TABAOS.ID,- Berbagai cara ditunjukan warga guna merespon lonjakan harga tiket penerbangan dalam lima bulan terakhir ini. Begitu pula dengan warga Maluku, seperti Komunitas Beta Kreatif yang melihat fenomena ini sebagai bentuk ketidakadilan.
“Ini tentu tidak adil, lihat saja, ongkos perjalanan dari Ambon – Jakarta saat ini, hampir sama dengan penerbangan dari Jakarta – Amsterdam, sehingga orang Maluku yang mau ada keperluan ke Pulau Jawa sudah sama seperti pergi ke luar negeri. Menjadi beban berat bagi mereka yang butuh transportasi cepat”, jelas Direktur Beta Kreatif, Ikhsan Tualeka pada tabaos.id (14/9).
Menurutnya, kenyataan yang tidak menguntungkan ini sudah berlangsung setidaknya lima bulan, kenaikan harga tiket hingga 4x lipat dari harga normal. Ironisnya, penerbangan dari luar negeri (Kuala Lumpur) ke Jakarta, lebih murah dari Banda Aceh ke Jakarta.
Membuat warga dari Aceh mencari cara alternatif dengan ramai-ramai bikin Paspor untuk lebih dulu transit di Kuala Lumpur, Malaysia, baru kemudian melanjutkan perjalanan ke wilayah lain di Indonesia.
Sementara dari Maluku tidak bisa menempuh cara atau strategi yang sama dengan Aceh, karena tak ada akses penerbangan langsung ke negara lain untuk sekadar transit, untuk mengirit biaya penerbangan yang mahal kalau harus terbang langsung ke Pulau Jawa.
“Sehingga sebagai bentuk kritik, Beta Kreatif meluncurkan ‘Paspor’ Maluku. Paspor ini sebagai bentuk pertanyaan kritis, apakah Maluku masih di NKRI? Kalau iya, mengapa urusan transportasi udara seperti dari dan ke luar negeri. Ini bentuk satire simbolik dan kritik kreatif”, tegas Ikhsan.
Saat ditemuiĀ media ini di Pelabuhan Yos Sudraso Ambon, Ikhsan menyatakan kegusaran, dan menilai ini akibat Negara dikelola hanya dengan perspektif orang-orang yang tinggal di Jawa, di daerah daratan luas, yang kerap kurang memahami dan tidak merasakan kesulitan masyarakat yang tinggal di wilayah kepulauan seperti kita di Maluku ini.
“Harga tiket ini bukan hanya soal bisnis, tapi soal keadilan, disitulah butuh campur tangan pemerintah atau negara, perlu tindakan afirmatif. Coba lihat, orang mau berobat, mau melayat, mau urus surat-surat atau dokumen lainnya, jadi terkendala soal ini,” tegas Ikhsan.
Sedangkan di Pulau Jawa menurut Ikhsan, segalanya relatif lebih midshipmen, karena ada alternatif transportasi lain untuk bepergian. Ada mobil atau bus untuk lewat tol, ada kereta yang nyaman, karena semua akses terhubung lewat daratan.
Ia kemudian membandingkan dengan di kepulauan Maluku, misalanya masyarakat yang dari Kei, Saumlaki, Wetar, Aru, Leti, Moa, Lakor, Geser, Ambalau, Namrole, Namlea dan lainnya, untuk ke Ambon, ibu kota provinsi saja sulit, lama dan sengsara dalam perjalanan, apalagi kalau musim ombak.
“Kasus tiket pesawat yang tak adil ini hanya ujung dari setumpuk ketidakadilan yang dirasakan Maluku selama ini. Padahal adil itu sudah harus dimulai sejak dari pikiran. Semoga satire simbolik dan kritik-kreatif yang kami muat bisa menyadarkan semua pemangku kewajiban untuk lebih perhatian dan peduli terhadap Maluku”, harap Ikhsan.(T05)