.

Mantan Bupati Maluku Tengah, Abdullah Tuasikal, mengaku ikut bermitra dengan Nusaina. Ia memiliki tanah seluas 97 hektar di Kobi Mukti yang dikelola oleh Nusa Ina. Menurut dia, tanah itu milik bersama dengan Zainuddin alias Obed, warga Kobi Mukti yang mengurus pembelian tanah dari pemilik awal, yakni Herman Kohunussa dan Ramli Tobaru, pada 2003. “Itu lahan bersama dengan Pak Obed,” kata anggota DPR dari Partai NasDem ini.

Ketika Nusaina mulai memanen sawit pada 2013, masyarakat menagih bagi hasil sesuai dengan perjanjian. Tapi Nusaina tak kunjung membayar. Belakangan, perusahaan itu malah mengurangi persentase bagian yang seharusnya diterima pemilik tanah menjadi hanya Rp 70 ribu per hektar. Pemilik tanah mengetahui perubahan nilai bagi hasil ini setelah menerima surat Sihar Sitorus pada 14 Januari 2017.

Baca Juga  Heboh !!! Warga Ambon Tangkap Buaya di dalam Gorong-gorong

Bersurat atas nama direktur utama kelima perusahaan Nusaina Group, Sihar memberi tahu bahwa Nusaina tak bisa memenuhi kesepakatan bagi hasil dana kemitraan sesuai dengan perjanjian awal. Alasannya, hasil penjualan tandan buah segar sawit tak mampu menutupi biaya investasi, produksi, dan pemeliharaan. Perusahaan pun membebankan sebagian biaya itu kepada pemilik tanah. 

Dalam suratnya, Sihar merujuk pada perjanjian akta notaris yang menyebutkan biaya investasi pengelolaan sawit ditanggung bersama. Sihar juga mendasarkan keputusannya pada hasil audit kantor akuntan publik Doli, Bambang, Sulistiyanto, Dadang yang menyebutkan bahwa perusahaan mengeluarkan biaya investasi menanam sawit sebesar Rp 46 juta per hektar. 

Untuk menutupinya, 30 persen dari biaya atau Rp 13,8 juta dibebankan kepada pemilik tanah. Duit itu diambil perusahaan dari dana kemitraan yang seharusnya diterima pemilik tanah setiap bulan. Pemotongan biaya investasi ini dilakukan secara bertahap, selama 25 tahun.

Selain itu, Sihar merujuk pada hasil kajian Pusat Penelitian Kelapa Sawit yang menyebutkan bahwa perkebunan sawit dengan kualitas normal akan mengalami kerugian selama empat tahun setelah layak komersial. Nusaina lantas memutuskan masyarakat mendapat dana kemitraan senilai Rp 70 ribu per hektar selama empat tahun, sejak 2015 hingga 2019. 

Koordinator masyarakat adat, Jakaria Fabanyo, mengatakan perubahan itu tidak pernah dibicarakan dengan masyarakat. Apalagi mereka memperkirakan bakal mendapat hingga Rp 2 juta per bulan. “Ini bisa dikatakan telah menipu masyarakat,” tutur Jakaria.

Terlepas dari konflik yang terjadi, dari berbagai sumber, tabaos.id mencatat, hadirnya atau masuknya perkebunan kelapa sawit sejak awal sudah mendapat penolakan warga. Penolakan itu rata-rata juga terkait dengan berbagai pengalaman di tempat lain:

Pertana, kerusakan ekosistem hayati. Kelapa sawit bukan merupakan ekosistem hayati sebagaimana hutan. Hewan-hewan yang bisa hidup di perkebunan kelapa sawit pun rata-rata hanya hewan perusak tanaman, seperti babi, ular, dan tikus. Dibanding, kelapa sawit, hutan jauh lebih penting keberadaanya.

Kedua, pembukaan lahan dengan cara dibakar. Meskipun sudah dilarang, faktanya pembukaan lahan seringkal dilakukan dengan cara tebang habis atau (land clearing). Seperti yang terjadi di Jambi sekarang ini, kabut asap yang menyelimuti kota, akibat pembakaran hutan untuk alih fungsi lahan kelapa sawit.

Ketiga, kerusakan unsur hara dan air dalam tanah. Peneliti lingkungan dari Universitas Riau, Ariful Amri Msc, pernah meneliti kerusakan tanah karena perkebunan kelapa sawit. Penelitian itu menyimpulkan bahwa, dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter unsur hara dan air dalam tanah.

Keempat, munculnya hama migran baru yang sangat ganas. Hama migran ini, muncul karena ekosistem yang terganggu. Jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan  karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokultur.

Kelima, terjadinya konflik horizontal dan vertikal antarwarga. Medio 2014 silam, beberapa warga di Kalimantan bentrok dengan aparat lantaran tanah mereka akan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Selain itu ada pula konflik antarwarga yang menolak dan yang menerima masuknya perkebunan sawit.

Keenam, bencana banjir dan kekeringan. Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Bahkan di musim kemarau tak ayal wilayah itu akan mengalami kekeringan, karena sifat dari pohon sawit yag menyerap banyak unsur hara dan air dalam tanah.

 

Baca Juga  Gubernur dan Wakapolda Maluku Ikut Jajal Ketangkasan Menyambut HUT Ke-75 TNI

Demikian banyaknya dampak buruk dengan adanya kelapa sawit bagi Indonesia. Lalu, yang jadi pertanyaan, mengapa pemerintah Indonesia masih dengan gampang memberikan perizinan bagi perusahaan-perusahaan baik luar maupun dalam negeri untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit.

(TCJ/tempo,13 Juni 2020)