Oleh: Fajrin Rumalutur,
Kabar mengenai rencana pemindahan ibukota Provinsi Maluku dari Kota Ambon ke Pulau Seram yang dicanangkan tahun 2013 silam seperti hilang ditelan bumi.
wacana monumental ini pertama kali digagas pada era pemerintahan Gubernur Karel Albert Ralahalu. Bahkan, prosesi simbolis peletakan batu pertama sebagai penanda dimulainya pembangunan ibukota baru telah selesai dilakukan.
Ialah Makariki, salah satu negeri di Kabupaten Maluku tengah itu dipilih sebagai lokasi utama pembangunan ibukota baru. Dukungan masyarakat berdatangan, terutama dari pemangku adat dan raja-raja negeri setempat.
Bahkan suku naulu, suku asli yang sejak lama mendiami pedalaman Pulau Seram ikut menghibahkan tanah adat mereka seluas 110 hektar untuk pembangunan ibukota baru provinsi maluku tersebut.
Apa lacur, keinginan menjadikan pulau seram sebagai ibu kota maluku harus pupus ditengah jalan, kendati pemerintah daerah kala itu telah menunjuk tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk membantu melakukan kajian dan studi kelayakan. Namun langkah itu terhenti tanpa ada keterangan dan penjelasan yang pasti, hanya menyisakan pertanyaan tanpa jawaban di masyarakat.
Urgensi Pindah Ibukota
Pemindahan ibukota Provinsi Maluku ke Pulau Seram didasarkan pada beberapa argumen. Pertama, daya dukung Kota Ambon sudah tidak lagi mampu untuk menampung keberlangsungan pembangunan dalam jangka waktu 20 hingga 30 tahun kedepan.
Mengingat luas Kota Ambon yang hanya berukuran 377 Km², dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 1.163,02 jiwa/km². Kondisi ini tidak lagi prospektif untuk pembangunan infrastruktur sebuah ibukota provinsi di masa-masa yang akan datang.
Kedua, keinginan untuk pemerataan ekonomi terhadap daerah di luar Pulau Ambon dan upaya peningkatan kesejahteraan menjadi alasan berikut. Selama ini pertumbuhan ekonomi Maluku terkonsentrasi di Kota Ambon. Dengan adanya pemindahan ibukota otomatis terjadi redistribusi ekonomi dan pembangunan dalam berbagai aspek.
Pemindahan ibukota ke Pulau Seram akan memberikan kesempatan dan peluang yang lebih merata, dengan penciptaan pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Ambon.
Ketiga, tingkat kepadatan penduduk membawa konsekuensi lanjutan bagi sebuah kota, seperti masalah kemacetan, banjir, pengelolaan sampah, sanitasi, kesulitan dalam penataan ruang dan masalah-masalah sosial lain yang mungkin timbul dikemudian hari. Sebagai kota tua yang tumbuh tanpa perencanaan, situasi-situasi di atas menjadi konsekuensi tak terhindarkan jika tidak segera dicarikan solusi pemecahan masalah.
Keempat, pemindahan ibukota akan membuka peluang investasi baru, dan memberi efek ekonomi yang positif. Pulau Seram merupakan pulau terbesar di maluku dengan potensi kekayaan sumber daya alam yang cukup baik, namun belum sepenuhnya dapat dikelola.
Salah satu penyebab adalah kurangnya investasi. Pemindahan ibu kota akan diikuti dengan peningkatan infrastruktur publik, sehingga memberi stimulus/rangsangan bagi masuknya investasi dan peningkatan produksi beberapa sektor primer di sana.
Kelima, 65 tahun silam, untuk pertama kalinya Ir. Soekarno menginjakan kakinya di Pulau Seram. Kunjungan presiden Republik Indonesia itu dalam rangka peletakan batu pertama pembangunan Kota Masohi.
Pada momentum bersejarah itulah Bung Karno berpesan untuk menjadikan Masohi sebagai ibu kota Provinsi Maluku kelak. Entah karena alasan apa sehingga beliau menitipkan amanah tersebut, mungkin saja karena ia melihat posisi strategis Masohi dan Pulau Seram. Jadi pemindahan ibukota Provinsi Maluku ke Pulau Seram memiliki akar historis yang kuat.
Kelima faktor inilah menurut penulis menjadi basis argumentasi rasional dan ilmiah untuk mengetengahkan kembali rencana pemindahan ibukota Provinsi Maluku dari Kota Ambon ke Pulau Seram sebagai satu agenda penting dan menentukan.
Butuh Komitmen
Pemindahan ibukota Provinsi Maluku ke Pulau Seram memang tidak semudah yang dibayangkan, ini pekerjaan rumah yang panjang. Membutuhkan kesiapan, waktu, perencanaan serta anggaran. Kita mesti belajar dari pengalaman Provinsi Maluku utara, tetangga dekat yang sudah lebih dulu sukses memindahkan ibukotanya dari ternate ke Sofifi. Memang prosesnya panjang dan perlu effort besar, namun pada akhirnya secara bertahap dapat terealisasi.
Pemindahan ibukota ke Pulau Seram perlu keseriusan dan komitmen kuat dari berbagai pihak, menjadikannya sebagai isu prioritas, terutama stakeholder penentu kebijakan (Decision Maker). Ia tak sekedar menjadi komoditas isu politik lima tahunan bagi para calon kepala daerah untuk meraih simpati publik dan dukungan suara dalam pemilukada.
Pemindahan ibukota mesti dilihat secara komprehensif dalam kerangka kebutuhan sentral. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kontinuitas agenda pembangunan daerah, serta solusi atas masalah kemiskinan, pengangguran, minimnya lapangan pekerjaan, kesenjangan, ketertinggalan yang masih menyelimuti Maluku sampai hari ini.
Intelektual Muda Maluku, Alumni Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia.