Pilgub dan Ruang Publik Politik di Maluku

0
1066

Oleh : Fajrin Rumalutur

Terhitung masih setahun lagi perhelatan pemilihan gubernur Maluku akan digelar, namun bunyi nyaringnya mulai menggema, di kedai-kedai kopi di kota ambon forum-forum diskusi kecil terbentuk.

Begitu pula di grup-grup whatsapp hingga facebook juga tak kalah ramai dipenuhi perdebatan antara pendukung, kendati proses kandidasi belum juga dimulai.

Sebagai sebuah pesta, demokrasi memunculkan ruang percakapan publik yang melibatkan individu-individu dari latar belakang pendidikan, ekonomi dan lapisan kelas sosial di masyarakat.

Mereka ikut ambil bagian memberi komentar dan menyampaikan argumen seputar pilkada, mulai dari siapa saja figur-figur potensial yang akan maju sebagai calon gubernur, menghitung peluang setiap calon, hingga mengukur kekuatan basis politik pendukung.

Dalam konteks itu, menjadi relevan untuk kita mengetengahkan kembali pemikiran Jurgen Habermas, seorang teoritikus politik terkemuka mazhab frankfurt yang mencetus teori Public Sphere (ruang publik).

Menurut Habermas, seluruh wilayah atau ruang kehidupan sosial yang memungkinkan terbentuknya pendapat umum (public opinion) dapat dipahami sebagai ruang publik.

Ruang publik memiliki arti penting bagi demokrasi, dimana setiap warga negara dapat mengekspresikan wacana dan pemikiran secara bebas transparan tanpa adanya tekanan dan intervensi dari otoritas negara.

Dalam perkembangan lebih lanjut spektrum ruang publik semakin lebar dengan terdistribusinya informasi dan percakapan publik melalui kanal platform digital seperti WhastAap, Twitter, Instagram dan Facebook.

Ruang Publik Politik di Maluku

Jika diikuti suhu percakapan publik mengenai pemilihan gubernur Maluku masih berputar-putar pada perdebatan kusir yang tidak berkualitas.

Orang dekat dari masing-masing figur calon cenderung bicara soal isu remeh-temeh, sama sekali belum menyentuh pada substansi.

Belum terlihat lalulintas percakapan mengenai program ataupun gagasan-gagasan genuine dari masing-masing calon gubernur yang diusung.

Baca Juga  "Quo Vadis" Pemindahan Ibukota Provinsi Maluku ke Pulau Seram

Padahal topik-topik inti mengenai Maluku hari ini sangat banyak untuk diangkat sebagai tema percakapan publik.

Semisal masalah pemerataan pembangunan, tata kelola birokrasi, kemiskinan, keterisolasioan, pertumbuhan ekonomi, pengelolaan sumberdaya alam, mutu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, sumberdaya daya manusia dan daya saing daerah.

Ruang publik percakapan kita seakan merefleksi betapa rendahnya peradaban politik, sekaligus menggambarkan bagaimana intelektualisme tidak bertumbuh dalam ruang-ruang percakapan politik di Maluku.

Diskursus politik seakan kering gagasan, konsep, dan visi politik yang otentik. Sebaliknya ruang publik ramai diisi dengan narasi-narasi politik yang dangkal.

Mungkin saja benar bahwa keadaban politik kita demikian rendah, hal ini bisa dilihat dari bagaimana aktor-aktor politik di Maluku tidak mampu bermain cantik dalam dialektika wacana dan kemegahan bernarasi.

Semua seakan terjebak dalam kedangkalan berpikir. Realitas politik Maluku saat ini memang demikian kerdil dan terbelakang.

Menumbuhkan Rasionalitas Politik

Pilkada merupakan arena politik demokrasi untuk menyeleksi secara reguler pemimpin politik di daerah. Karena itu menjadi penting untuk diberi warna sekaligus sentuhan yang berkualitas dalam setiap prosesnya.

Pilkada harus tumbuh diatas perdebatan kritis warga. Sudah sepantasnya percakapan ihwal pilkada Maluku naik level, dari sekedar obrolan pinggir jalan menjadi percakapan bermutu tinggi.

Aktor-aktor utama politik di Maluku harus membiasakan diri berbicara tentang gagasan dan konsep di depan umum, kepandaian bernarasi mesti dilatih terus-menerus sehingga tidak gagap berwacana.

Partai politik yang punya tanggung jawab sentral dalam pendidikan politik mesti berperan aktif memberikan literasi politik di masyarakat, disamping melakukan perbaikan dalam urusan rekruitmen politik.

Kalangan Intelektual pun jangan membangun jarak yg terpisah dari lini politik praktis, kealpaan kaum intelektual dalam politik menyebabkan politik tidak didominasi oleh percakapan ilmiah dan rasional.

Baca Juga  Cintai Literasi Sebagai Gerbang Pengetahuan, Wujud Cintai Negeri

Kalangan aktivis di Maluku juga tetap terus melakukan advokasi dan memberi kritik terhadap institusi dan elite politik, agar supaya terjadi check and balances. dengan begitu rasionalitas politik hadir dan mengeliminir irasionalitas politik.

Tentu kita semua berharap di tahun 2024 nanti terjadi transformasi besar dalam dinamika pemilihan gubernur. Dimana semua orang menjadi terbiasa mempercakapkan ide dan gagasan di setiap kesempatan dan perjumpaan. Semoga.

Penulis adalah intelektual muda Maluku, aktif di Komunitas Penulis Maluku