Oleh: Ahmad Mony
Budaya merupakan bagian integral dari identitas sebuah suku bangsa. Bung Karno, presiden pertama RI secara tegas dan lugas mengungkapkan identitas riil sebuah negara bangsa (nation state) dengan istilah Trisakti.
Istilah ini merujuk pada tiga kedaulatan pembentuk jati diri bangsa yakni, kedaulatan politik, kedaulatan ekonomi dan kedaulatan budaya.
Sejatinya identitas nasional bersumber dari budaya-budaya lokal yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan berbagai karakter dan aneka budaya pembentuk entitas budaya nasional.
Akhir-akhir ini kita dihadapkan pada krisis identitas dan budaya ditengah masyarakat akibat perkembangan teknologi informasi dan terjangan modernisasi (borderless) yang melahirkan budaya instan di kalangan generasi muda tanpa perisai ideologi.
Fenomena ini menciptakan kesenjangan budaya yang membuat kalangan generasi muda, utamanya dari kalangan generasi Z makin jauh dari identitas akar budaya lokal.
Jika aliran krisis kebudayaan ini terus tergerus erosi jaman, tidak menutup kemungkinan akar kebudayaan lokal Maluku akan redup dalam transisi besar budaya global melalui pembentukan masyarakat 5.0 alias society 5.0.
Maluku: Lumbung Budaya yang Terancam
Budaya sebagai penciri jati diri suku bangsa makin teralienasi dari kehidupan masyarakat sebagai akibat munculnya budaya luar yang diterima dengan sikap permisif.
Jika demikian halnya, sejauh manakah pengakuan dan penghormatan kita terhadap kebudayaan kita tersebut. Dimanakah posisi kita di tengah krisis identitas dan modernitas budaya?
Adakah kita sedang berupaya memajukan kebudayaan kita, atau malah membiarkan budaya kita terlindas oleh budaya luar?
Maluku dengan julukan provinsi seribu pulau memiliki ragam budaya yang terbentang dari gugus pulau-pulau lease sampai kepulauan aru dengan karakter dan kekhasan tersendiri.
Salah satu yang menjadi kebanggaan budaya adalah banyaknya ragam bahasa lokal dari masyarakat Maluku yang diperkirakan lebih dari seratus jenis bahasa. Disamping khazanah budaya lain seperti kapata, syair, tarian, makanan, pakaian, dan sebagainya.
Oleh karenanya, penting dilakukan proses reinventing (menemukan kembali) budaya dan khazanah peradaban sebagai penciri jati diri orang Maluku.
Selama ini, kampanye persatuan nasional telah salah kaprah dengan mengeliminir unsur dan karakter budaya daerah dan menonjolkan unsur budaya tertentu yang menghegemoni karakter budaya nasional hingga sampai pada titik pembodohan terhadap generasi muda.
Berujung pada pengingkaran terhadap eksistensi budaya lokalnya sendiri. Hal mana mengakibatkan rasa tidak percaya diri terhadap budaya lokal sendiri yang berkesan dianggap inferior karena dihadapkan pada hegemoni budaya luar.
Kondisi ini berujung pada pertarungan jati diri yang bermuara pada pikiran-pikiran bahwa kebudayaan lokal tidak maju, tidak modern, dan terbelakang.
Jika kondisi ini terus jadi, maka kebudayaan lokal di Maluku akan mengalami pendangkalan makna akibat erosi atas upaya pengayaan dan pemajuan budaya lokal. Sebagai contoh, penggunaan bahasa lokal di kalangan generasi Z mulai memudar bahkan hilang sama sekali.
Bahasa lokal sebagai khazanah penting dan pintu masuk untuk memahami ragam budaya turunan lain dalam perspektif lokal telah tergantikan oleh bahasa nasional sebagai alat komunikasi utama. Hal ini menambah rumit masalah karena generasi muda makin teralienasi dari akar budayanya.
Kekhawatiran ini pernah diungkapkan oleh tokoh muda Maluku Lutfi Sanaky. “Kalangan generasi muda sekarang tidak menggunakan bahasa asli daerahnya sebagai alat komunikasi setiap hari sehingga lambat laun, bahasa asli ini akan punah,”.
Artinya, ini peringatan dini yang secara tersirat menandakan bahwa sudah saatnya disiapkan sebuah upaya mitigasi bencana kehancuran budaya lokal di Maluku.
Budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa, dimana suku bangsa sendiri adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ’kesatuan kebudayaan’.
Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya (Koentjaraningrat). Bahasa adalah media komunikasi yang hadir ditengah sebuah komunitas masyarakat dengan kedalaman makna dan fungsi.
Ia hadir bukan sekedar sebagai alat komunikasi biasa, lebih dari itu adalah rahasia untuk menyimpan dan mengejawantahkan identitas budaya yang lain.
Mampukah kita mengungkap hakikat dan makna filosofis dari kapata-kapata lokal jika dasar pijakan yakni penguasaan bahasa daerah dangkal bahkan tidak bisa.
Kita dulu diajarkan dalam kurikulum Sekolah Dasar tentang pengenalan budaya bangsa. Salah satunya adalah tentang makanan pokok. Masih terekam dalam ingatan kita bahwa makanan pokok suku bangsa Maluku adalah Sagu.
Namun, fakta saat ini apakah menunjukkan demikian? Sagu dan Papeda hampir hilang dari identitas budaya anak Maluku diterjang oleh kehadiran beras dan menjamurnya fast food seperti KFC, Hoka-Hoka Bento, Mc Donald, dan lainnya.
Sehingga berharap ada sepotong sagu dalam lemari anak Maluku, utamanya yang hidup di rantau sepertinya sudah mustahil. Ironi ini telah diulas dengan apik oleh penulis muda Maluku Ikhsan Tualeka dalam artikelnya, “Papeda: Antara Jatuh Gengsi dan Masa Depan Ketahanan Pangan”.
Secara tersirat, Ikhsan Tualeka ingin menyampaikan bahwa generasi dan tokoh-tokoh besar Maluku semisal J. Latuharhary, J. Leimena dan AM. Sangadji adalah generasi yang lahir dari dan dibesarkan dalam buaian tradisi, “sambil mama bakar sagu, mama manyanyi sio buju-buju”.
Pesan Kebudayaan untuk Gubernur Maluku
Persoalan identitas dan eksistensi budaya lokal hanya dapat dikembalikan dengan kemauan politik pemerintah terutama pemerintah daerah dengan program-program pendidikan dan pemberdayaan budaya lokal.
Pintu ini terbuka lebar dengan adanya semangat otonomi daerah untuk menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya sebagai spirit utama membangun masyarakat.
Selama ini otonomi daerah hanya diartikan secara sempit sebagai perluasan kewenangan pusat ke daerah dalam dimensi politik dan keuangan sehingga perhatian pemerintah daerah hanya terfokus pada masalah kewenangan politik di daerah, suksesi politik di daerah (pemilukada) serta masalah keuangan daerah (perimbangan keuangan pusat dan daerah).
Akhirnya otonomi di bidang lainnya menjadi terbengkalai dan tidak menjadi prioritas perhatian seperti otonomi di bidang kebudayaan.
Program yang paling sederhana untuk bisa diterapkan adalah dengan memasukkan unsur pelajaran bahasa daerah (lokal) dalam kurikulum pendidikan di tingkat dasar, menengah dan atas.
Hal ini telah dilakukan oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia seperti di Jawa Barat yang memberlakukan pelajaran bahasa sunda serta Jawa Tengah dan Yogyakarta yang memberlakukan pelajaran bahasa jawa dalam kurikulum resmi Pendidikan.
Selain memasukkan unsur bahasa lokal dalam kurikulum pendidikan di Maluku juga dilakukan upaya pemberdayaan terhadap lembaga-lembaga seni dan budaya yang peduli pada literasi dan edukasi budaya lokal untuk melestarikan khazanah budaya lokal.
Pemberdayaan dapat dilakukan dengan pembinaan, pengembangan dan pelatihan melalui politik anggaran dan kerjasama dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya.
Pada aspek lain, diperlukan payung hukum melalui regulasi daerah seperti Peraturan Daerah (Perda) yang akan memberi legitimasi dan kewenangan dalam mengadopsi dan mengimplementasikan budaya dan kearifan-kearifan lokal dalam konteks negara bangsa dan praktek kebijakan publik.
Perda ini sudah menjadi sebuah keharusan ditengah kecepatan gerak arus budaya modern melalui berbagai media massa maupun difusi teknologi 4.0 yang membuka ruang-ruang publik sampai ke pelosok pedesaan terpencil tanpa batas (dunia tanpa batas). Regulasi semacam ini sekaligus menjadi soko guru pembentukan regulasi lokal di tingkat desa (Perdes) untuk membendung arus hegemoni budaya luar.
Penulis adalah Sosiolog dan Pemerhati Masyarakat Hukum Adat, juga aktif di Komunitas Penulis Maluku (Kopi-Maluku)